Berharap Jakarta Bebas Banjir
A
A
A
Nirwono Joga Peneliti Pusat Studi Perkotaan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih serius mengatasi banjir. Siapa pun gubernur yang serius menangani banjir dan hasilnya dapat dirasakan langsung oleh warga Jakarta maka dia akan dikenang sebagai pemimpin yang berhasil memimpin Jakarta.
Banjir yang terus melanda Jakarta berulang kali sejak awal dan akhir Januari serta pekan ini (22-24/2) menunjukkan Gubernur DKI harus bekerja lebih keras lagi dalam menuntaskan masalah bencana ini. Hujan lokal dengan intensitas ekstrem di puncak musim hujan tidak bisa menjadi alasan Jakarta tak berdaya terhadap banjir. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan kelak membebaskan Jakarta dari banjir. Untuk mengatasi banjir secara komprehensif tentu kita harus memahami empat tipe banjir yang selama ini melanda Jakarta.
Pertama , air dari banjir kiriman. Saat kawasan Puncak Bogor hujan deras debit air sungai akan melebihi kapasitas dan meluap membanjiri permukiman yang berada di bantaran kali dan sekitar. Untuk itu Gubernur DKI harus menata bantaran kali di 13 sungai utama, baik itu dengan konsep normalisasi, naturalisasi, maupun perpaduan kedua konsep itu secara harmonis. Targetkan penataan bisa dilakukan pada 2-3 sungai per tahun sehingga pada tahun kelima seluruh sungai utama dapat tuntas dibenahi.
Sejak era Gubernur Fauzi Bowo (2012) dan dilanjutkan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sudah dilakukan program penataan empat sungai, yakni Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggarahan, Sungai Angke, dan Sungai Sunter yang ditargetkan tuntas pada 2022. Sungai Ciliwung dari 33 kilometer yang sudah dinormalisasikan sepanjang 16 kilometer, sementara tiga sungai lainnya dalam proses pembebasan lahan yang mencapai 20-30%.
Namun, dalam dua tahun terakhir kegiatan penataan sungai dihentikan karena proses pembebasan lahan bantaran kali tidak dilakukan. Oleh karena itu, Gubernur Anies Baswedan diharapkan melanjutkan program penataan sungai ini. Gubernur dituntut berani merelokasi permukiman di bantaran kali supaya badan kali bisa diperlebar dan diperdalam supaya kapasitas daya tampung air sungai meningkat optimal. Proses relokasi warga dipimpin langsung oleh gubernur dengan memastikan warga akan dipindah ke rusun mana, kapan, serta bagaimana fasilitas dan aksesibilitas ke rusunawa.
Kedua , banjir lokal. Di Jakarta tengah terjadi hujan lokal hari-hari ini. Namun, karena sistem saluran air kota yang buruk, air hujan meluber membanjiri jalanan dan permukiman di sekitarnya. Saluran air yang dipenuhi sampah dan lumpur sering kali menyumbat kelancaran air mengalir. Jaringan utilitas kabel dan pipa yang tumpang tindih di dalam saluran air juga menghambat aliran air. Konektivitas jaringan saluran air dari mikro/tersier/lingkungan ke meso/sekunder/kawasan hingga makro/primer/kota yang tidak terjalin baik membuat aliran air terkadang terhenti, tidak tertampung, dan meluap ke jalan.
Gubernur harus merehabilitasi seluruh saluran air kota, mulai saluran mikro, meso, dan makro. Lebar dimensi saluran air juga sudah saatnya diperbesar agar kapasitas daya tampung air juga besar. Misalnya dimensi saluran mikro dari 50 sentimeter (cm) menjadi 150 cm, saluran meso dari 100 cm ke-200 cm, dan saluran makro dari 150 cm ke-300 cm.
Saluran air harus bebas dari sampah, limbah, dan lumpur. Seluruh bangunan seperti warung dan bengkel, yang berdiri di atas saluran air harus dibongkar untuk memudahkan pemeliharaan dan perawatan saluran air.
Rehabilitasi saluran air harus terintegrasi dengan revitalisasi trotoar dan penataan jaringan utilitas bawah tanah secara terpadu. Petugas prasarana dan sarana umum (pasukan oranye) dan pasukan biru dari Dinas Sumber Daya Air harus lebih digiatkan kembali membersihkan seluruh saluran air.
Ketiga , banjir rob. Ketika bulan purnama, air laut pasang naik menggenangi kawasan permukiman yang berada di pantai utara Jakarta. Revitalisasi kawasan pantai utara Jakarta harus dilakukan pemerintah DKI. Kawasan tepi pantai Jakarta sepanjang 32 kilometer harus dibebaskan dari permukiman selebar 300-500 meter ke arah daratan dan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) hutan kota atau hutan bakau. Permukiman yang langganan terdampak banjir rob direlokasi ke rusun terdekat.
Keempat , banjir besar. Hal ini dapat terjadi pada saat bersamaan kawasan Puncak Bogor dan Jakarta hujan lebat serta pantai utara Jakarta memasuki bulan purnama. Jakarta pernah mengalami banjir besar ini pada 1986, 2002, 2007, 2012, dan 2017.
Untuk itu, selain menata bantaran sungai, merehabilitasi saluran air, dan merevitalisasi pantai utara, Pemerintah DKI juga harus merevitalisasi daerah penampung air dan daerah resapan air. Gubernur harus merevitalisasi 109 situ, danau, embung, dan waduk (SDEW) sebagai daerah penampung air.Targetkan revitalisasi 20 SDEW per tahun sehingga pada tahun kelima seluruh SDEW tuntas dibenahi. Permukiman yang berada di tepian badan SDEW harus direlokasi. Badan SDEW diperlebar, dikeruk, dan diperdalam untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air hujan seperti Taman Waduk Pluit di Jakarta Utara.
Pemerintah DKI juga harus menambah luas daerah resapan air berupa RTH sebesar 9,98% (2020) sesuai target 30% (2030). Semakin luas RTH dimiliki, semakin besar kemampuan daya serap air tanah untuk mengurangi banjir. Gubernur yang banyak membangun taman kota, hutan kota, kebun raya, dan menghijaukan median jalan, bantaran sungai, tepi rel kereta api, kolong jalan/jembatan layang, serta saluran udara tegangan tinggi akan dikenang berhasil oleh warganya dalam upaya membebaskan Jakarta dari banjir.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih serius mengatasi banjir. Siapa pun gubernur yang serius menangani banjir dan hasilnya dapat dirasakan langsung oleh warga Jakarta maka dia akan dikenang sebagai pemimpin yang berhasil memimpin Jakarta.
Banjir yang terus melanda Jakarta berulang kali sejak awal dan akhir Januari serta pekan ini (22-24/2) menunjukkan Gubernur DKI harus bekerja lebih keras lagi dalam menuntaskan masalah bencana ini. Hujan lokal dengan intensitas ekstrem di puncak musim hujan tidak bisa menjadi alasan Jakarta tak berdaya terhadap banjir. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan kelak membebaskan Jakarta dari banjir. Untuk mengatasi banjir secara komprehensif tentu kita harus memahami empat tipe banjir yang selama ini melanda Jakarta.
Pertama , air dari banjir kiriman. Saat kawasan Puncak Bogor hujan deras debit air sungai akan melebihi kapasitas dan meluap membanjiri permukiman yang berada di bantaran kali dan sekitar. Untuk itu Gubernur DKI harus menata bantaran kali di 13 sungai utama, baik itu dengan konsep normalisasi, naturalisasi, maupun perpaduan kedua konsep itu secara harmonis. Targetkan penataan bisa dilakukan pada 2-3 sungai per tahun sehingga pada tahun kelima seluruh sungai utama dapat tuntas dibenahi.
Sejak era Gubernur Fauzi Bowo (2012) dan dilanjutkan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sudah dilakukan program penataan empat sungai, yakni Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggarahan, Sungai Angke, dan Sungai Sunter yang ditargetkan tuntas pada 2022. Sungai Ciliwung dari 33 kilometer yang sudah dinormalisasikan sepanjang 16 kilometer, sementara tiga sungai lainnya dalam proses pembebasan lahan yang mencapai 20-30%.
Namun, dalam dua tahun terakhir kegiatan penataan sungai dihentikan karena proses pembebasan lahan bantaran kali tidak dilakukan. Oleh karena itu, Gubernur Anies Baswedan diharapkan melanjutkan program penataan sungai ini. Gubernur dituntut berani merelokasi permukiman di bantaran kali supaya badan kali bisa diperlebar dan diperdalam supaya kapasitas daya tampung air sungai meningkat optimal. Proses relokasi warga dipimpin langsung oleh gubernur dengan memastikan warga akan dipindah ke rusun mana, kapan, serta bagaimana fasilitas dan aksesibilitas ke rusunawa.
Kedua , banjir lokal. Di Jakarta tengah terjadi hujan lokal hari-hari ini. Namun, karena sistem saluran air kota yang buruk, air hujan meluber membanjiri jalanan dan permukiman di sekitarnya. Saluran air yang dipenuhi sampah dan lumpur sering kali menyumbat kelancaran air mengalir. Jaringan utilitas kabel dan pipa yang tumpang tindih di dalam saluran air juga menghambat aliran air. Konektivitas jaringan saluran air dari mikro/tersier/lingkungan ke meso/sekunder/kawasan hingga makro/primer/kota yang tidak terjalin baik membuat aliran air terkadang terhenti, tidak tertampung, dan meluap ke jalan.
Gubernur harus merehabilitasi seluruh saluran air kota, mulai saluran mikro, meso, dan makro. Lebar dimensi saluran air juga sudah saatnya diperbesar agar kapasitas daya tampung air juga besar. Misalnya dimensi saluran mikro dari 50 sentimeter (cm) menjadi 150 cm, saluran meso dari 100 cm ke-200 cm, dan saluran makro dari 150 cm ke-300 cm.
Saluran air harus bebas dari sampah, limbah, dan lumpur. Seluruh bangunan seperti warung dan bengkel, yang berdiri di atas saluran air harus dibongkar untuk memudahkan pemeliharaan dan perawatan saluran air.
Rehabilitasi saluran air harus terintegrasi dengan revitalisasi trotoar dan penataan jaringan utilitas bawah tanah secara terpadu. Petugas prasarana dan sarana umum (pasukan oranye) dan pasukan biru dari Dinas Sumber Daya Air harus lebih digiatkan kembali membersihkan seluruh saluran air.
Ketiga , banjir rob. Ketika bulan purnama, air laut pasang naik menggenangi kawasan permukiman yang berada di pantai utara Jakarta. Revitalisasi kawasan pantai utara Jakarta harus dilakukan pemerintah DKI. Kawasan tepi pantai Jakarta sepanjang 32 kilometer harus dibebaskan dari permukiman selebar 300-500 meter ke arah daratan dan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) hutan kota atau hutan bakau. Permukiman yang langganan terdampak banjir rob direlokasi ke rusun terdekat.
Keempat , banjir besar. Hal ini dapat terjadi pada saat bersamaan kawasan Puncak Bogor dan Jakarta hujan lebat serta pantai utara Jakarta memasuki bulan purnama. Jakarta pernah mengalami banjir besar ini pada 1986, 2002, 2007, 2012, dan 2017.
Untuk itu, selain menata bantaran sungai, merehabilitasi saluran air, dan merevitalisasi pantai utara, Pemerintah DKI juga harus merevitalisasi daerah penampung air dan daerah resapan air. Gubernur harus merevitalisasi 109 situ, danau, embung, dan waduk (SDEW) sebagai daerah penampung air.Targetkan revitalisasi 20 SDEW per tahun sehingga pada tahun kelima seluruh SDEW tuntas dibenahi. Permukiman yang berada di tepian badan SDEW harus direlokasi. Badan SDEW diperlebar, dikeruk, dan diperdalam untuk meningkatkan kapasitas daya tampung air hujan seperti Taman Waduk Pluit di Jakarta Utara.
Pemerintah DKI juga harus menambah luas daerah resapan air berupa RTH sebesar 9,98% (2020) sesuai target 30% (2030). Semakin luas RTH dimiliki, semakin besar kemampuan daya serap air tanah untuk mengurangi banjir. Gubernur yang banyak membangun taman kota, hutan kota, kebun raya, dan menghijaukan median jalan, bantaran sungai, tepi rel kereta api, kolong jalan/jembatan layang, serta saluran udara tegangan tinggi akan dikenang berhasil oleh warganya dalam upaya membebaskan Jakarta dari banjir.
(nag)