Plus-Minus Impor Daging Kerbau
A
A
A
Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang),
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, memperkirakan pada 2020 impor sapi mencapai 550.000 ekor dan daging kerbau 60.000 ton. Impor ini untuk memenuhi kebutuhan daging 600.000 ton tahun ini. Jumlah ini belum final. Hal yang mengejutkan, di saat India memutuskan membeli banyak minyak sawit Indonesia setelah cekcok dengan Malaysia, menurut dokumen yang dilihat Reuters (24/1/2020), Indonesia berkomitmen melipatgandakan kuota impor daging kerbau tahunan menjadi sebesar 200.000 ton.
Jika informasi ini benar, pada tempatnya untuk menimbang ulang impor daging kerbau, lebih-lebih bila sumbernya dari India. Impor daging kerbau dari India diinisiasi pertama kali pada 2016. Pemicunya adalah harga daging sapi yang tinggi menjelang dan saat Ramadan 2016 yang jatuh pada Juni. Saat itu harga daging sapi bertengger di angka Rp120.000/kg. Daging kerbau dari India yang murah menjadi pilihan, terutama untuk memenuhi target harga daging sapi yang diminta Presiden Joko Widodo: Rp80.000/kg.
Saat ini India merupakan eksportir terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20% pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor. Asia menerima lebih dari 80% daging kerbau India, Afrika sekitar 15%. Vietnam dan Malaysia, yang keduanya negara tertular penyakit mulut dan kuku (PMK), merupakan dua importir terbesar daging kerbau India dengan 52% pangsa pasar. India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor kerbau. Tapi, karena PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dalam perdagangan internasional (Naipospos, 2016).
Indonesia yang bebas PMK sampai saat ini masih harus berjuang meningkatkan populasi, terutama jumlah sapi indukan, dan produksi daging untuk memenuhi kebutuhan nasional yang terus meningkat. Sejumlah kebijakan telah dibuat, seperti membuka impor jeroan sapi dan kewajiban memasukkan indukan 5% dari setiap impor sapi bakalan. Namun, pelbagai upaya itu belum mendekatkan Indonesia pada pencapaian swasembada daging sapi. Bahkan, ada kecenderungan ketergantungan impor justru semakin tinggi. Pada 2016 dan 2017, porsi impor daging sapi dan kerbau mencapai 35,84%, naik menjadi 39,44% pada 2018 dan turun lagi jadi 37,65% pada 2019 (Andri Hanindyo, 2019).
Jauh-jauh hari Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Saat tanda-tanda tidak tercapai, target swasembada diundur (moving target). Ini terjadi berulang-ulang, seperti sesuatu yang lazim. Kebutuhan untuk mengkaji ulang impor daging kerbau dari India menjadi amat mendesak di tengah tetap tingginya porsi impor. Hal yang tidak banyak disadari, impor daging kerbau dari India sebenarnya memiliki dampak berantai yang berpotensi akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi.
Pertama, impor daging kerbau melenceng dari tujuan semula: dari pendorong penurunan harga daging sapi menjadi penopang utama pasokan. Ini bisa dilihat dari porsi impor daging kerbau yang terus naik: dari 39.000 ton pada 2016 jadi 54.000 ton 2017, naik jadi 79.000 ton pada 2018, dan naik lagi pada 2019 menjadi 80.000 ton. Ini terjadi barangkali karena daging kerbau terbukti gagal menjadi faktor pendorong turunnya harga daging sapi. Harga daging sapi masih tetap bertahan tinggi karena ongkos produksi tak mungkin ditekan. Ironisnya, harga daging kerbau pun terkerek di atas Rp80 ribu/kg.
Kedua, kematian mata rantai industri daging sapi. Harga daging kerbau India yang murah, kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing. Bukan hanya peternak, pengusaha yang selama ini bergerak di industri daging sapi bakal terancam gulung tikar. Ada baiknya belajar dari konsekuensi ekonomi yang dialami Filipina dan Malaysia yang sudah lama mengimpor daging kerbau India. Dari 220 peternakan sapi potong teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, saat ini tinggal tujuh. Sabah, Malaysia, di awal 1990-an yang biasa menyembelih sapi tiap tiga minggu berhenti begitu saja dengan masuknya daging India (Naipospos, 2016). Daging kerbau yang rendah berpotensi memukul telak semua mata rantai industri daging sapi.
Terpukulnya mata rantai industri daging sapi di Indonesia bisa dilihat dari adanya 14 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang bangkrut (Tawaf, 2019). Bukan mustahil, satu per satu dari 30 industri sapi potong sisanya bakal menyusul. Padahal, industri ini berkontribusi triliunan rupiah selama puluhan tahun pada pembangunan peternakan rakyat perdesaan.
Ketiga, ancaman perubahan status bebas PMK Indonesia. UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang membolehkan impor dari suatu zona bebas PMK dari sebuah negara yang belum bebas PMK seperti India dan Brasil. Namun, aturan ini sebenarnya menegasikan pentingnya kaidah maximum security. Bagi negara-negara bebas PMK seperti Indonesia, penting memastikan impor ternak dan produknya bersumber dari negara dengan status sama. Jika PMK kembali berjangkit, kerugian yang ditimbulkan tak ternilai. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai USD1,66 miliar. Selain itu, rasanya kurang elok karena impor dari negara tertular PMK tengah diuji materi di MK.
Usaha peternakan rakyat merupakan tulang punggung bangsa dalam penyediaan pangan, khususnya protein hewani. Daging sapi domestik berkontribusi sekitar 60%, susu 20% terhadap konsumsi nasional, ayam dan telur sudah swasembada. Menurut Sensus Pertanian 2013, 98% ternak sapi dikuasai usaha peternakan rakyat di perdesaan, usahanya skala kecil-subsisten-tradisional, terkendala teknologi, dan memperlakukan ternak sebagai rojo koyo.
Meskipun demikian, subsektor peternakan, khususnya daging sapi potong, memiliki keterkaitan erat terhadap 120 sektor ekonomi lain ke hulu maupun ke hilir dan memiliki daya ungkit tertinggi dari 175 sektor ekonomi lain (IRSA, 2009). Data-data itu menunjukkan, subsektor peternakan punya kontribusi besar dalam ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, peternakan rakyat amat rentan, sehingga perlu proteksi. Tanpa proteksi, bukan mustahil mereka bakal gulung tikar pelan-pelan. Saat itu terjadi, Indonesia harus membuang jauh-jauh cita-cita dan target swasembada daging.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, memperkirakan pada 2020 impor sapi mencapai 550.000 ekor dan daging kerbau 60.000 ton. Impor ini untuk memenuhi kebutuhan daging 600.000 ton tahun ini. Jumlah ini belum final. Hal yang mengejutkan, di saat India memutuskan membeli banyak minyak sawit Indonesia setelah cekcok dengan Malaysia, menurut dokumen yang dilihat Reuters (24/1/2020), Indonesia berkomitmen melipatgandakan kuota impor daging kerbau tahunan menjadi sebesar 200.000 ton.
Jika informasi ini benar, pada tempatnya untuk menimbang ulang impor daging kerbau, lebih-lebih bila sumbernya dari India. Impor daging kerbau dari India diinisiasi pertama kali pada 2016. Pemicunya adalah harga daging sapi yang tinggi menjelang dan saat Ramadan 2016 yang jatuh pada Juni. Saat itu harga daging sapi bertengger di angka Rp120.000/kg. Daging kerbau dari India yang murah menjadi pilihan, terutama untuk memenuhi target harga daging sapi yang diminta Presiden Joko Widodo: Rp80.000/kg.
Saat ini India merupakan eksportir terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20% pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor. Asia menerima lebih dari 80% daging kerbau India, Afrika sekitar 15%. Vietnam dan Malaysia, yang keduanya negara tertular penyakit mulut dan kuku (PMK), merupakan dua importir terbesar daging kerbau India dengan 52% pangsa pasar. India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor kerbau. Tapi, karena PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dalam perdagangan internasional (Naipospos, 2016).
Indonesia yang bebas PMK sampai saat ini masih harus berjuang meningkatkan populasi, terutama jumlah sapi indukan, dan produksi daging untuk memenuhi kebutuhan nasional yang terus meningkat. Sejumlah kebijakan telah dibuat, seperti membuka impor jeroan sapi dan kewajiban memasukkan indukan 5% dari setiap impor sapi bakalan. Namun, pelbagai upaya itu belum mendekatkan Indonesia pada pencapaian swasembada daging sapi. Bahkan, ada kecenderungan ketergantungan impor justru semakin tinggi. Pada 2016 dan 2017, porsi impor daging sapi dan kerbau mencapai 35,84%, naik menjadi 39,44% pada 2018 dan turun lagi jadi 37,65% pada 2019 (Andri Hanindyo, 2019).
Jauh-jauh hari Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Saat tanda-tanda tidak tercapai, target swasembada diundur (moving target). Ini terjadi berulang-ulang, seperti sesuatu yang lazim. Kebutuhan untuk mengkaji ulang impor daging kerbau dari India menjadi amat mendesak di tengah tetap tingginya porsi impor. Hal yang tidak banyak disadari, impor daging kerbau dari India sebenarnya memiliki dampak berantai yang berpotensi akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi.
Pertama, impor daging kerbau melenceng dari tujuan semula: dari pendorong penurunan harga daging sapi menjadi penopang utama pasokan. Ini bisa dilihat dari porsi impor daging kerbau yang terus naik: dari 39.000 ton pada 2016 jadi 54.000 ton 2017, naik jadi 79.000 ton pada 2018, dan naik lagi pada 2019 menjadi 80.000 ton. Ini terjadi barangkali karena daging kerbau terbukti gagal menjadi faktor pendorong turunnya harga daging sapi. Harga daging sapi masih tetap bertahan tinggi karena ongkos produksi tak mungkin ditekan. Ironisnya, harga daging kerbau pun terkerek di atas Rp80 ribu/kg.
Kedua, kematian mata rantai industri daging sapi. Harga daging kerbau India yang murah, kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing. Bukan hanya peternak, pengusaha yang selama ini bergerak di industri daging sapi bakal terancam gulung tikar. Ada baiknya belajar dari konsekuensi ekonomi yang dialami Filipina dan Malaysia yang sudah lama mengimpor daging kerbau India. Dari 220 peternakan sapi potong teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, saat ini tinggal tujuh. Sabah, Malaysia, di awal 1990-an yang biasa menyembelih sapi tiap tiga minggu berhenti begitu saja dengan masuknya daging India (Naipospos, 2016). Daging kerbau yang rendah berpotensi memukul telak semua mata rantai industri daging sapi.
Terpukulnya mata rantai industri daging sapi di Indonesia bisa dilihat dari adanya 14 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang bangkrut (Tawaf, 2019). Bukan mustahil, satu per satu dari 30 industri sapi potong sisanya bakal menyusul. Padahal, industri ini berkontribusi triliunan rupiah selama puluhan tahun pada pembangunan peternakan rakyat perdesaan.
Ketiga, ancaman perubahan status bebas PMK Indonesia. UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang membolehkan impor dari suatu zona bebas PMK dari sebuah negara yang belum bebas PMK seperti India dan Brasil. Namun, aturan ini sebenarnya menegasikan pentingnya kaidah maximum security. Bagi negara-negara bebas PMK seperti Indonesia, penting memastikan impor ternak dan produknya bersumber dari negara dengan status sama. Jika PMK kembali berjangkit, kerugian yang ditimbulkan tak ternilai. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai USD1,66 miliar. Selain itu, rasanya kurang elok karena impor dari negara tertular PMK tengah diuji materi di MK.
Usaha peternakan rakyat merupakan tulang punggung bangsa dalam penyediaan pangan, khususnya protein hewani. Daging sapi domestik berkontribusi sekitar 60%, susu 20% terhadap konsumsi nasional, ayam dan telur sudah swasembada. Menurut Sensus Pertanian 2013, 98% ternak sapi dikuasai usaha peternakan rakyat di perdesaan, usahanya skala kecil-subsisten-tradisional, terkendala teknologi, dan memperlakukan ternak sebagai rojo koyo.
Meskipun demikian, subsektor peternakan, khususnya daging sapi potong, memiliki keterkaitan erat terhadap 120 sektor ekonomi lain ke hulu maupun ke hilir dan memiliki daya ungkit tertinggi dari 175 sektor ekonomi lain (IRSA, 2009). Data-data itu menunjukkan, subsektor peternakan punya kontribusi besar dalam ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, peternakan rakyat amat rentan, sehingga perlu proteksi. Tanpa proteksi, bukan mustahil mereka bakal gulung tikar pelan-pelan. Saat itu terjadi, Indonesia harus membuang jauh-jauh cita-cita dan target swasembada daging.
(kri)