KPK Sepi Operasi Tangkap Tangan
A
A
A
APA kabar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Pertanyaan itu penting diajukan lantaran lembaga ini secara perlahan mulai sepi dari pemberitaan, setidaknya dalam sebulan terakhir. Ini berbanding terbalik dengan kondisi sebelum-sebelumnya di mana sepak terjang KPK selalu menjadi perbincangan, trending topic, baik di media massa arus utama maupun di media sosial.
Menurunnya intensitas pemberitaan tentang KPK tentu tak lepas dari mulai berkurangnya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga ini, setidaknya dalam sebulan terakhir. Padahal, sebelumnya, OTT selalu gencar dilakukan lembaga antirasuah ini. Bahkan, pada tengah Oktober 2019, KPK mencatat rekor dengan melakukan tiga OTT terhadap tiga kepala daerah hanya dalam waktu tiga hari. Pada 2018, KPK membuat rekor dengan melakukan 30 OTT yang 21 di antaranya adalah kepala daerah. Namun, alih-alih OTT, KPK baru malah sibuk dengan sejumlah kegiatan seremonial. Karenanya muncul sindiran: KPK sibuk jabat tangan, sepi tangkap tangan!
Ada apa sehingga KPK sepi OTT? Apakah praktik suap saat ini mulai berkurang? Ataukah justru KPK sudah tidak bertaji sehingga tidak segarang dulu lagi? Banyak pihak yang setuju bahwa KPK kini memang sedang lemah, bukan praktik korupsi yang berkurang. Lembaga ini lemah seiring berlakunya Undang-Undang No 19 Tahun 2019. UU baru tersebut telah mempreteli kewenangan KPK, di antaranya dalam hal penyadapan dan penggeledahan yang mesti mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri memang sempat memberikan harapan. Itu terutama setelah KPK melakukan dua OTT kurang dari dua pekan setelah komisioner baru dilantik. Dua pihak yang terjaring OTT di awal 2020 ini adalah Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Namun tampaknya dalam kasus penangkapan Wahyu Setiawan ini KPK mengalami titik balik. Sepak terjangnya langsung meredup. Publik mulai skeptis.
Kekhawatiran bahwa KPK dilemahkan dengan disahkannya UU baru makin terlihat nyata. Apalagi salah satu tersangka dalam kasus suap ini, yakni caleg PDI Perjuangan Harun Masiku, tidak kunjung tertangkap. Meski telah jadi buron, Harun Masiku seperti hilang ditelan bumi. Sudah lebih sebulan dicari, tak kunjung ditemukan. Sebelum perburuan Harun Masiku, berbagai drama mendahuluinya, di antaranya tim KPK yang gagal menggeledah kantor PDIP dan ditolak masuk ke Kampus PTIK saat mencari Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Selain Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi juga masih buron dan belum juga mampu ditangkap. Kini dalam hal penindakan, KPK hanya memeriksa saksi-saksi pada proses pemeriksaan dan persidangan. Di sisi lain pimpinan KPK yang baru malah sering terlihat seperti anak buah Presiden yang sering sowan ke mana-mana.
Ironis. KPK yang dulu sangat garang dan disegani kini seolah jadi bahan lelucon. Munculnya sayembara berhadiah iPhone 11 yang dibuat LSM Masyarakat Antikorupsi bagi mereka yang dapat menunjukkan persembunyian Harun Masiku contohnya. Sayembara ini kesannya ingin membantu KPK, tetapi di sisi lain memberi makna berbeda, yakni lembaga antirasuah ini memang sudah tidak bisa lagi diandalkan. Sudah lumpuh, nyaris mati.
Presiden Joko Widodo sering menyebut siap memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, tetapi nyatanya KPK sebagai lembaga terdepan yang dipercaya publik untuk memerangi korupsi malah terkesan dibiarkan lumpuh.
Ikhtiar untuk berperang melawan korupsi memang tidak boleh mati. Meski KPK meredup, api semangat di dada setiap warga negara yang ingin melihat negeri ini bebas korupsi harus tetap menyala. Masih ada satu harapan, yakni proses uji materi UU KPK yang tengah disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Harapannya adalah MK mengabulkan gugatan yang diajukan koalisi masyarakat sipil tersebut sehingga bangsa ini bisa melihat KPK kembali menjadi lembaga yang bertaji. Sulit bagi bangsa ini untuk berbicara tentang kesejahteraan rakyat jika kejahatan, terutama korupsi, masih terus merajalela di antero negeri ini.
Menurunnya intensitas pemberitaan tentang KPK tentu tak lepas dari mulai berkurangnya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan lembaga ini, setidaknya dalam sebulan terakhir. Padahal, sebelumnya, OTT selalu gencar dilakukan lembaga antirasuah ini. Bahkan, pada tengah Oktober 2019, KPK mencatat rekor dengan melakukan tiga OTT terhadap tiga kepala daerah hanya dalam waktu tiga hari. Pada 2018, KPK membuat rekor dengan melakukan 30 OTT yang 21 di antaranya adalah kepala daerah. Namun, alih-alih OTT, KPK baru malah sibuk dengan sejumlah kegiatan seremonial. Karenanya muncul sindiran: KPK sibuk jabat tangan, sepi tangkap tangan!
Ada apa sehingga KPK sepi OTT? Apakah praktik suap saat ini mulai berkurang? Ataukah justru KPK sudah tidak bertaji sehingga tidak segarang dulu lagi? Banyak pihak yang setuju bahwa KPK kini memang sedang lemah, bukan praktik korupsi yang berkurang. Lembaga ini lemah seiring berlakunya Undang-Undang No 19 Tahun 2019. UU baru tersebut telah mempreteli kewenangan KPK, di antaranya dalam hal penyadapan dan penggeledahan yang mesti mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri memang sempat memberikan harapan. Itu terutama setelah KPK melakukan dua OTT kurang dari dua pekan setelah komisioner baru dilantik. Dua pihak yang terjaring OTT di awal 2020 ini adalah Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Namun tampaknya dalam kasus penangkapan Wahyu Setiawan ini KPK mengalami titik balik. Sepak terjangnya langsung meredup. Publik mulai skeptis.
Kekhawatiran bahwa KPK dilemahkan dengan disahkannya UU baru makin terlihat nyata. Apalagi salah satu tersangka dalam kasus suap ini, yakni caleg PDI Perjuangan Harun Masiku, tidak kunjung tertangkap. Meski telah jadi buron, Harun Masiku seperti hilang ditelan bumi. Sudah lebih sebulan dicari, tak kunjung ditemukan. Sebelum perburuan Harun Masiku, berbagai drama mendahuluinya, di antaranya tim KPK yang gagal menggeledah kantor PDIP dan ditolak masuk ke Kampus PTIK saat mencari Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Selain Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi juga masih buron dan belum juga mampu ditangkap. Kini dalam hal penindakan, KPK hanya memeriksa saksi-saksi pada proses pemeriksaan dan persidangan. Di sisi lain pimpinan KPK yang baru malah sering terlihat seperti anak buah Presiden yang sering sowan ke mana-mana.
Ironis. KPK yang dulu sangat garang dan disegani kini seolah jadi bahan lelucon. Munculnya sayembara berhadiah iPhone 11 yang dibuat LSM Masyarakat Antikorupsi bagi mereka yang dapat menunjukkan persembunyian Harun Masiku contohnya. Sayembara ini kesannya ingin membantu KPK, tetapi di sisi lain memberi makna berbeda, yakni lembaga antirasuah ini memang sudah tidak bisa lagi diandalkan. Sudah lumpuh, nyaris mati.
Presiden Joko Widodo sering menyebut siap memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, tetapi nyatanya KPK sebagai lembaga terdepan yang dipercaya publik untuk memerangi korupsi malah terkesan dibiarkan lumpuh.
Ikhtiar untuk berperang melawan korupsi memang tidak boleh mati. Meski KPK meredup, api semangat di dada setiap warga negara yang ingin melihat negeri ini bebas korupsi harus tetap menyala. Masih ada satu harapan, yakni proses uji materi UU KPK yang tengah disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Harapannya adalah MK mengabulkan gugatan yang diajukan koalisi masyarakat sipil tersebut sehingga bangsa ini bisa melihat KPK kembali menjadi lembaga yang bertaji. Sulit bagi bangsa ini untuk berbicara tentang kesejahteraan rakyat jika kejahatan, terutama korupsi, masih terus merajalela di antero negeri ini.
(jon)