Benih In-situ Berbasis Korporasi
A
A
A
Imam Mujahidin
Dosen Ekologi Politik Unhas, Makassar
TANTANGAN dan hambatan pembangunan pertanian di masa mendatang kian kompleks, terutama pada upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat. Pengalihan fungsi lahan pertanian terus terjadi sekitar 100.000-an hektare tiap tahun. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian juga mengalami penurunan karena generasi muda enggan bekerja di sektor pertanian. Padahal, bangsa ini memiliki harapan besar dalam mewujudkan kemandirian pangan.
Segala tantangan dan hambatan dalam pembangunan pertanian, terutama dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan, penting untuk diurai satu per satu karena sektor pertanian sesungguhnya adalah lokomotif pembangunan nasional dan basis ekonomi kerakyatan. Keberhasilan pembangunan pertanian akan berdampak pada penurunan kemiskinan dan jumlah pengangguran, mengecilnya koefisien gini rasio sebagai indikator tingkat ketimpangan kota dan desa, serta peningkatan pendapatan per kapita di perdesaan.
Langkah apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan berbagai harapan itu? Pemerintah saat ini memang terus melakukan gebrakan untuk mendukung transformasi pembangunan pertanian. Satu di antaranya dengan mewujudkan kemandirian pangan yang tidak hanya semata-mata berorientasi pada peningkatan produksi, tapi juga turut berorientasi pada kesejahteraan petani. Peningkatan produksi tidak mungkin bisa dijalankan jika petani sebagai pelaku produksi tidak diperhatikan kesejahteraannya. Karena itu, pembangunan pertanian pun perlu dikuatkan dari hulu hingga hilir.
Penguatan hulu hingga hilir ini dilakukan melalui wadah korporasi petani. Melalui wadah ini, transformasi pembangunan pertanian dimulai dengan membangun sistem pertanian dengan teknologi tinggi berbiaya rendah dan digitalisasi. Para petani yang tergabung dalam wadah korporasi ini juga diajak untuk berpikir dan bergerak dengan manajemen modern, dimulai dari produksi, pengolahan, hingga pemasarannya.
Penguatan Hulu Pertanian
Penggiatan korporasi petani diharapkan bisa mendongkrak produksi pertanian. Pada tahun ini Kementerian Pertanian telah menargetkan peningkatan produksi beberapa komoditas pangan utama, yaitu target produksi padi ditetapkan sebesar 59,15 juta ton, jagung 24,17 juta ton, kedelai 0,42 juta ton, bawang merah 1,66 juta ton, cabai besar 1,35 juta ton, serta komoditas strategis lainnya ditargetkan pada 2020 meningkat rata-rata 7% dibandingkan pada 2019.
Target peningkatan produksi komoditas pangan utama pada tahun ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang pemerintah untuk mencapai swasembada dan menempatkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu melibatkan partisipasi stakeholders pembangunan pertanian.
Faktor yang cukup berpengaruh untuk meningkatkan produksi pertanian adalah benih unggul. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai terobosan perbaikan, peningkatan dan pengembangan pengelolaan produksi, sertifikasi (kualitas) dan sistem distribusi perbenihan nasional. Untuk mendapatkan benih bermutu diperlukan penemuan varietas unggul yang dilakukan melalui usaha pemuliaan tanaman yang diselenggarakan antara lain melalui kegiatan pencarian, pengumpulan, dan pemanfaatan plasma nutfah baik di dalam maupun di luar habitatnya, dan atau melalui usaha introduksi dari luar negeri.
Benih merupakan penciri produktivitas sehingga memiliki posisi penting dalam usaha pertanian. Dalam benih terkandung potensi genetik produksi yang akan memberikan hasil dalam usaha pertanian. Karena itu, persoalan benih harus mendapatkan perhatian yang cukup besar dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian kita.
Soal perbenihan tanaman sesungguhnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44/1995 yang menjelaskan bahwa benih tanaman adalah satu di antara sarana budi daya tanaman. Benih memiliki peranan sangat strategis dalam meningkatkan produksi dan mutu hasil budi daya tanaman. PP ini mengamanahkan agar sistem perbenihan tanaman mampu menjamin tersedianya benih bermutu secara memadai dan berkesinambungan. Akan tetapi, sejauh ini pengelolaan perbenihan nasional belum menunjukkan kinerja maksimal, mulai dari ketersediaan, jangkauan/distribusi, kualitas, dan harga.
Untuk mengejawantahkan PP Nomor 44/1995, Menteri Pertanian melalui Kepmen Nomor 726/Kpts/KB.20/12/2015 menugaskan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam rangka perbanyakan benih/bibit sebar komoditas strategis yang bermutu untuk percepatan diseminasi varietas unggul dilaksanakan sesuai ketentuan dengan menjamin tingkat kualitas (kemurnian genetik) dan daya tumbuh benih/bibit sebar.
Keputusan Mentan tersebut menjadi legalitas bagi institusi riset untuk melakukan perbanyakan benih sebar dengan mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki terutama peneliti, infrastruktur, dan kelompok pemangku kepentingan lain, yaitu Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) dan penangkar dalam rangka ketersediaan benih/bibit strategis komoditas pertanian sebagai upaya mendukung swasembada pangan dan lumbung pangan dunia di masa mendatang.
Peranan UPBS dan penangkar dalam memproduksi benih unggul sangatlah strategis. Karena itu, UPBS dan petani penangkar harus mempunyai kapasitas yang memadai. Selain memiliki kapasitas individu, petani juga sebaiknya menjalankan usaha bersama secara kolektif dalam suatu Korporasi Petani. Korporasi Petani digagas untuk melahirkan kelembagaan ekonomi petani yang berbadan hukum, dapat berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani.
Metode Perbenihan untuk Korporasi Petani
Mengacu pada pentingnya perbenihan dalam produksi pertanian, maka perlu dicarikan metode produksi benih yang cocok untuk korporasi petani. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan penulis, produksi benih in-situ kompatibel dengan kelembagaan petani berbasis korporasi. Perbenihan in-situ adalah perbenihan yang dilakukan dengan mengambil spesies target (on-site ), dalam ekosistem alami atau aslinya. Produksi benih in-situ dapat dilakukan dengan pemberdayaan kelompok tani sebagai produsen benih dan bermitra dengan produsen benih.
Program Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostratani) juga wajib diintegrasikan dalam model produksi benih in-situ . Produksi dilakukan pada setiap posko Kostratani, dengan luas hamparan 10-20 hektare untuk kebun benih, demi memenuhi kebutuhan benih setiap wilayah Kostratani.
Secara matematis, kebutuhan benih padi 2019 sebesar 353.761 ton (setara Rp3,46 triliun). Penyediaan benih 220.738 ton (Rp2,16 triliun). Dari penyediaan benih besertifikat tersebut digunakan petani 186.936 ton (Rp1,83 triliun) dengan rincian untuk program 59.309 ton (16% atau Rp581 miliar) dan swadaya petani 127.626 ton (36% atau Rp1,25 triliun) serta sisanya 47,15% petani masih menggunakan benih tidak besertifikat. Total penggunaan benih 52,84%.
Sedangkan kebutuhan benih jagung pada 2019 sebanyak 102.533 ton (setara Rp4,51 triliun). Penyediaan benih 102.940 ton (Rp4,52 triliun). Dari penyediaan benih besertifikat tersebut digunakan petani 58.673 ton (Rp2,58 triliun) dengan rincian untuk program 32.237 ton (31% atau Rp1,41 triliun) dan swadaya petani 26.436 ton (25% atau Rp1,16 triliun) serta sisanya 42,78% petani masih menggunakan benih komposit/nonhibrida. Total penggunaan benih 57,22%.
Untuk kebutuhan benih kedelai pada 2019 sebesar 10.313 ton (setara Rp122 miliar). Penyediaan benih 10.212 ton (Rp121 miliar). Dari penyediaan benih besertifikat tersebut digunakan petani 5.488 ton (Rp65 miliar) dengan rincian untuk program 4.856 ton (47% atau Rp57 miliar) dan swadaya petani 631 ton (6 % atau Rp7,5 miliar) serta sisanya 46,79% petani masih menggunakan benih nonsertifikat. Total penggunaan benih 53,21%.
Jika diasumsikan harga benih padi Rp9.800/kg; benih jagung hibrida Rp40.000/kg; dan benih kedelai Rp.12.000/kg, maka harga benih untuk tiga komoditas; padi, jagung, dan kedelai berkisar Rp8 triliun setiap tahun. Bila pemenuhan benih dapat dilaksanakan melalui produksi benih in-situ di setiap lokasi pengembangan dengan pemberdayaan kelompok tani sebagai produsen benih dan bermitra dengan produsen benih, maka petani setidaknya dapat efisiensi penggunaan dana untuk kebutuhan benih sekitar Rp4 triliun rupiah/tahun dengan asumsi biaya produksi sebesar 50%.
Jika pemerintah dapat memfasilitasi kelompok tani dengan menyiapkan biaya sarana produksi untuk benih sumber, pupuk, dan pestisida di mana pemenuhan benih sumber untuk kegiatan produksi benih oleh kelompok tani diperoleh dari Badan Litbang (BPTP, BB Padi, Balitkabi, Balitsereal, dan Perguruan Tinggi), maka efisiensi penggunaan dana untuk produksi benih akan lebih besar lagi. Kelompok tani yang produksi benih yang akan mengembangkan kelembagaan petaninya menjadi kelembagaan ekonomi petani dapat memanfaatkan permodalan dari perbankan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau dapat memanfaatkan asuransi usaha tani. Pemanfaatan hasil penangkaran benih in-situ tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih petani pelaksana program di daerah setempat melalui posko Konstratani dan wilayah sekitarnya yang membutuhkan atau bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan benih pasar bebas.
Pengembangan metode perbenihan in-situ berbasis korporasi yang bertujuan memperbanyak penggunaan benih unggul ini kita harapkan bisa memperkuat fondasi pembangunan pertanian di masa depan. Dimulai dengan penggunaan benih unggul, semoga cita-cita Indonesia sebagai produsen pangan bagi masyarakat dunia bisa tercapai.
Dosen Ekologi Politik Unhas, Makassar
TANTANGAN dan hambatan pembangunan pertanian di masa mendatang kian kompleks, terutama pada upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat. Pengalihan fungsi lahan pertanian terus terjadi sekitar 100.000-an hektare tiap tahun. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian juga mengalami penurunan karena generasi muda enggan bekerja di sektor pertanian. Padahal, bangsa ini memiliki harapan besar dalam mewujudkan kemandirian pangan.
Segala tantangan dan hambatan dalam pembangunan pertanian, terutama dalam upaya mewujudkan kemandirian pangan, penting untuk diurai satu per satu karena sektor pertanian sesungguhnya adalah lokomotif pembangunan nasional dan basis ekonomi kerakyatan. Keberhasilan pembangunan pertanian akan berdampak pada penurunan kemiskinan dan jumlah pengangguran, mengecilnya koefisien gini rasio sebagai indikator tingkat ketimpangan kota dan desa, serta peningkatan pendapatan per kapita di perdesaan.
Langkah apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan berbagai harapan itu? Pemerintah saat ini memang terus melakukan gebrakan untuk mendukung transformasi pembangunan pertanian. Satu di antaranya dengan mewujudkan kemandirian pangan yang tidak hanya semata-mata berorientasi pada peningkatan produksi, tapi juga turut berorientasi pada kesejahteraan petani. Peningkatan produksi tidak mungkin bisa dijalankan jika petani sebagai pelaku produksi tidak diperhatikan kesejahteraannya. Karena itu, pembangunan pertanian pun perlu dikuatkan dari hulu hingga hilir.
Penguatan hulu hingga hilir ini dilakukan melalui wadah korporasi petani. Melalui wadah ini, transformasi pembangunan pertanian dimulai dengan membangun sistem pertanian dengan teknologi tinggi berbiaya rendah dan digitalisasi. Para petani yang tergabung dalam wadah korporasi ini juga diajak untuk berpikir dan bergerak dengan manajemen modern, dimulai dari produksi, pengolahan, hingga pemasarannya.
Penguatan Hulu Pertanian
Penggiatan korporasi petani diharapkan bisa mendongkrak produksi pertanian. Pada tahun ini Kementerian Pertanian telah menargetkan peningkatan produksi beberapa komoditas pangan utama, yaitu target produksi padi ditetapkan sebesar 59,15 juta ton, jagung 24,17 juta ton, kedelai 0,42 juta ton, bawang merah 1,66 juta ton, cabai besar 1,35 juta ton, serta komoditas strategis lainnya ditargetkan pada 2020 meningkat rata-rata 7% dibandingkan pada 2019.
Target peningkatan produksi komoditas pangan utama pada tahun ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang pemerintah untuk mencapai swasembada dan menempatkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu melibatkan partisipasi stakeholders pembangunan pertanian.
Faktor yang cukup berpengaruh untuk meningkatkan produksi pertanian adalah benih unggul. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai terobosan perbaikan, peningkatan dan pengembangan pengelolaan produksi, sertifikasi (kualitas) dan sistem distribusi perbenihan nasional. Untuk mendapatkan benih bermutu diperlukan penemuan varietas unggul yang dilakukan melalui usaha pemuliaan tanaman yang diselenggarakan antara lain melalui kegiatan pencarian, pengumpulan, dan pemanfaatan plasma nutfah baik di dalam maupun di luar habitatnya, dan atau melalui usaha introduksi dari luar negeri.
Benih merupakan penciri produktivitas sehingga memiliki posisi penting dalam usaha pertanian. Dalam benih terkandung potensi genetik produksi yang akan memberikan hasil dalam usaha pertanian. Karena itu, persoalan benih harus mendapatkan perhatian yang cukup besar dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian kita.
Soal perbenihan tanaman sesungguhnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44/1995 yang menjelaskan bahwa benih tanaman adalah satu di antara sarana budi daya tanaman. Benih memiliki peranan sangat strategis dalam meningkatkan produksi dan mutu hasil budi daya tanaman. PP ini mengamanahkan agar sistem perbenihan tanaman mampu menjamin tersedianya benih bermutu secara memadai dan berkesinambungan. Akan tetapi, sejauh ini pengelolaan perbenihan nasional belum menunjukkan kinerja maksimal, mulai dari ketersediaan, jangkauan/distribusi, kualitas, dan harga.
Untuk mengejawantahkan PP Nomor 44/1995, Menteri Pertanian melalui Kepmen Nomor 726/Kpts/KB.20/12/2015 menugaskan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam rangka perbanyakan benih/bibit sebar komoditas strategis yang bermutu untuk percepatan diseminasi varietas unggul dilaksanakan sesuai ketentuan dengan menjamin tingkat kualitas (kemurnian genetik) dan daya tumbuh benih/bibit sebar.
Keputusan Mentan tersebut menjadi legalitas bagi institusi riset untuk melakukan perbanyakan benih sebar dengan mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki terutama peneliti, infrastruktur, dan kelompok pemangku kepentingan lain, yaitu Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) dan penangkar dalam rangka ketersediaan benih/bibit strategis komoditas pertanian sebagai upaya mendukung swasembada pangan dan lumbung pangan dunia di masa mendatang.
Peranan UPBS dan penangkar dalam memproduksi benih unggul sangatlah strategis. Karena itu, UPBS dan petani penangkar harus mempunyai kapasitas yang memadai. Selain memiliki kapasitas individu, petani juga sebaiknya menjalankan usaha bersama secara kolektif dalam suatu Korporasi Petani. Korporasi Petani digagas untuk melahirkan kelembagaan ekonomi petani yang berbadan hukum, dapat berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani.
Metode Perbenihan untuk Korporasi Petani
Mengacu pada pentingnya perbenihan dalam produksi pertanian, maka perlu dicarikan metode produksi benih yang cocok untuk korporasi petani. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan penulis, produksi benih in-situ kompatibel dengan kelembagaan petani berbasis korporasi. Perbenihan in-situ adalah perbenihan yang dilakukan dengan mengambil spesies target (on-site ), dalam ekosistem alami atau aslinya. Produksi benih in-situ dapat dilakukan dengan pemberdayaan kelompok tani sebagai produsen benih dan bermitra dengan produsen benih.
Program Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostratani) juga wajib diintegrasikan dalam model produksi benih in-situ . Produksi dilakukan pada setiap posko Kostratani, dengan luas hamparan 10-20 hektare untuk kebun benih, demi memenuhi kebutuhan benih setiap wilayah Kostratani.
Secara matematis, kebutuhan benih padi 2019 sebesar 353.761 ton (setara Rp3,46 triliun). Penyediaan benih 220.738 ton (Rp2,16 triliun). Dari penyediaan benih besertifikat tersebut digunakan petani 186.936 ton (Rp1,83 triliun) dengan rincian untuk program 59.309 ton (16% atau Rp581 miliar) dan swadaya petani 127.626 ton (36% atau Rp1,25 triliun) serta sisanya 47,15% petani masih menggunakan benih tidak besertifikat. Total penggunaan benih 52,84%.
Sedangkan kebutuhan benih jagung pada 2019 sebanyak 102.533 ton (setara Rp4,51 triliun). Penyediaan benih 102.940 ton (Rp4,52 triliun). Dari penyediaan benih besertifikat tersebut digunakan petani 58.673 ton (Rp2,58 triliun) dengan rincian untuk program 32.237 ton (31% atau Rp1,41 triliun) dan swadaya petani 26.436 ton (25% atau Rp1,16 triliun) serta sisanya 42,78% petani masih menggunakan benih komposit/nonhibrida. Total penggunaan benih 57,22%.
Untuk kebutuhan benih kedelai pada 2019 sebesar 10.313 ton (setara Rp122 miliar). Penyediaan benih 10.212 ton (Rp121 miliar). Dari penyediaan benih besertifikat tersebut digunakan petani 5.488 ton (Rp65 miliar) dengan rincian untuk program 4.856 ton (47% atau Rp57 miliar) dan swadaya petani 631 ton (6 % atau Rp7,5 miliar) serta sisanya 46,79% petani masih menggunakan benih nonsertifikat. Total penggunaan benih 53,21%.
Jika diasumsikan harga benih padi Rp9.800/kg; benih jagung hibrida Rp40.000/kg; dan benih kedelai Rp.12.000/kg, maka harga benih untuk tiga komoditas; padi, jagung, dan kedelai berkisar Rp8 triliun setiap tahun. Bila pemenuhan benih dapat dilaksanakan melalui produksi benih in-situ di setiap lokasi pengembangan dengan pemberdayaan kelompok tani sebagai produsen benih dan bermitra dengan produsen benih, maka petani setidaknya dapat efisiensi penggunaan dana untuk kebutuhan benih sekitar Rp4 triliun rupiah/tahun dengan asumsi biaya produksi sebesar 50%.
Jika pemerintah dapat memfasilitasi kelompok tani dengan menyiapkan biaya sarana produksi untuk benih sumber, pupuk, dan pestisida di mana pemenuhan benih sumber untuk kegiatan produksi benih oleh kelompok tani diperoleh dari Badan Litbang (BPTP, BB Padi, Balitkabi, Balitsereal, dan Perguruan Tinggi), maka efisiensi penggunaan dana untuk produksi benih akan lebih besar lagi. Kelompok tani yang produksi benih yang akan mengembangkan kelembagaan petaninya menjadi kelembagaan ekonomi petani dapat memanfaatkan permodalan dari perbankan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau dapat memanfaatkan asuransi usaha tani. Pemanfaatan hasil penangkaran benih in-situ tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih petani pelaksana program di daerah setempat melalui posko Konstratani dan wilayah sekitarnya yang membutuhkan atau bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan benih pasar bebas.
Pengembangan metode perbenihan in-situ berbasis korporasi yang bertujuan memperbanyak penggunaan benih unggul ini kita harapkan bisa memperkuat fondasi pembangunan pertanian di masa depan. Dimulai dengan penggunaan benih unggul, semoga cita-cita Indonesia sebagai produsen pangan bagi masyarakat dunia bisa tercapai.
(pur)