AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers Tolak Campur Tangan Pemerintah Lagi dalam Kehidupan Pers

Minggu, 16 Februari 2020 - 19:15 WIB
AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers Tolak Campur Tangan Pemerintah Lagi dalam Kehidupan Pers
AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers Tolak Campur Tangan Pemerintah Lagi dalam Kehidupan Pers
A A A
JAKARTA - Pemerintah tiga hari yang lalu mengirimkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke DPR. Draft RUU tersebut hasil dari konsep Omnibus Law untuk merampingkan dan merevisi sejumlah undang-undang yang berlaku saat ini. Pemerintah menargetkan draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja bisa dibahas dan disahkan oleh DPR dalam waktu 100 hari.

Omnibus Law Cipta Kerja sejak lama diprioritaskan pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi untuk menggenjot investasi. Karena itu, pasal-pasal di sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi akan disederhanakan bahkan dihapus. Setidaknya ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang sedang digodok dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. (Baca juga: PPP Sebut Koalisi Pemerintah Satu Suara Muluskan Omnibus Law Cipta Kerja )

Selain mengatur soal investasi, RUU ini juga memasukkan revisi sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing dan ketentuan pidana. Rincian dari pasal asli dan usulan revisi, ada di bawah ini:

Dalam UU Nomor 40 tentang Pers, Pasal 11 menyatakan, "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal." Sementara pada revisi dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja menyatakan, "Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal."

Pada Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 tentang Pers berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta". Sementara Pasal 18 ayat (1) Omnibus Law RUU Cipta Kerja berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar".

Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 40 tentang Pers berbunyi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta". Sementara Pasal 18 ayat (2) Omnibus Law RUU Cipta Kerja berbunyi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2 miliar".

Kemudian pada Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 40 tentang Pers berbunyi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta". Sementara Pasal 18 ayat (3) Omnibus Law RUU Cipta Kerja berbunyi, "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif". (Baca juga: Menolak Muluskan, PKS Akan Kritisi Omnibus Law Cipta Kerja )

Terakhir Pasal 18 ayat (4) berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Atas usulan revisi pasal UU Pers yang disodorkan pemerintah, AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers menyatakan sikap menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers. Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar Pasal 9 dan Pasal 12.

"Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka," ujar Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana dalam rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (16/2/2020).

Dia menjelaskan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.

"Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui. Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers," tandasnya.

Menurutnya, lahirnya UU Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru."Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu. Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya," katanya.

Dengan membaca RUU Cipta Kerja ini yang di dalamnya ada usulan revisi agar ada Peraturan Pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, lanjut dia, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers. "Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme “pintu belakang” (back dor), atau “jalan tikus”, bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers. Kami mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers. Kami meminta revisi pasal ini dicabut," tandasnya. (Baca juga: Diserahkan ke DPR, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Akan Dibahas Tujuh Komisi)

Yadi menegaskan, AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers juga menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers. Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp2 miliar –naik dari sebelumnya Rp 500 juta.Pasal 5 ayat (1) mengatur tentang “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah". Pasal 5 ayat (2) berisi ketentuan soal “Pers wajib melayani Hak Jawab. Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat".

"Kami memertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400% dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik."

"Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut," sambungnya.

AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers juga menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan UU Pers. Pihaknya menilai bahwa UU itu selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten.

"Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3 adalah bukan solusi untuk menegakkan UU Pers. Ayat 2 mengatur soal “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”, ayat 3 berisi jaminan bagi “pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”," tutur Yadi.

Namun, lanjut Yadi, bagi pihaknya yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya. Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya.

Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar Pasal 4 ayat (3) UU Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP. Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan.

Dia menambahkan jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka harusnya menggunakan UU Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta. Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi pihaknya untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini. (Baca juga: Diserahkan ke DPR, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Akan Dibahas Tujuh Komisi)

"Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik “lip service”, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini. Bagi kami, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum Undang-undang Pers," tutupnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5824 seconds (0.1#10.140)