Membenahi Tata Keamanan Laut
A
A
A
Sayfa Auliya Achidsti
Pengamat Kebijakan Publik, Co-Founder HICON Law and Policy Strategies
KETEGANGAN Indonesia-China di kawasan Laut China Selatan beberapa waktu lalu berakhir dengan "kesepakatan" diplomatis dua belah pihak untuk membahas lebih lanjut dalam prinsip perdamaian. Dengan kata lain, dua pihak sepakat meng-hold masalah ini.
"Nine-dash line " versi China memang tidak diakui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan Permanent Court of Arbitration (Pengadilan Internasional). Namun, sengketa laut ( sea dispute ) di Natuna membuktikan bahwa pemerintah belum kapabel merespons kasus pelanggaran oleh negara lain.
Ada dua problem atas komplikasi tersebut. Pertama , Indonesia pada praktiknya tidak punya penjaga laut dan pantai (national sea and coast guard ) otoritatif dan implementatif. Kedua , banyak perundangan di laut yang bersinggungan (intersecting ) dan tumpang-tindih ( overlapping ).
Hal di atas berimbas pada buruknya prosedur respons sea dispute (konteks antarnegara), sampai potensi bottlenecking perniagaan berbasis laut bagi pelaku usaha (konteks domestik).
Sea and Coast Guard
Eskalasi isu Laut China Selatan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sudah lama terjadi. Sejak 2017 pemerintah mengubah penamaan pada peta negara Indonesia menjadi Laut Natuna Utara dan berupaya mendapat pengakuan resmi internasional. Hal ini dilakukan demi penegasan klaim zona Indonesia.
Tetapi, selamanya "trespassing " akan tetap potensial selama Pemerintah Indonesia belum mau serius menjawab dua masalah utama di laut. Pemerintah Indonesia juga selalu akan gagap merespons insiden di laut terkait antarnegara.
Masalah pertama , ketiadaan satuan penjaga laut dan pantai Pemerintah Indonesia. Pembentukan satuan dalam fungsi tersebut (dalam UNCLOS 1982 disebut "safeguards ") di Indonesia adalah Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Indonesia (KPLP) yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Sayangnya, KPLP praktis tidak fungsional. Satuan ini hanya unit di bawah direktorat (eselon II internal kementerian) yang tidak bakal kuat menjangkau koordinasi lintas kementerian. Padahal, KPLP adalah lembaga yang dibentuk berdasar UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran.
UU Pelayaran merangkum aturan seluruh kegiatan pelayaran di laut Indonesia. Sehingga, sepanjang menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran, perundangan lain diharuskan tunduk (bagian Penjelasan UU Pelayaran).
UU Pelayaran rinci mengamanatkan pembentukan national sea and coast guard . Penjaga laut dan pantai dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan secara teknis dilaksanakan oleh Menteri (Pasal 276). Kemudian, Pasal 278 mengatakan penjaga laut dan pantai punya kewenangan patroli laut, pengejaran seketika (hot pursuit ), memberhentikan dan memeriksa kapal di laut, dan melakukan penyidikan.
Begitu krusialnya penjagaan laut dan pantai bagi kepentingan nasional membuat UU Pelayaran mengamanatkan dukungan pangkalan di seluruh wilayah, penggunaan status kapal/pesawat negara (Pasal 279), hingga kewenangan khusus penyidikan bidang pelayaran oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam segala otoritasnya (Pasal 282-283).
"Dualisme" mulai terjadi ketika UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan terbit dan mengamanatkan terbentuknya Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam rangka penegakan hukum. Persoalannya, UU Kelautan tidak mengamanatkan—dan bukan dalam rangka—membentuk national sea and coast guard . Karena itu pula, UU Kelautan tidak memberi kewenangan Bakamla dalam penyidikan, pendirian pangkalan, penggunaan kapal/pesawat berstatus negara, dan unsur PPNS di dalamnya.
Ketika terjadi insiden Natuna, Pemerintah Indonesia pasti mengalami dilema dalam prosedur respons. Di satu sisi, walau dibentuk dari UU Pelayaran yang otoritatif, format kelembagaan dan operasi KPLP secara faktual powerless menghadapi kasus lintasnegara. Di sisi lain, Bakamla pun tidak diizinkan mengambil tindakan apa pun kecuali hanya mendekati kapal asing dengan harapan "trespassing " akan mundur.
Pilihan satu-satunya adalah penempatan (deploying ) armada militer TNI AL menghalau sipil asing (nelayan dan coast guard China) dan melakukan patroli perbatasan. Langkah seperti ini berimbas persepsi negatif internasional: pelanggaran sipil (nelayan dan coastguard China) direspons pengerahan Kapal Perang RI (KRI).
Tata Perundangan
Problem kedua , persinggungan (intersecting ) dan tumpang-tindih ( overlapping ) perundangan di laut. Mengenai penegakan hukum di laut, telah ada instansi di bawah perundangan antara lain Polairud (UU Nomor 2/2002 tentang Polri), Bea Cukai (UU Nomor 17/2006 tentang Kepabeanan), TNI AL (UU Nomor 34/2004 tentang TNI), sea and coast guard (UU Pelayaran), dan Pengawas Perikanan (UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan).
Lalu, bagaimana pembagiannya? Polairud bisa bergerak dari darat sampai 12 mil. Pengawas Perikanan bisa bergerak hingga 200 mil. Bea Cukai bergerak pada 12-24 mil (zona tambahan) di bidang kepabeanan. Kapal TNI AL bisa beroperasi di 12-200 mil dalam penegakan hukum dan menjaga keamanan (tugas pertahanan). Sedangkan national sea and coast guard mencakup seluruh pantai dan laut sejauh menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran.
Bidang penyidikan Polairud, Bea Cukai, TNI AL, dan Pengawas Perikanan relatif mudah dibedakan. Tetapi, masalah yang harus dipecahkan adalah arah kebijakan penguatan national sea and coast guard Indonesia. Dalam hal ini, baik KPLP maupun Bakamla sama-sama memiliki kekurangan. Ada tiga opsi jika penjaga laut versi ideal mau dijajaki.
Pertama , penguatan KPLP sesuai amanat UU Pelayaran, yaitu penerbitan aturan turunan. UU Pelayaran telah memerintahkan membentuk badan khusus melalui peraturan pemerintah (PP). Sayangnya, sejak 2008 aturan pelaksana tak juga kunjung terbit. Aturan pelaksana ini dibutuhkan untuk menjangkau lintas K/L dalam "komando" penegakan aturan keselamatan dan keamanan pelayaran , serta "koordinasi" penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran.
Kedua , kepastian status Bakamla sebagai national sea and coast guard . UU Kelautan hanya memerintahkan pembentukan Bakamla; tanpa kejelasan status, otoritas penyidikan, dan penggunaan prasarana armada berstatus negara sesuai aturan perundangan.
UU Kelautan yang sekarang berpotensi menabrak perundangan lain karena ada Pasal 65, yaitu kepala Bakamla dijabat personal dari instansi penegak hukum yang memiliki kekuatan armada patroli. Sementara UU TNI Pasal 47 menerangkan batasan prajurit aktif hanya boleh menjabat di 10 instansi (Kemenko Polhukam, Kemenhan, Setmilpres, BIN, BSN, Lemhanas, DPN, SAR, BNN, dan MA). Pada praktiknya, para pejabat tinggi Bakamla adalah laksamana aktif.
Pasal 61-63 menerangkan bahwa kewenangan di satu komando dan kendali. Padahal, ada belasan aturan perundangan laut (penegakan hukum, lingkungan, keimigrasian, karantina, migas, dan sebagainya); tidak bisa dikomando karena setingkat, namun harus dikoordinasi. Jika opsi ini yang dipilih, revisi UU Kelautan perlu dilakukan agar tidak menjadi perundangan cacat hukum.
Ketiga , merger instansi yang cenderung identik (KPLP dan Bakamla) dengan menyiapkan regulasi yang kuat tentang national sea and coast guard . KPLP memang dibentuk dengan sisi hukum paling jelas. Tetapi, Bakamla relatif lebih bisa "diterima" dalam narasi pertahanan nasional. PR-nya tinggal bagaimana struktur kelembagaan national sea and coast guard "baru" mampu mengolaborasi platform sipil (kemaritiman) dan platform pertahanan (kemiliteran). Tujuannya, agar instansi ini lebih implementatif secara formil sekaligus politik.
Terlepas mana opsi yang dipilih, wacana Omnibus Law Keamanan Laut dapat menjadi pintu masuk reformasi tata keamanan di laut. Persinggungan perundangan tanpa pembagian tugas atau otoritas koordinatif sektoral yang jelas akan kontraproduktif dengan ikhtiar pembangunan nasional yang sedang dikebut sekarang.
Dalam dunia usaha misalnya. Beragam instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan di laut atas satu objek hukum (kapal) bisa jadi hambatan usaha berbasis laut (logistik, transportasi, hingga perdagangan lintas negara). Jangan sampai "lengkapnya" instansi penegakan hukum di laut justru menghambat para pelaku usaha di dalam, tetapi "melempem" dalam penanganan kasus ke luar.
Pengamat Kebijakan Publik, Co-Founder HICON Law and Policy Strategies
KETEGANGAN Indonesia-China di kawasan Laut China Selatan beberapa waktu lalu berakhir dengan "kesepakatan" diplomatis dua belah pihak untuk membahas lebih lanjut dalam prinsip perdamaian. Dengan kata lain, dua pihak sepakat meng-hold masalah ini.
"Nine-dash line " versi China memang tidak diakui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan Permanent Court of Arbitration (Pengadilan Internasional). Namun, sengketa laut ( sea dispute ) di Natuna membuktikan bahwa pemerintah belum kapabel merespons kasus pelanggaran oleh negara lain.
Ada dua problem atas komplikasi tersebut. Pertama , Indonesia pada praktiknya tidak punya penjaga laut dan pantai (national sea and coast guard ) otoritatif dan implementatif. Kedua , banyak perundangan di laut yang bersinggungan (intersecting ) dan tumpang-tindih ( overlapping ).
Hal di atas berimbas pada buruknya prosedur respons sea dispute (konteks antarnegara), sampai potensi bottlenecking perniagaan berbasis laut bagi pelaku usaha (konteks domestik).
Sea and Coast Guard
Eskalasi isu Laut China Selatan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sudah lama terjadi. Sejak 2017 pemerintah mengubah penamaan pada peta negara Indonesia menjadi Laut Natuna Utara dan berupaya mendapat pengakuan resmi internasional. Hal ini dilakukan demi penegasan klaim zona Indonesia.
Tetapi, selamanya "trespassing " akan tetap potensial selama Pemerintah Indonesia belum mau serius menjawab dua masalah utama di laut. Pemerintah Indonesia juga selalu akan gagap merespons insiden di laut terkait antarnegara.
Masalah pertama , ketiadaan satuan penjaga laut dan pantai Pemerintah Indonesia. Pembentukan satuan dalam fungsi tersebut (dalam UNCLOS 1982 disebut "safeguards ") di Indonesia adalah Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Indonesia (KPLP) yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.
Sayangnya, KPLP praktis tidak fungsional. Satuan ini hanya unit di bawah direktorat (eselon II internal kementerian) yang tidak bakal kuat menjangkau koordinasi lintas kementerian. Padahal, KPLP adalah lembaga yang dibentuk berdasar UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran.
UU Pelayaran merangkum aturan seluruh kegiatan pelayaran di laut Indonesia. Sehingga, sepanjang menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran, perundangan lain diharuskan tunduk (bagian Penjelasan UU Pelayaran).
UU Pelayaran rinci mengamanatkan pembentukan national sea and coast guard . Penjaga laut dan pantai dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan secara teknis dilaksanakan oleh Menteri (Pasal 276). Kemudian, Pasal 278 mengatakan penjaga laut dan pantai punya kewenangan patroli laut, pengejaran seketika (hot pursuit ), memberhentikan dan memeriksa kapal di laut, dan melakukan penyidikan.
Begitu krusialnya penjagaan laut dan pantai bagi kepentingan nasional membuat UU Pelayaran mengamanatkan dukungan pangkalan di seluruh wilayah, penggunaan status kapal/pesawat negara (Pasal 279), hingga kewenangan khusus penyidikan bidang pelayaran oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam segala otoritasnya (Pasal 282-283).
"Dualisme" mulai terjadi ketika UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan terbit dan mengamanatkan terbentuknya Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam rangka penegakan hukum. Persoalannya, UU Kelautan tidak mengamanatkan—dan bukan dalam rangka—membentuk national sea and coast guard . Karena itu pula, UU Kelautan tidak memberi kewenangan Bakamla dalam penyidikan, pendirian pangkalan, penggunaan kapal/pesawat berstatus negara, dan unsur PPNS di dalamnya.
Ketika terjadi insiden Natuna, Pemerintah Indonesia pasti mengalami dilema dalam prosedur respons. Di satu sisi, walau dibentuk dari UU Pelayaran yang otoritatif, format kelembagaan dan operasi KPLP secara faktual powerless menghadapi kasus lintasnegara. Di sisi lain, Bakamla pun tidak diizinkan mengambil tindakan apa pun kecuali hanya mendekati kapal asing dengan harapan "trespassing " akan mundur.
Pilihan satu-satunya adalah penempatan (deploying ) armada militer TNI AL menghalau sipil asing (nelayan dan coast guard China) dan melakukan patroli perbatasan. Langkah seperti ini berimbas persepsi negatif internasional: pelanggaran sipil (nelayan dan coastguard China) direspons pengerahan Kapal Perang RI (KRI).
Tata Perundangan
Problem kedua , persinggungan (intersecting ) dan tumpang-tindih ( overlapping ) perundangan di laut. Mengenai penegakan hukum di laut, telah ada instansi di bawah perundangan antara lain Polairud (UU Nomor 2/2002 tentang Polri), Bea Cukai (UU Nomor 17/2006 tentang Kepabeanan), TNI AL (UU Nomor 34/2004 tentang TNI), sea and coast guard (UU Pelayaran), dan Pengawas Perikanan (UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan).
Lalu, bagaimana pembagiannya? Polairud bisa bergerak dari darat sampai 12 mil. Pengawas Perikanan bisa bergerak hingga 200 mil. Bea Cukai bergerak pada 12-24 mil (zona tambahan) di bidang kepabeanan. Kapal TNI AL bisa beroperasi di 12-200 mil dalam penegakan hukum dan menjaga keamanan (tugas pertahanan). Sedangkan national sea and coast guard mencakup seluruh pantai dan laut sejauh menyangkut keselamatan dan keamanan pelayaran.
Bidang penyidikan Polairud, Bea Cukai, TNI AL, dan Pengawas Perikanan relatif mudah dibedakan. Tetapi, masalah yang harus dipecahkan adalah arah kebijakan penguatan national sea and coast guard Indonesia. Dalam hal ini, baik KPLP maupun Bakamla sama-sama memiliki kekurangan. Ada tiga opsi jika penjaga laut versi ideal mau dijajaki.
Pertama , penguatan KPLP sesuai amanat UU Pelayaran, yaitu penerbitan aturan turunan. UU Pelayaran telah memerintahkan membentuk badan khusus melalui peraturan pemerintah (PP). Sayangnya, sejak 2008 aturan pelaksana tak juga kunjung terbit. Aturan pelaksana ini dibutuhkan untuk menjangkau lintas K/L dalam "komando" penegakan aturan keselamatan dan keamanan pelayaran , serta "koordinasi" penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran.
Kedua , kepastian status Bakamla sebagai national sea and coast guard . UU Kelautan hanya memerintahkan pembentukan Bakamla; tanpa kejelasan status, otoritas penyidikan, dan penggunaan prasarana armada berstatus negara sesuai aturan perundangan.
UU Kelautan yang sekarang berpotensi menabrak perundangan lain karena ada Pasal 65, yaitu kepala Bakamla dijabat personal dari instansi penegak hukum yang memiliki kekuatan armada patroli. Sementara UU TNI Pasal 47 menerangkan batasan prajurit aktif hanya boleh menjabat di 10 instansi (Kemenko Polhukam, Kemenhan, Setmilpres, BIN, BSN, Lemhanas, DPN, SAR, BNN, dan MA). Pada praktiknya, para pejabat tinggi Bakamla adalah laksamana aktif.
Pasal 61-63 menerangkan bahwa kewenangan di satu komando dan kendali. Padahal, ada belasan aturan perundangan laut (penegakan hukum, lingkungan, keimigrasian, karantina, migas, dan sebagainya); tidak bisa dikomando karena setingkat, namun harus dikoordinasi. Jika opsi ini yang dipilih, revisi UU Kelautan perlu dilakukan agar tidak menjadi perundangan cacat hukum.
Ketiga , merger instansi yang cenderung identik (KPLP dan Bakamla) dengan menyiapkan regulasi yang kuat tentang national sea and coast guard . KPLP memang dibentuk dengan sisi hukum paling jelas. Tetapi, Bakamla relatif lebih bisa "diterima" dalam narasi pertahanan nasional. PR-nya tinggal bagaimana struktur kelembagaan national sea and coast guard "baru" mampu mengolaborasi platform sipil (kemaritiman) dan platform pertahanan (kemiliteran). Tujuannya, agar instansi ini lebih implementatif secara formil sekaligus politik.
Terlepas mana opsi yang dipilih, wacana Omnibus Law Keamanan Laut dapat menjadi pintu masuk reformasi tata keamanan di laut. Persinggungan perundangan tanpa pembagian tugas atau otoritas koordinatif sektoral yang jelas akan kontraproduktif dengan ikhtiar pembangunan nasional yang sedang dikebut sekarang.
Dalam dunia usaha misalnya. Beragam instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan di laut atas satu objek hukum (kapal) bisa jadi hambatan usaha berbasis laut (logistik, transportasi, hingga perdagangan lintas negara). Jangan sampai "lengkapnya" instansi penegakan hukum di laut justru menghambat para pelaku usaha di dalam, tetapi "melempem" dalam penanganan kasus ke luar.
(cip)