Saatnya Pers Mahasiswa Bangkit

Rabu, 12 Februari 2020 - 07:05 WIB
Saatnya Pers Mahasiswa...
Saatnya Pers Mahasiswa Bangkit
A A A
Eddy Koko
Praktisi Media

HARI Pers Nasional (HPN) kembali diperingati pada 9 Februari 2020 lalu. Melalui momentum HPN tahun ini menarik menyimak sejarah pers mahasiswa di Indonesia, sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai hadirnya era Orde Baru (Orba). Waktu itu, pers mahasiswa (ada yang menyebut pers kampus) terbitannya ditunggu banyak orang karena "berani".Tidak jarang media umum menunggu terbitnya pers mahasiswa, apakah berani memuat berita yang dianggap sensitif, kritis, menyinggung penguasa? Ketika pers mahasiswa memberitakan tetapi penguasa tidak marah, maka media umum melanjutkan dengan penyajian lebih dalam. Keberanian pers mahasiswa ini kemudian menulari pers nasional yang masih berhati-hati sehingga menjadi berani pula, kata tokoh pers Rosihan Anwar (alm), dikutip tokoh pers dan penyiaran Amir Effendi Siregar (alm) dalam bukunya Pers Mahasiswa Indonesia (1983).

Bagaimana dengan pers kampus pada masa sekarang? Dalam situasi tekanan politik kencang atau kendur, sebetulnya, tidak begitu berpengaruh pada sikap mahasiswa yang memang lekat dengan perubahan, cenderung radikal dan emosional. Sifat tersebut memengaruhi isi media yang mereka kelola, yaitu banyak menampilkan berita politik dan kritis sehingga terkesan keras atau berani. Tetapi, pada zaman semua media bisa leluasa melaksanakan praktik jurnalisme seperti sekarang, di mana dahulu kritik keras cenderung "dilakukan" pers mahasiswa, apakah lantas mahasiswa tidak penting lagi menyelenggarakan media?

Pada prinsipnya antara pers umum dan pers mahasiswa punya kesamaan dalam pelaksanaan keredaksiannya. Yang membedakan adalah pers mahasiswa dikelola secara amatir, sedangkan pers umum profesional. Amatir yang dimaksud adalah dikelola mahasiswa sambil kuliah. Tetapi, dalam penyajian beritanya sama seperti pers profesional, ikut menerapkan kode etik jurnalistik (KEJ). Untuk perizinan, pers umum harus berbadan hukum pers, sedangkan pers kampus cukup seizin rektornya. Pada April 2012 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) melakukan nota kesepahaman dengan Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Lembaga Bantuan Hukum Pers. Intinya, Dewan Pers bersedia memberi pembelaan ketika pers mahasiswa menghadapi sengketa pers.

Dalam dunia yang tidak ada sekat lagi, saat ini pers mahasiswa dapat ikut mengisi peran mencerdaskan bangsa dengan lebih leluasa. Sebagai media internal kampus tentu tidak berubah, tetapi perkembangan komunikasi yang begitu maju menyebabkan pers mahasiswa menjadi ada "di luar" kampus juga. Dahulu, selain dalam bentuk media radio, pers mahasiswa lebih banyak berbentuk cetak sehingga peredarannya bisa dibatasi dalam lingkungan kampus saja. Tetapi, sekarang media lebih banyak dalam bentuk daring. Jika pers mahasiswa akan terbit dalam bentuk cetak atau radio, dipastikan akan disertai website -nya sehingga pihak luar kampus dapat membaca dan mendengar.

Dengan perubahan zaman yang begitu cepat, pers mahasiswa memang harus terus menerus merumuskan model baru agar tidak tertinggal. Pers mahasiswa, sebetulnya, tidak harus selalu mengkritik kinerja rektorat dan pemerintah sehingga banyak cerita media kampus ditutup rektornya. Memberi pemahaman kepada semua pihak, khususnya mahasiswa di lingkungan kampus tentang fenomena yang sedang terjadi juga perlu. Selain membahas sektor sosial, budaya, dan ekonomi juga perkembangan dunia digital yang membawa dampak serius bagi banyak orang. Jangan sampai perhatian pers mahasiswa hanya ke atas menjadi lupa ke bawah atau asyik dengan dirinya sendiri.

Literasi Digital Kenyataan di lapangan semua orang tahu, perkembangan teknologi digital dengan wujud media sosial, salah satunya, tidak terbendung lagi. Sementara lemahnya literasi digital dialami banyak mahasiswa dan masyarakat luas, jika salah menggunakan dapat merugikan mereka dan banyak orang. Tidak bisa dimungkiri, sekarang mahasiswa lebih akrab dengan media sosial dibandingkan media jurnalistik. Dengan demikian, pers mahasiswa perlu hadir sebagai penyeimbang, pembanding, sekaligus meluruskan yang belum paham akan perbedaan keduanya, termasuk menghidupkan budaya menulis para akademisi yang menjadi keharusan melalui media mahasiswa atau pers mahasiswa.

Riset tidak resmi di kantin kampus-kampus berbincang dengan mahasiswa, misalnya, terungkap bahwa di era konvergensi media ini hanya sedikit (nyaris tidak ada) mahasiswa membaca berita. Mahasiswa lebih banyak mengonsumsi informasi yang jelas masih perlu diklarifikasi kebenarannya. Berita adalah informasi yang sudah diklarifikasi kebenarannya, sedangkan informasi baru sebatas "katanya".Budaya literasi di kalangan mahasiswa perlu mendapat perhatian dan, bisa jadi, ini salah satu penyebab tidurnya pers mahasiswa. Para mahasiswa lebih akrab dengan gawai dan smartphone menonton Youtube ketimbang televisi. Kalaupun membaca berita, mereka lebih tertarik info-info viral yang berseliweran di dinding sosial medianya. Kondisi tersebut ikut melemahkan minat turut serta mencari solusi atas persoalan-persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Walaupun tidak terjadi pada semua mahasiswa, fakta di lapangan, kasatmata, dapat dilihat seberapa besar persentasenya terhadap hal tersebut.

Perkembangan media digital yang begitu dahsyat menjadikan mahasiswa juga sebagai salah satu pihak rentan terpapar penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian melalui media sosial. Padahal, mahasiswa sebagai calon kaum intelektual harus memiliki wawasan luas serta pola pikir sistematis sehingga logika atas satu kejadian atau fenomena perlu dikedepankan. Mahasiswa hendaknya bukan menjadi bagian dari objek serta penyebar berita bohong, melainkan menjadi pembanding dengan logika dan daya nalar sesuai dengan bidang yang dipelajari di bangku kuliah. Sebetulnya, bukan hanya mahasiswa, tetapi ada juga dosen justru ikutan menyebarkan berita bohong.

Meskipun kehadiran teknologi digital membuat banyak orang terkagum-kagum sampai ada yang bingung dalam merespons, hendaknya tidak membuat pers mahasiswa menjadi mundur. Mahasiswa dikenal memiliki idealisme dan semangat penggerak perubahan yang tidak pernah padam. Dewan Pers pun memberi perhatian terhadap keberadaan pers mahasiswa. Semua itu bisa dijadikan momentum titik balik kebangkitan pers mahasiswa di era milenial.

Bahkan, pers kampus yang pernah mengisi kekosongan dari penerbitan media ketika 12 media umum seperti Kompas, Sinar Harapan, Pelita, dan lainnya dibredel pada 21 Januari 1978, sekarang bisa hadir menjadi pemecah kebekuan terhadap reformasi sistem media arus utama yang sedang meredup. Tinggal bagaimana para pelaku pers mahasiswa berkreativitas, menyesuaikan medianya dengan perkembangan teknologi sekarang dan, tentu, dukungan pihak kampus untuk mewujudkannya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6414 seconds (0.1#10.140)