Komunikasi Pusat dan Daerah

Rabu, 12 Februari 2020 - 06:04 WIB
Komunikasi Pusat dan...
Komunikasi Pusat dan Daerah
A A A
TENTU masyarakat dibuat bingung dengan kesimpangsiuran informasi awal 2020 ini. Beberapa kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tampak bertolak belakang. Kita semua, terutama masyarakat di Jabodetabek, masih teringat jelas tentang banjir awal tahun lalu.Adu pernyataan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang penyebab banjir. Tidak hanya saling menghindar untuk disalahkan, tapi gestur para pejabat pusat maupun daerah menunjukkan ketidakkompakan. Pemerintah pusat menyatakan pencegahan banjir di DKI Jakarta tidak maksimal.Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono, misalnya, awalnya menyatakan tentang proses normalisasi Kali Ciliwung yang masih terganjal pembebasan lahan, sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih menyoroti tentang kondisi hulu yaitu di Bogor yang tidak bisa menahan banjir. Polemik memang pada akhirnya mereda setelah dua pihak dikumpulkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal lain adalah revitalisasi kawasan Monas. Di tengah jalan, ketika revitalisasi itu sudah dijalankan Pemprov DKI Jakarta, Sekretariat Negara (Setneg) sebagai pengawas meminta proyek itu dihentikan terlebih dahulu, meskipun pada beberapa hari kemudian mendapat lampu hijau. Begitu juga dengan penyelenggaraan Formula E yang akan mengambil lintasan di kawasan Jalan Medan Merdeka atau sekitar Monas. Pemerintah Pusat tidak memberikan restu, sehingga Pemprov DKI langsung mencari alternatif jalur lain. Salah satunya adalah kawasan Semanggi. Namun pada akhirnya pula, Pemerintah Pusat memberikan restu meski ada beberapa catatan.

Komunikasi yang kurang apik ditunjukkan ketika pemulangan ratusan warga negara Indonesia dari Wuhan, China ke Tanah Air akibat dampak merebaknya virus korona. Pemerintah Pusat memutuskan untuk melakukan karantina di Pulau Natuna selama 14 hari setibanya WNI di Tanah Air. Kebijakan ini mendapat respons negatif bukan hanya dari masyarakat Natuna, melainkan juga dari Pemerintah Daerah Natuna. Mereka menggelar demonstrasi dan sempat memunculkan polemik. Kebijakan meliburkan siswa dari sekolah akhirnya dicabut Pemerintah Pusat.

Bukan hanya pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Jakarta Trubus Rahardiansyah yang mengkritisi kurang apiknya komunikasi pemerintah pusat dengan daerah. Anggota DPR yang juga Wakil Ketua Komisi II Arwani Thomafi juga mengkritisi persoalan ini. Keduanya mengkritisi tentang polemik Pemerintah Pusat dengan Pemprov DKI Jakarta soal revitalisasi Monas dan Formula E. Anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen juga menyoroti ini. Politikus PDIP ini mengkritisi komunikasi pemerintah pusat dengan daerah soal pemulangan ratusan WNI dari Wuhan, China.

Padahal jauh hari sebelumnya atau tepatnya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbang) 2017, Presiden Jokowi meminta menteri, lembaga, dan kepala daerah memperbaiki komunikasi agar pembangunan bisa berjalan dengan baik. Salah satu yang disoroti presiden waktu itu adalah tentang skala prioritas pembangunan di daerah. Presiden Jokowi meminta semua yang terkait bisa mempunyai komunikasi yang sama tentang fokus dan prioritas pembangunan.

Namun, komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi karena adanya barrier politik. Bukan rahasia lagi, bahwa ada beberapa kepentingan politik praktis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Meskipun Presiden Jokowi mencoba menepis dengan kata-kata ataupun dengan kinerja, barrier itu tampaknya masih ada.Pemerintah daerah tidak mau semata mengikuti pemerintah pusat atau provinsi karena mungkin perbedaan politik. Ini semestinya bisa dihilangkan. Bahwa ketika duduk sebagai kepala daerah atau pejabat di pemerintah pusat, politik yang dibangun adalah politik kebangsaan. Banyak contoh yang sudah ada, seperti Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang saat ini bisa bergandengan, meskipun sebelumnya berlawanan politik.

Otonomi daerah juga tidak bisa menjadi alasan. Keleluasaan pemerintah daerah tidak boleh serta-merta melenceng dari kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pun tidak boleh kaku atau bahkan otoriter terhadap pemerintah daerah. Jika kepentingan bangsa yang dikedepankan, tentu komunikasi tersebut bisa berjalan dengan baik.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0750 seconds (0.1#10.140)