Pemerintah Didesak Selesaikan Masalah Dalam Negeri
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta fokus mengatasi persoalan di dalam negeri untuk mendongkrak kembali pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat dalam beberapa tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 hanya 5,02%, jauh di bawah target 5,3% dan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya 5,17%. (Baca juga: Tenaga Kerja RI Melimpah, Dibutuhkan Jembatan Bagi Akademi dan Industri)
Sejak pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus 5,2%. Pada 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,01% bahkan sempat turun menjadi 4,88% pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada era Jokowi terjadi pada 2018 yakni 5,17%.
Mantan anggota DPR periode 2014-2019, Bambang Haryo menilai, melambatnya pertumbuhan ekonomi menunjukkan pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, meskipun sudah memacu pembangunan infrastruktur dan investasi. "Pemerintah selalu menyebut ketidakpastian global memukul ekonomi Indonesia, padahal penyebab terbesarnya adalah masalah di dalam negeri," katanya, Minggu (9/2/2020).
Masalah domestik yang menyebabkan ketidakpastian, antara lain inkonsistensi regulasi, upah minimum yang berbeda-beda di setiap daerah, fluktuasi bahan pokok dan energi, pungutan liar, korupsi, serta kerusakan infrastruktur.
Sebagai contoh, tutur Bambang Harto, bawang putih yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masih dikuasai oleh spekulan dan mafia sehingga harganya berfluktuasi dan penuh ketidakpastian. Sejak merebak virus corona, harga bawang putih di dalam negeri tembus Rp70.000 per kg, naik lebih dua kali dari tahun lalu sekitar Rp30.000 per kg. Padahal harga wholesale-nya di China sebagai produsen utama dunia hanya USD0,76 atau sekitar Rp10.400 per kg.
Harga gas di Indonesia juga masih tinggi sehingga harga pupuk mahal. Akibatnya, harga komoditas pertanian dan perkebunan sebagai sumber pangan terus naik, seperti harga jagung Indonesia yang termasuk paling mahal di dunia.
Sementara Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap)menilai, ekonomi turun sangat tidak beralasan. Sebab pemerintah sudah meluncurkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, membangun infrastruktur 2-3 kali lipat tiap tahun dari pemerintahan sebelumnya, serta mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR) hingga Rp190 triliun dan Dana Desa Rp74 triliun per tahun.
Bahkan, hampir semua partai politik kini bergabung ke koalisi pemerintah sehingga pemerintah pusat bisa lebih mudah mengendalikan pemerintah daerah. "Kalau pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, ya keterlaluan," ujarnya.
Tak hanya itu, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik dari sektor riil, pariwisata, pertambangan, pertanian, perikanan, maupun sumber daya manusia termasuk TKI di luar negeri.
Namun, posisi strategis Indonesia di poros maritim dunia belum dimanfaatkan maksimal. Perhatian pemerintah terhadap sektor maritim sangat minim dan justru dibebani banyak biaya, seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP) angkutan antarpulau naik hingga 1.000%. "Karena Indonesia negara kepulauan, berbagai beban tambahan di sektor maritim itu akhirnya meningkatkan ongkos logistik antarpulau," ujarnya.
Bambang Haryo menambahkan, ekonomi seharusnya bisa tumbuh pesat apabila pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat serta memberdayakan UMKM dan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Namun kepedulian terhadap UMKM dipertanyakan setelah anggaran Kementerian Koperasi dan UKM dipangkas hampir separuh dari pemerintahan sebelumnya menjadi hanya Rp970 miliar pada 2020.
Di sisi lain, dinamika global merupakan keniscayaan dan dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan pemerintah adalah membenahi masalah domestik dan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Dinamika global seperti perang dagang AS-China dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), justru bisa memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional apabila pemerintah jeli.
"Negara-negara lain di Asia Tenggara bisa mendapat manfaat dari dinamika global itu sehingga pertumbuhan ekonomi mereka naik, mengapa Indonesia tidak bisa, kata Bambang Haryo. Berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, negara-negara di Asia Tenggara yang mampu tumbuh di atas 6% pada 2019, yakni Vietnam 6,97%, Kamboja 7%, Filipina 6,5%, Myanmar 6,6%, dan Laos 6,5%.
Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 hanya 5,02%, jauh di bawah target 5,3% dan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya 5,17%. (Baca juga: Tenaga Kerja RI Melimpah, Dibutuhkan Jembatan Bagi Akademi dan Industri)
Sejak pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus 5,2%. Pada 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,01% bahkan sempat turun menjadi 4,88% pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada era Jokowi terjadi pada 2018 yakni 5,17%.
Mantan anggota DPR periode 2014-2019, Bambang Haryo menilai, melambatnya pertumbuhan ekonomi menunjukkan pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, meskipun sudah memacu pembangunan infrastruktur dan investasi. "Pemerintah selalu menyebut ketidakpastian global memukul ekonomi Indonesia, padahal penyebab terbesarnya adalah masalah di dalam negeri," katanya, Minggu (9/2/2020).
Masalah domestik yang menyebabkan ketidakpastian, antara lain inkonsistensi regulasi, upah minimum yang berbeda-beda di setiap daerah, fluktuasi bahan pokok dan energi, pungutan liar, korupsi, serta kerusakan infrastruktur.
Sebagai contoh, tutur Bambang Harto, bawang putih yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masih dikuasai oleh spekulan dan mafia sehingga harganya berfluktuasi dan penuh ketidakpastian. Sejak merebak virus corona, harga bawang putih di dalam negeri tembus Rp70.000 per kg, naik lebih dua kali dari tahun lalu sekitar Rp30.000 per kg. Padahal harga wholesale-nya di China sebagai produsen utama dunia hanya USD0,76 atau sekitar Rp10.400 per kg.
Harga gas di Indonesia juga masih tinggi sehingga harga pupuk mahal. Akibatnya, harga komoditas pertanian dan perkebunan sebagai sumber pangan terus naik, seperti harga jagung Indonesia yang termasuk paling mahal di dunia.
Sementara Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap)menilai, ekonomi turun sangat tidak beralasan. Sebab pemerintah sudah meluncurkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, membangun infrastruktur 2-3 kali lipat tiap tahun dari pemerintahan sebelumnya, serta mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR) hingga Rp190 triliun dan Dana Desa Rp74 triliun per tahun.
Bahkan, hampir semua partai politik kini bergabung ke koalisi pemerintah sehingga pemerintah pusat bisa lebih mudah mengendalikan pemerintah daerah. "Kalau pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, ya keterlaluan," ujarnya.
Tak hanya itu, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik dari sektor riil, pariwisata, pertambangan, pertanian, perikanan, maupun sumber daya manusia termasuk TKI di luar negeri.
Namun, posisi strategis Indonesia di poros maritim dunia belum dimanfaatkan maksimal. Perhatian pemerintah terhadap sektor maritim sangat minim dan justru dibebani banyak biaya, seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP) angkutan antarpulau naik hingga 1.000%. "Karena Indonesia negara kepulauan, berbagai beban tambahan di sektor maritim itu akhirnya meningkatkan ongkos logistik antarpulau," ujarnya.
Bambang Haryo menambahkan, ekonomi seharusnya bisa tumbuh pesat apabila pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat serta memberdayakan UMKM dan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Namun kepedulian terhadap UMKM dipertanyakan setelah anggaran Kementerian Koperasi dan UKM dipangkas hampir separuh dari pemerintahan sebelumnya menjadi hanya Rp970 miliar pada 2020.
Di sisi lain, dinamika global merupakan keniscayaan dan dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan pemerintah adalah membenahi masalah domestik dan memanfaatkan sumber daya yang ada.
Dinamika global seperti perang dagang AS-China dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), justru bisa memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional apabila pemerintah jeli.
"Negara-negara lain di Asia Tenggara bisa mendapat manfaat dari dinamika global itu sehingga pertumbuhan ekonomi mereka naik, mengapa Indonesia tidak bisa, kata Bambang Haryo. Berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, negara-negara di Asia Tenggara yang mampu tumbuh di atas 6% pada 2019, yakni Vietnam 6,97%, Kamboja 7%, Filipina 6,5%, Myanmar 6,6%, dan Laos 6,5%.
(shf)