Perangi Hoaks, Jurnalis Harus Pegang Teguh Kaidah Jurnalistik
A
A
A
JAKARTA - Setiap tanggal 9 Februari selalu diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Itu menjadi penanda pentingnya media dalam membangun jati diri dan mencerdaskan bangsa.
Ironisnya, di era digital ini, pers harus berperang melawan kemajuan teknologi informasi teknologi berupa media sosial (medsos).
Banyak rilis survei yang menunjukkan medsos justru lebih digandrungi untuk mencari informasi dibandingkan media mainstream. Di sisi lain, media mainstream justru menjadikan konten medsos sebagai berita.
Padahal konten di medsos itu banyak dipenuhi berita bohong (hoaks), adu domba, dan politik identitas. Kecenderungan ini yang justru menyuburkan disinformasi dan mematikan literasi.
“Menurut saya itu kesalahan teman-teman dari wartawan media mainstream yang tidak memahami kaidah jurnalistik secara benar. Boleh saja konten medsos menjadi sumber informasi, tapi tetap tugas jurnalistik itu adalah melakukan cek dan ricek, memeriksa fakta, kemudian setiap informasi itu harus diverifikasi, klarifikasi dan dikonfrontasi kepada pihak-pihak terkait,” tutur mantan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Untuk menjadi produk jurnalistik, kata dia, berita harus sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan di medsos, siapa saja bisa menulis tanpa mengikuti aturan tersebut.
“Media mainstream tidak bisa begitu saja memenggunakan konten dari medsos seperti misalnya Facebook untuk menjadi berita. Karena, kalau ada pihak yang berkeberatan itu bisa dilaporkan ke polisi. Polisi pasti akan berkoordinasi dengan Dewan Pers, kalau kemudian Dewan Pers mengatakan itu bukan produk jurnalistik, ya bisa terkena UU ITE atau UU pidana yang lain,” tuturnya.
Yosep yang juga pemerhati hukum dan penulis aktif ini menjelaskan dalam UU Pers, produk jurnalistik adalah produk berita yang dihasilkan wartawan dari sebuah badan hukum.
“Sayangnya para pejabat kita banyak yang tidak paham mengenai ini. Mereka sering kali menggunakan medsos untuk menerima informasi dari orang-orang yang tidak jelas dan tidak berbadan hukum, sehingga munculah yang namanya hoaks,” tuturnya.
Yosep juga mengungkapkan, semua orang bisa menulis di medsos untuk kemudian bisa di-forward ke mana-mana hingga menjadi viral.
“Seperti berita tentang virus Corona. Kalau kita lihat media-media mainstream yang berbadan hukum, mereka tetap melakukan klarifikasi dari sumber-sumber resmi seperti Kementerian Kesehatan dan Kemenlu, tapi kalau di medsos tidak. Celakanya malah yang di medsos yang cepat viral,” tuturnya. (Baca Juga: Menkominfo Sebut Ada 60 Hoaks Soal Corona dan Berpotensi Bertambah)
Menurut Yosep, jika ada media online yang banyak mengutip sumber dari medsos, tinggal dicek media onlinenya. "Apakah berbadan hukum atau tidak di websitenya di Dewan Pers. Kalau Dewan Pers pasti akan melakukan uji kompetensi, kemudian melakukan verifikasi perusahaan-perusahaan pers. Tinggal sekarang bagaimana kita melakukan media literasi kepada masyarakat, khususnya literasi digital agar masyarakat bisa mencari sumber informasi rujukan yang benar,” paparnya.
Dia menegaskan pemerintah bersama Dewan Pers harus bersinergi untuk membangun wawasan tentang media literasi. Masyarakat juga harus berperan aktif melaporkan informasi-informasi yang tidak benar.
“Kepolisian bekerja sama dengan Kemkominfo melakukan proses tindakan hukum dan pemblokiran akun. Lalu kementerian terkait seperti Kemendikbud dan yang lain juga bisa ikut berperan membantu sosialisasi kepada murid dan masyarakat, termasuk juga BNPT untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme,” tuturnya.
Ironisnya, di era digital ini, pers harus berperang melawan kemajuan teknologi informasi teknologi berupa media sosial (medsos).
Banyak rilis survei yang menunjukkan medsos justru lebih digandrungi untuk mencari informasi dibandingkan media mainstream. Di sisi lain, media mainstream justru menjadikan konten medsos sebagai berita.
Padahal konten di medsos itu banyak dipenuhi berita bohong (hoaks), adu domba, dan politik identitas. Kecenderungan ini yang justru menyuburkan disinformasi dan mematikan literasi.
“Menurut saya itu kesalahan teman-teman dari wartawan media mainstream yang tidak memahami kaidah jurnalistik secara benar. Boleh saja konten medsos menjadi sumber informasi, tapi tetap tugas jurnalistik itu adalah melakukan cek dan ricek, memeriksa fakta, kemudian setiap informasi itu harus diverifikasi, klarifikasi dan dikonfrontasi kepada pihak-pihak terkait,” tutur mantan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Untuk menjadi produk jurnalistik, kata dia, berita harus sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan di medsos, siapa saja bisa menulis tanpa mengikuti aturan tersebut.
“Media mainstream tidak bisa begitu saja memenggunakan konten dari medsos seperti misalnya Facebook untuk menjadi berita. Karena, kalau ada pihak yang berkeberatan itu bisa dilaporkan ke polisi. Polisi pasti akan berkoordinasi dengan Dewan Pers, kalau kemudian Dewan Pers mengatakan itu bukan produk jurnalistik, ya bisa terkena UU ITE atau UU pidana yang lain,” tuturnya.
Yosep yang juga pemerhati hukum dan penulis aktif ini menjelaskan dalam UU Pers, produk jurnalistik adalah produk berita yang dihasilkan wartawan dari sebuah badan hukum.
“Sayangnya para pejabat kita banyak yang tidak paham mengenai ini. Mereka sering kali menggunakan medsos untuk menerima informasi dari orang-orang yang tidak jelas dan tidak berbadan hukum, sehingga munculah yang namanya hoaks,” tuturnya.
Yosep juga mengungkapkan, semua orang bisa menulis di medsos untuk kemudian bisa di-forward ke mana-mana hingga menjadi viral.
“Seperti berita tentang virus Corona. Kalau kita lihat media-media mainstream yang berbadan hukum, mereka tetap melakukan klarifikasi dari sumber-sumber resmi seperti Kementerian Kesehatan dan Kemenlu, tapi kalau di medsos tidak. Celakanya malah yang di medsos yang cepat viral,” tuturnya. (Baca Juga: Menkominfo Sebut Ada 60 Hoaks Soal Corona dan Berpotensi Bertambah)
Menurut Yosep, jika ada media online yang banyak mengutip sumber dari medsos, tinggal dicek media onlinenya. "Apakah berbadan hukum atau tidak di websitenya di Dewan Pers. Kalau Dewan Pers pasti akan melakukan uji kompetensi, kemudian melakukan verifikasi perusahaan-perusahaan pers. Tinggal sekarang bagaimana kita melakukan media literasi kepada masyarakat, khususnya literasi digital agar masyarakat bisa mencari sumber informasi rujukan yang benar,” paparnya.
Dia menegaskan pemerintah bersama Dewan Pers harus bersinergi untuk membangun wawasan tentang media literasi. Masyarakat juga harus berperan aktif melaporkan informasi-informasi yang tidak benar.
“Kepolisian bekerja sama dengan Kemkominfo melakukan proses tindakan hukum dan pemblokiran akun. Lalu kementerian terkait seperti Kemendikbud dan yang lain juga bisa ikut berperan membantu sosialisasi kepada murid dan masyarakat, termasuk juga BNPT untuk mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme,” tuturnya.
(dam)