Dewan Pers Catat 691 Kasus Pelanggaran Pers Sepanjang 2022
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pers mencatat sebanyak 691 kasus pelanggaran pers terjadi selama 2022. Pelanggaran tersebut paling banyak dilakukan oleh media online.
"Terbukti dengan temuan Dewan Pers, selama tahun 2022 dari 691 kasus itu, dominasi pelanggaran pers itu 97 persen dilakukan oleh media online," ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers pada Dewan Pers Yadi Hendriana dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertajuk 'Mau Dibawa ke Mana Industri Pers Kita', Sabtu (4/2/2023).
Dia menjelaskan, pelanggaran yang ada dipicu oleh kualitas jurnalistik di Indonesia yang kurang baik. Sebab, sejumlah perusahaan media kerap menyebarkan konten jurnalisme yang tidak diikuti kaidah-kaidah jurnalistik.
"Problem internal di pers itu adalah quality of journalism kita itu kurang bagus saya akui. Tidak semua perusahaan media tentunya, tapi banyak beberapa kemudian yang justru ini diamplifikasi kemudian konten-kontennya viral dan lain-lain," katanya.
Dia menambahkan, pelanggaran yang masuk dalam Dewan Pers berkaitan dengan konten bermuatan provokasi seksual, hoaks, fitnah, hingga konten menyalahi kode etik yakni tanpa verifikasi. Bahkan, pelanggaran tersebut juga dinilainya masih banyak tercatat jika melihat pada awal 2023.
"Itu (pelanggaran) banyak sekali terjadi dan di awal (tahun 2023) banyak juga pelanggaran-pelanggaran yang masuk ke Dewan Pers yang sekarang sudah kami lakukan mediasi," tuturnya.
Yadi meminta ke depannya insan pers untuk mengedepankan kualitas jurnalistik terhadap konten yang akan didistribusikan. Bahkan, menurutnya, untuk meningkatkan konten yang berkualitas Dewan Pers sudah berkomitmen mulai dari organisasi pers, perusahaan pers hingga jurnalis-jurnalis sebagai pembuat berita.
"Kalau seandainya kita mengepung dunia digital kita ini dengan konten berkualitas, berguna untuk publik, Insya Allah pers kita itu akan menjadi kekuatan yang baik untuk masyarakat," pungkasnya.
"Terbukti dengan temuan Dewan Pers, selama tahun 2022 dari 691 kasus itu, dominasi pelanggaran pers itu 97 persen dilakukan oleh media online," ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers pada Dewan Pers Yadi Hendriana dalam diskusi Polemik MNC Trijaya bertajuk 'Mau Dibawa ke Mana Industri Pers Kita', Sabtu (4/2/2023).
Dia menjelaskan, pelanggaran yang ada dipicu oleh kualitas jurnalistik di Indonesia yang kurang baik. Sebab, sejumlah perusahaan media kerap menyebarkan konten jurnalisme yang tidak diikuti kaidah-kaidah jurnalistik.
"Problem internal di pers itu adalah quality of journalism kita itu kurang bagus saya akui. Tidak semua perusahaan media tentunya, tapi banyak beberapa kemudian yang justru ini diamplifikasi kemudian konten-kontennya viral dan lain-lain," katanya.
Dia menambahkan, pelanggaran yang masuk dalam Dewan Pers berkaitan dengan konten bermuatan provokasi seksual, hoaks, fitnah, hingga konten menyalahi kode etik yakni tanpa verifikasi. Bahkan, pelanggaran tersebut juga dinilainya masih banyak tercatat jika melihat pada awal 2023.
"Itu (pelanggaran) banyak sekali terjadi dan di awal (tahun 2023) banyak juga pelanggaran-pelanggaran yang masuk ke Dewan Pers yang sekarang sudah kami lakukan mediasi," tuturnya.
Yadi meminta ke depannya insan pers untuk mengedepankan kualitas jurnalistik terhadap konten yang akan didistribusikan. Bahkan, menurutnya, untuk meningkatkan konten yang berkualitas Dewan Pers sudah berkomitmen mulai dari organisasi pers, perusahaan pers hingga jurnalis-jurnalis sebagai pembuat berita.
"Kalau seandainya kita mengepung dunia digital kita ini dengan konten berkualitas, berguna untuk publik, Insya Allah pers kita itu akan menjadi kekuatan yang baik untuk masyarakat," pungkasnya.
(rca)