Muhammadiyah: Pembahasan RUU Ombnibus Law Harus Transparan
A
A
A
JAKARTA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memberikan tanggapan tentang Rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang saat ini tengah digodok DPR dan pemerintah.
Usai berdiskusi dengan sejumlah organisasi masyarakat, Muhammadiyah menyatakan ada sejumlah poin yang disorot.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo mengungkapkan beberapa poin hasil diskusi, yakni masyarakat luas berhak mengetahui dan diberikan akses oleh pemerintah terhadap hal-hal penting yang terjadi, apalagi terkait kepentingan rakyat.
"Begitu juga dengan proses inisiasi pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, harus trasnparan dan disosialisasikan sedini mungkin ke masyarakat luas terkait dengan dasar-dasar filosofis maupun sosiologis bagaimana UU itu disusun untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait (Pasal 28F UUD 1945 dan Azas Keterbukaan, Pasal 5 UU No 12 Tahun 2011)," ujar Trisno dalam jumpa pers di Kantornya, Selasa (28/1/2020).
Menurut dia, RUU yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu harus melibatkan pihak-pihal lain yang berkepentingan. Pelibatan itu bisa dalam bentuk tim khusus atas task force.
"Terutama dari unsur masyarakat sipil agar kemanfaatan RUU tersebut tidak hanya menjadi sekadar kepentingan elite pemeritah," katanya. (Baca Juga: Serikat Pekerja Tolak Omnibus Law)
Trisno juga mengimbau agar pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan partisipatif, ada proses public hearing serta tidak tergesa-gesa dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan bisnis kelompok tertentu, apalagi kepentingan asing.
"RUU tersebut harus selaras dengan tujuan negara, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamain dunia," ungkap Trisno.
Tak hanya itu, PP Muhammadiyah juga menolak keras jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didesain untuk kelancaran agenda leberisasi sumberdaya alam negara dan menguntungkan kepentingan ekonomi investor.
"Yang tentunya agenda tersebut mencederai kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan sila Kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," jelasnya.
Pernyataan itu turut didiskusikan dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Aisyiyah, DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), PP Nasyiatul Aisyiyah, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia Corruption Watch (ICW).
Aliansi Masyarakat Nusantara (Aman), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP Man), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Lenbaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Publish What You Pay (PWYP), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).
Serta, Tuk Indonesia, Kontras, Pusat Studu Agraria IPB (PSA-IPB), Sajogyo Instute (Sains), Lokataru Foundation, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Forum Rektor Indonesia, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Indonesian Centre for Enviroment Law (ICELL), Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI).
Usai berdiskusi dengan sejumlah organisasi masyarakat, Muhammadiyah menyatakan ada sejumlah poin yang disorot.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo mengungkapkan beberapa poin hasil diskusi, yakni masyarakat luas berhak mengetahui dan diberikan akses oleh pemerintah terhadap hal-hal penting yang terjadi, apalagi terkait kepentingan rakyat.
"Begitu juga dengan proses inisiasi pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, harus trasnparan dan disosialisasikan sedini mungkin ke masyarakat luas terkait dengan dasar-dasar filosofis maupun sosiologis bagaimana UU itu disusun untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait (Pasal 28F UUD 1945 dan Azas Keterbukaan, Pasal 5 UU No 12 Tahun 2011)," ujar Trisno dalam jumpa pers di Kantornya, Selasa (28/1/2020).
Menurut dia, RUU yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu harus melibatkan pihak-pihal lain yang berkepentingan. Pelibatan itu bisa dalam bentuk tim khusus atas task force.
"Terutama dari unsur masyarakat sipil agar kemanfaatan RUU tersebut tidak hanya menjadi sekadar kepentingan elite pemeritah," katanya. (Baca Juga: Serikat Pekerja Tolak Omnibus Law)
Trisno juga mengimbau agar pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan partisipatif, ada proses public hearing serta tidak tergesa-gesa dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan bisnis kelompok tertentu, apalagi kepentingan asing.
"RUU tersebut harus selaras dengan tujuan negara, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamain dunia," ungkap Trisno.
Tak hanya itu, PP Muhammadiyah juga menolak keras jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didesain untuk kelancaran agenda leberisasi sumberdaya alam negara dan menguntungkan kepentingan ekonomi investor.
"Yang tentunya agenda tersebut mencederai kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan sila Kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," jelasnya.
Pernyataan itu turut didiskusikan dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Aisyiyah, DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), PP Nasyiatul Aisyiyah, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia Corruption Watch (ICW).
Aliansi Masyarakat Nusantara (Aman), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP Man), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Lenbaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Publish What You Pay (PWYP), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).
Serta, Tuk Indonesia, Kontras, Pusat Studu Agraria IPB (PSA-IPB), Sajogyo Instute (Sains), Lokataru Foundation, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Forum Rektor Indonesia, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Indonesian Centre for Enviroment Law (ICELL), Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI).
(dam)