IHW Nilai Omnibus Law Bertujuan untuk Mengharmonisasikan Peraturan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah menilai, penerapan Omnibus Law bertujuan untuk mengharmonisasikan semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sesuatu dan memiliki kesamaan tetapi dengan ketentuan yang berbeda.
Di bidang usia misalnya, usia pada UU perkawinan berbeda dengan UU Pemilu, juga dengan UU Perlindungan Anak, yang masing-masing memiliki angka yang berbeda. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan atas perbedaan umur tersebut. ”Ini memberikan dampak menyulitkan penegakkan hukumnya dan di bidang investasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada SINDOnews Selasa (21/1/2020). (Baca juga: Puan Sebut Draf Omnibus Law Yang Beredar Abal-abal)
Maka secara tidak langsung, kata dia, fungsi dari Omnibus Law ini ialah untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien. Kemudian, menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun didaerah untuk menunjang iklim investasi. Selain itu, pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif.
Termasuk memutus rantai birokrasi yang berlama-lama. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu serta adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. (Baca juga: Omnibus Law Dinilai Hadirkan Bisa Kepastian Hukum)
Terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan menyesuaikan kembali sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ( UU JPH), sambung dia, dampak positifnya mengingat masih terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang kehalalan produk seperti UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lainnya maka Omnibus Law harus dilebur menjadi satu scope Jaminan Produk Halal.
”Apakah itu masuk ke dalam pembahasan menjadi undang-undang, maka harus melalui mekanisme prolegnas dan disusun melalui prolegnas yang dibahas di 2020-2024. Pemerintah sudah menetapkan beberapa undang-undang yang akan di bahas dan sudah ditetapkan sebagai prolegnas,” kata dia.
Kalau dilihat di tahun ini, kata dia, UU JPH belum menjadi satu undang-undang yang di usulkan ke prolegnas. “Berarti sementara kita anggap ini semangat awal yang bagus, karena untuk menyederhanakan ketentuan cipta kerja yang dianggap selama ini membelit investasi dan gerak ekonomi sehingga menjadi lamban,” katanya.
Dia menambahkan, dalam prolegnas ada panduannya. Untuk itu, pihaknya melakukan compare dengan prolegnas yang sudah disepakati DPR. ”Ketentuan cipta kerja ini kan sebenarnya semangatnya bagus untuk menyederhanakan ketentuan yang dianggap selama ini membelit, aturan ini membelit investasi dan gerak ekonomi sehingga menjadi lamban,” kata dia.
Terkait dengan digantinya sanksi pidana menjadi sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak menjalankan mandatory ini, dia menilai, lebih baik pendekatannya berupa sanksi administratif atau penalty karena kedua sanksi tersebut bersifat edukatif. ”Tidak dengan sanksi pidana karena bukan merupakan perbuatan kriminal,” ucapnya.
Di bidang usia misalnya, usia pada UU perkawinan berbeda dengan UU Pemilu, juga dengan UU Perlindungan Anak, yang masing-masing memiliki angka yang berbeda. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan atas perbedaan umur tersebut. ”Ini memberikan dampak menyulitkan penegakkan hukumnya dan di bidang investasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada SINDOnews Selasa (21/1/2020). (Baca juga: Puan Sebut Draf Omnibus Law Yang Beredar Abal-abal)
Maka secara tidak langsung, kata dia, fungsi dari Omnibus Law ini ialah untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien. Kemudian, menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun didaerah untuk menunjang iklim investasi. Selain itu, pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif.
Termasuk memutus rantai birokrasi yang berlama-lama. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu serta adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. (Baca juga: Omnibus Law Dinilai Hadirkan Bisa Kepastian Hukum)
Terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan menyesuaikan kembali sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ( UU JPH), sambung dia, dampak positifnya mengingat masih terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang kehalalan produk seperti UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lainnya maka Omnibus Law harus dilebur menjadi satu scope Jaminan Produk Halal.
”Apakah itu masuk ke dalam pembahasan menjadi undang-undang, maka harus melalui mekanisme prolegnas dan disusun melalui prolegnas yang dibahas di 2020-2024. Pemerintah sudah menetapkan beberapa undang-undang yang akan di bahas dan sudah ditetapkan sebagai prolegnas,” kata dia.
Kalau dilihat di tahun ini, kata dia, UU JPH belum menjadi satu undang-undang yang di usulkan ke prolegnas. “Berarti sementara kita anggap ini semangat awal yang bagus, karena untuk menyederhanakan ketentuan cipta kerja yang dianggap selama ini membelit investasi dan gerak ekonomi sehingga menjadi lamban,” katanya.
Dia menambahkan, dalam prolegnas ada panduannya. Untuk itu, pihaknya melakukan compare dengan prolegnas yang sudah disepakati DPR. ”Ketentuan cipta kerja ini kan sebenarnya semangatnya bagus untuk menyederhanakan ketentuan yang dianggap selama ini membelit, aturan ini membelit investasi dan gerak ekonomi sehingga menjadi lamban,” kata dia.
Terkait dengan digantinya sanksi pidana menjadi sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak menjalankan mandatory ini, dia menilai, lebih baik pendekatannya berupa sanksi administratif atau penalty karena kedua sanksi tersebut bersifat edukatif. ”Tidak dengan sanksi pidana karena bukan merupakan perbuatan kriminal,” ucapnya.
(cip)