Kolaborasi Mutlak Dibutuhkan dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi

Jum'at, 17 Januari 2020 - 11:09 WIB
Kolaborasi Mutlak Dibutuhkan dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi
Kolaborasi Mutlak Dibutuhkan dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi
A A A
JAKARTA - Pengesahan hasil revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019 lalu menjadi sorotan karena dianggap mereduksi kewenangan lembaga tersebut dan dikhawatirkan akan mempersulit upaya pemberantasan korupsi ke depan.

Proses revisi yang cuma selama 13 hari menyisakan pertanyaan, seberapa serius legislatif dan eksekutif melakukan proses legislasi dan bagaimana pelibatan masyarakat selama revisi berlangsung.

Pasca pengesahan revisi UU KPK, muncul keinginan untuk terus menggelorakan semangat memberantas korupsi. Para penggiat antikorupsi terus memperkuat jejaring di berbagai elemen masyarakat serta memperkuat kolaborasi dengan pemerintah dan wakil-wakil legislatif yang memiliki kesamaan nilai.

“Korupsi menjadi musuh bersama sehingga kolaborasi mutlak dibutuhkan. Dalam hal ini perempuan harus mengambil bagian secara aktif karena akan menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak korupsi. Pada dasarnya kita semua akan terkena dampaknya bila korupsi terus merajalela,” kata Anita Wahid, pegiat Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA) dalam acara diskusi bertajuk Membangun Kolaborasi Gerakan Pemberantasan Korupsi’ yang diadakan PIA di Gedung Perpustakaan Nasional, Kamis 16 Januari 2020, dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews.

Gerakan kolaborasi juga diharapkan datang dari kelompok muda yang akan menentukan masa depan Indonesia. Selain semangat dan idealisme tinggi yang mereka miliki, kaum muda Indonesia saat ini juga saling terhubung dengan lebih mudah melalui berbagai sarana komunikasi.

“Anak muda harus ikut mengawal pemberantasan korupsi, agar di hari tua nanti kita punya kesempatan untuk melihat Indonesia yang makmur dan sejahtera,” ujar William Adiyta Sarana, anggota DPRD DKI Jakarta.

Terpisah, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Ade Iva Murti mengatakan, nilai-nilai antikorupsi harus ditanamkan sejak awal oleh keluarga. “Jangan sampai kita memikirkan bagaimana cara memberantas korupsi, tapi kita tidak tahu apa yang ditanamkan pada anak supaya di masa depan mereka tidak tergoda untuk melakukannya.”

Penelitian yang dilakukan Ade Iva dan teman-temannya pada 2015-2016 menunjukkan keluarga sangat berperan membentuk karakter berintegritas pada diri anak, dimulai dari penanaman nilai kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan dan tanggung jawab.

Itu sebab pentingnya merangkul berbagai pihak, termasuk anak balita, remaja sampai mereka dewasa, dalam berkolaborasi membersihkan negeri dari korupsi.

Sementara itu, ahli hukum tata negara yang juga aktivis PIA, Bvitri Susanti, memandang perlunya evaluasi terhadap upaya pemberantasan korupsi, tetapi tidak dengan melakukan lompatan logika untuk langsung menyasar KPK secara kelembagaan.

Semua lembaga terkait, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, serta seluruh peraturan soal korupsi, harus dilihat secara keseluruhan. “Banyak yang harus dibenahi untuk membuat pemberantasan korupsi efektif. Misalnya membuat UU Penyadapan sesuai dengan perintah UU Mahkamah Konstitusi, atau membenahi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) agar sesuai dengan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi,” ujar Bvitri.

Sementara itu, mengenai pentingnya kolaborasi dalam pemberantasan korupsi, sekaligus perlunya lembaga yang kuat dan independen untuk mengisi garda depan dalam gerakan ini, dibahas secara jelas dalam buku “KPK Berdiri Untuk Negeri”.

Buku terbitan Kompas tersebut mendokumentasikan sejarah berdirinya KPK dengan menguraikan dasar-dasar pemikiran baik individu maupun kelompok yang terlibat sejak awal.

Disebutkan bahwa kolaborasi berbagai pihak yang memiliki kesamaan nilai dan visi menjadi pegangan yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Dan mereka-mereka ini lah yang kemudian melahirkan sebuah lembaga yang sekarang dikenal dengan KPK. “Pendokumentasian sejarah dalam buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin mewujudkan Indonesia tanpa korupsi untuk membangun jejaring dan kolaborasi,” ujar Arin Swandari, salah seorang penulis buku.

Di dalam buku tersebut terungkap kegelisahan berbagai elemen masyarakat sipil di awal reformasi yang akhirnya melahirkan KPK di tahun 2003. Semangat memberantas korupsi sangat tinggi namun aturan yang ada belum dapat mendukung secara optimal. Berbagai inisiatif masyarakat sipil muncul yang kemudian menyepakati pentingnya kehadiran sebuah lembaga superbody yang secara khusus melakukan pencegahan dan penindakan korupsi di Indonesia.
Pada tahun 2001 lahirlah UU No. 30 yang menegaskan bahwa KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPK disebut sebagai lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Para pimpinan komisi yang terdiri dari lima orang, bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Di dalam buku tersebut juga diuraikan lima tugas penting KPK, yaitu berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan memonitor penyelenggaraan pemerintahan negara.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3377 seconds (0.1#10.140)