PDIP Sebut Upaya Penggeledahan Kantor DPP Langgar Undang-undang

Rabu, 15 Januari 2020 - 21:53 WIB
PDIP Sebut Upaya Penggeledahan...
PDIP Sebut Upaya Penggeledahan Kantor DPP Langgar Undang-undang
A A A
JAKARTA - Tim Hukum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai upaya penggeledahan dan penyegelan yang hendak dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung DPP PDIP pada 9 Januari 2020 melanggar hukum dan kode etik.

Upaya tersebut dinilai melanggar hukum dan kode etika karena tanpa izin tertulis dari Dewan Pengawas adalah perbuatan

Anggota Tim Hukum DPP PDIP, Teguh Samudera mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 B ayat 1 huruf b menyatakan Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan.

"Pasal 47 ayat 1 menyatakan, dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas,” kata Teguh kepada wartawan di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020) malam. (Baca Juga: Dewan Pengawas Sebut Pemberian Izin Penggeledahan KPK Dilakukan Tertutup)

Oleh karena itu, kata Teguh, menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada.

Pihaknya juga mempersoalkan penggunaan Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) lama tertanggal 20 Desember 2019 bertepatan dengan pergantian pimpinan KPK guna melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT) pada masa kepemimpinan Pimpinan KPK yang baru.

Menurut Teguh, hal itu bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 dalam Pasal 70B dan Pasal 70C.

"Pasal 70B menyatakan pada saat undang-undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” urainya.

Teguh menjelaskan, Pasal 70C menyatakan pada saat UU ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam UU ini.

"Bahwa dari pandangan kami, konstruksi hukum yang terjadi sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu," tuturnya.

Teguh mengatakan, seluruh warga negara Indonesia wajib dan taat pada hukum, tanpa kecuali. "Namun pada saat bersamaan, seluruh aparat penegak hukum, khususnya dalam hal ini KPK, juga wajib mengedepankan azas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan seharusnya selalu menjunjung tinggi mekanisme hukum (pro-justisia)," urainya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0830 seconds (0.1#10.140)