Konversi Lahan Pertanian, Lawan!

Senin, 13 Januari 2020 - 10:41 WIB
Konversi Lahan Pertanian,...
Konversi Lahan Pertanian, Lawan!
A A A
Kuntoro Boga Andri
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian

BANJIR besar di berbagai kota, termasuk Jakarta di awal 2020 ini, oleh banyak pakar dan pengamat disebut selain disebabkan karena masalah tata kota dan hydrologi juga karena tingginya konversi lahan hutan dan pertanian di daerah hulu. Areal lahan hutan dan pertanian yang seharusnya menyerap air hujan (chactman area), telah dialih fungsi menjadi areal industri, kawasan perumahan, jalan dan fasilitas umum lain. Alhasil, ketika curah hujan yang tinggi kemudian tidak tertampung di sungai dan kawasan terbuka di hilir, menyebabkan banjir. Tak hanya merusak harta benda, banjir kali ini juga menewaskan puluhan jiwa.

Konversi lahan pertanian ke pemanfaatan lain tentu secara nyata membawa dampak buruk terhadap pembangunan dan ketahanan nasional. Pertama, mengancam produksi pangan nasional. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kompetisi pemanfaatan lahan untuk berbagai kebutuhan juga semakin meningkat. Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota (RTRWKK) yang tidak memperhatikan kepentingan kawasan penyangga pangan juga membuka peluang menggerus lahan pertanian.

Ancaman ini cukup besar, yakni sekitar 3 juta ha lahan sawah irigasi dan non irigasi, yang terancam dikonversi ke lahan non pertanian. Sebagai contoh, Provinsi Jawa Tengah pada tahun lalu saja, telah mengajukan rencana alih fungsi lahan sawah seluas 214 ribu ha untuk lahan non pertanian.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 60.000 hektare sawah berubah menjadi penggunaan lain di luar pertanian. Angka tersebut setara dengan pengurangan produksi beras sebesar 300.000 ton setiap tahun. Sesuai penghitungan Luas Sawah Audit Kementerian Pertanian Tahun 2012 luas sawah Indonesia 8.132.344 ha. Sementara Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 399/KEP-23.3/X/2018 menyebut luas sawah hanya 7.105.144 ha. Dengan demikian terdapat selisih luas lahan sawah sebesar 1.247.481 ha yang diasumsikan sudah beralih fungsi.

Selain menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, konversi lahan pertanian juga menjadi salah satu bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya masyarakata agraris. Dengan semakin sempitnya luas lahan garapan usaha pertanian juga akan menurunkan kesejahteraan petani, atau melahirkan kelangkaan lapangan kerja. Investasi pemerintah berupa bangunan air seperti waduk dan saluran irigasi juga akan terbuang percuma.

Ada beberapa persoalan lain yang harus diwaspadai jika kita bertekad mewujudkan kedaulatan pangan dan keberlanjutan swasembada pangan. Pertama, pertambahan jumlah penduduk Indonesia tahun 2035 diperkirakan mencapai 440 juta jiwa, atau tumbuh 1,3%-1,5% per tahun. Bonus demografi ini harus disikapi secara serius sehingga persediaan pangan dalam secara mandiri dalam jumlah yang cukup menjadi sebuah keniscayaan.

Kedua, tingkat produktivitas lahan sawah mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan, jika tidak diimbangi dengan teknologi intensifikasi dan perluasan sawah 40.000 ha per tahun. Ketiga, kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor semakin ketat dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dasyat.

Langkah Tegas, Lawan!

Alih fungsi ilegal lahan pertanian maupun non pertanian yang berdampak negatif pada produksi pertanian secara ilegal tentu harus ditindak. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf secara terang-terangan telah mendeklasikan untuk memerangi tindakan alif fungsi lahan tersebut. Lihat saja, ketika berkunjung ke Kabupaten Bandung, Sabtu (11/1), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meminta polisi bergerak cepat menindak pelaku alih fungsi lahan, termasuk kepada aparat yang ikut kongkalikong. Sesuai ketentuan, bila alih fungsi lahan dilakukan secara konspirasi, pelaku bisa dihukum selama tujuh tahun penjara.

Tak hanya itu, pemerintah juga sudah menyiapkan payung hukum untuk melindungi keberadaan lahan sawah melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan sejumlah peraturan turunannya. Saat ini sekitar 5 juta ha lahan sawah sudah ditetapkan sebagai LP2B dari total 7,1 juta ha lahan baku sawah yang tercatat.

Kementerian Pertanian juga telah menyalurkan bantuan sarana dan prasarana pertanian sebagai salah satu bentuk insentif bagi daerah-daerah atau lahan-lahan yang mempertahankan fungsi sawah (LP2B). Hal tersebut sesuai Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, Bantuan ini berupa benih, pestisida, pupuk subsidi, pembangunan jalan, irigasi, dan mesin pertanian.

Berbekal Perpres ini juga, dilakukan klarifikasi kepada pemerintah daerah untuk mendiskusikan dan menyepakati luasan lahan sawah yang akan dilindungi. Hasilnya menjadi bahan Tim Terpadu untuk melakukan sinkronisasi dan penetapan Peta Lahan Sawah Dilindungi oleh Menteri ATR/Kepala BPN. Aturan sudah cukup, yang diperlukan saat ini adalah konsistensi dan komitmen dalam menjalankannya.

Yang perlu diwaspadai adalah perkembangan penetapan LP2B yang telah disepakati dan dibuat pemerintah daerah, hanya sekitar 50% dari semua pemerintah kabupaten/kota. Rekapitulasi penetapan LP2B dalam Perda RTRW per Desember 2018 adalah 222 kabupaten/kota dari 476 Kabupaten/Kota yang telah menetapkan Perda RTRW dan 254 kabupaten/kota tidak menetapkan LP2B dalam Perda RTRW.

Luas sawah berdasarkan hasil audit Kementerian Pertanian pada Kabupaten/Kota yang menetapkan LP2B dalam Perda RTRW seluas 4,80 juta hektar dan LP2B yang ditetapkan pada Kabupaten/Kota tersebut seluas 5,66 juta hektar. Kabupaten/Kota yang tidak menetapkan LP2B dalam Perda RTRW adalah 254 Kabupaten/Kota. Luas sawah pada Kabupaten/Kota yang tidak menetapkan LP2B seluas 2,64 juta hektar.

Total luas sawah pada seluruh Kabupaten/Kota yang telah menetapkan Perda RTRW seluas 7,44 juta hektar dan total LP2B yang ditetapkan pada Kabupaten/Kota tersebut seluas 5,66 juta hektar. Berdasarkan luasan tersebut, dapat diketahui bahwa tidak ada jaminan bahwa seluruh sawah akan dilindungi dan ditetapkan menjadi LP2B.

Pemerintah sangat yakin, keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh penatagunaan lahan dan pemanfaatan lahan dengan sebaik-baiknya. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B). Terdapat tujuh simpul kritis dalam implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 mendukung ketahanan pangan yang mencakup: (a) Dukungan Peraturan Daerah; (b) Pemahaman terhadap karakteristik sumberdaya lahan pertanian; (c) Identifikasi tipe lahan berdasarkan jenis irigasi dan kelas lahan; (d) Struktur penguasaan lahan petani; (e) Fenomena alih fungsi lahan yang semakin tidak terkendali; (f) Perpecahan (division) dan perpencaran (fragmentation) lahan; (g) Pentingnya pengembangan pusat informasi.

Selanjutnya, langkah-langkah perlindungan dan pengendalian terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang sudah dilakukan pemerintah pusat antara lain, pertama, Surat Menteri Pertanian kepada bupati/wali kota tanggal 28 April 2014 tentang Penetapan LP2B dalam Perda RTRW Kab/Kota. Kedua, Surat Menteri Pertanian kepada Bupati tanggal 13 September 2016 tentang Permohonan Tindak Lanjut Hasil Perluasan Areal Sawah Baru dengan mencatatkan ke BPS dan ditetapkan pada sebagai luasan LP2B. Ketiga, Surat Dirjen PSP kepada Bupati tanggal 11 Oktober 2016 tentang Penetapan LP2B dalam Perda RTRW dilengkapi dengan data spasial 1:5.000.

Pemerintah sangat berharap agar kiranya para pengambil keputusan baik gubernur dan bupati/wali kota memahami peran RTRW sebagai landasan hukum dalam pembangunan daerah, perlindungan LP2B. Selanjutnya, ada jalur atau mekanisme yang transparan, konsisten dan berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan. Agar Pemda mengikutsertakan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai anggota BKPRD provinsi dan kab/kota.

Pencegahan alih fungsi lahan pertanian merupakan tanggung jawab semua pihak. Upaya dan komitmen Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk menindak tegas pihak yang mengalihfungsikan lahan pertanian harus menjadi gerakan perubahan agar pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dengan mudah diwujudkan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran yang tinggi akan pentingnya lahan pertanian di masa yang akan datang demi keberlangsungan dan keberlanjutan atas ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0787 seconds (0.1#10.140)