Merawat Kebinekaan: Pengalaman Kehidupan Pesantren

Selasa, 07 Januari 2020 - 08:06 WIB
Merawat Kebinekaan:...
Merawat Kebinekaan: Pengalaman Kehidupan Pesantren
A A A
Ahmad Zayadi
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Kementerian Agama RI

KEBINEKAAN Indonesia hari ini sesungguhnya sedang menghadapi ujian. Beragam peristiwa politik, sosial, dan keagamaan lalu disikapi berlebihan, dan itu secara tidak langsung berpotensi mengoyaknya. Padahal, kebinekaan inilah sesungguhnya selama puluhan tahun telah menjadi kekuatan persatuan bangsa ini. Kita semua tahu bahwa salah satu identitas yang paling dominan bangsa Indonesia dari dulu hingga sekarang adalah keragaman atau kebinekaan. Identitas tersebut bukan terbentuk dalam tempo waktu yang singkat, namun hasil dialog sejarah panjang dari generasi ke generasi.
Tak salah jika para founding father menyepakati "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai semboyan negara Indonesia. Sayangnya, keunikan yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya itu tidak semuanya disadari oleh setiap masyarakat. Padahal keragaman agama, suku, budaya sudah ada sejak lama. Demi menjaga keharmonisan dan persatuan dalam perbedaan (harmony and unity in diversity ) bangsa Indonesia, semangat Bhinneka Tunggal Ika mau tidak mau harus dibangun bersama, sebab kebinekaan sebagai potensi sumber daya manusia yang ditunjang oleh melimpahnya sumber daya alam di Indonesia.

Kebinekaan sebagai Sunnatullah
Perbedaan dalam segala hal adalah keniscayaan hidup di dunia (sunnatullah). Allah tidak menghendaki adanya keseragaman, termasuk soal keberagaman umat beragama. Allah sendiri telah menegaskan dalam firman-Nya: jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud [11]: 118). Dengan demikian, satu identitas dan keseragaman adalah sesuatu yang mustahil; meskipun Allah mempunyai kuasa untuk melakukan hal itu, perbedaan umat justru bisa menjadi ajang untuk saling berlomba dalam kebaikan. Oleh sebab itu, anti terhadap keragaman sesungguhnya adalah anti-sunnatullah .

Kita bisa belajar dari kehidupan para penyebar Islam di Indonesia, yaitu Wali Songo. Dalam menyebarkan Islam, mereka tidak semata-mata mengedepankan Islam semata, tetapi juga sangat peka dan bijaksana dalam menghadapi multikulturalisme bangsa Indonesia pada masa silam. Sadar akan kondisi demikian, Wali Songo melakukan akulturasi budaya lokal dengan dikombinasikan substansi ajaran Islam. Oleh sebab itu, fakta berbicara bahwa dakwah dengan media budaya dinilai sangat efektif untuk mengambil simpati masyarakat Nusantara yang dahulu berbondong-bondong memeluk agama Islam tanpa paksaan.

Sikap inklusivisme atau keterbukaan Wali Songo terhadap budaya lokal inilah menjadi peletak dasar keramahan Islam di tanah Nusantara. Karakter tersebut kemudian turun menurun kepada generasi ulama abad ke-16 hingga 17. Generasi ini yang pertama kali membuka pengajian kecil di surau-surau yang kemudian menjadi embrio lahirnya "pondok pesantren" yang dikenal sekarang ini. Bisa dibilang, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Roh dan karakternya dinilai meneruskan estafet perjuangan dakwah Wali Songo.

Nyatanya memang benar, kalangan pesantren yang dahulu disebut "Islam tradisional" ini paling militan untuk merawat beraneka ragam tradisi, seni, budaya lokal. Hari ini pun kita bisa membuktikan proses pendidikan di pondok pesantren telah nyata menghasilkan lulusan yang berakhlakul karimah, damai, toleran dan mampu bermuamalah dengan siapa pun dengan cara-cara yang makruf.

Kebinekaan: Pengalaman Kehidupan Pesantren
Dalam sejarahnya, pengalaman pesantren dalam "memperjuangkan kemerdekaan" bukan hanya demi kemaslahatan umat Islam, melainkan juga demi kepentingan segenap bangsa (al-maslahah al-'ammah), yang beraneka agama dan suku. Itu merupakan bukti dan komitmen pesantren dalam mengakui dan melindungi kebinekaan Indonesia. Puncaknya, tokoh kiai pesantren seperti KH Wahid Hasyim yang mewakili umat Islam dalam perumusan bentuk negara tidak menghendaki negara Islam, padahal umat Islam adalah mayoritas. Lalu dalam kerangka membangun konsensus nasional (mu'ahadah wathoniyah), para pendiri bangsa bersepakat untuk menjadikan "Pancasila" sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain sebagai lembaga dakwah dan pusat penyebaran ajaran Islam, dalam perjalanannya pesantren juga merupakan ruang transformasi keilmuan dan kebudayaan (transformation of sciences and cultures), sehingga hal itu sangat berdampak pada karakter santri tidak aneh dan asing lagi dengan tema-tema kemajemukan masyarakat Indonesia.

Sejak awal pula, pesantren telah mengajarkan metode belajar ilmu agama Islam tidak hanya satu varian, pada umumnya biasa mempelajari "empat mazhab" (madzahib al arba'ah). "Keterbukaan" terhadap pandangan keagamaan yang berbeda adalah sesuatu yang dapat ditemukan dengan mudah dalam literatur-literatur kitab kuning pesantren.

Orang-orang pesantren tidak menghendaki adanya tafsir tunggal yang paling benar. Mereka meyakini perbedaan hasil ijtihad di antara para imam mazhab dan murid-muridnya adalah rahmat bagi umat Islam (al-ikhtilafu rahmatun). Tatkala menemukan perbedaan hukum misalnya, santri-santri tidak lantas kaget, karena tahu alasan mengapa bisa berbeda hukum.

Ada yang lebih menarik, kamar-kamar santri atau yang sering disebut kobong atau bilik dihuni oleh para santri yang berbeda etnik dan budaya itu menyatu tanpa ada perlakuan khusus dan diskriminasi. Dari sini terbentuklah kepribadian yang menghargai keragaman, sederhana, kuat dalam ukhuwah, kemandirian, dan kebersahajaan, yang kemudian menjadi ciri khas santri pesantren. Tidak jarang melalui kamar pesantren inilah para santri dapat sharing dengan sesama temannya yang berbeda asal daerah dan suku, entah itu bahasa, budaya dan lainnya. Ini menjadi ruang ketika para santri betul-betul merasakan kebinekaan dan kekayaan budaya Indonesia.

Maka seandainya diadakan sebuah survei atau penelitian, hampir dapat dipastikan bahwa yang menjadi santri di pesantren-pesantren besar kebanyakan bukan hanya putra-putra daerah sekitar pesantren, melainkan berdatangan dari penjuru Tanah Air. Ini yang menjadikan pondok pesantren ramah dan terbuka (friendly and inclusive) kepada umat Islam siapa saja yang bersedia menimba ilmu. Dalam perkembangannya, sebagian pesantren justru tampak semakin terbuka. Misalnya beberapa pesantren menerima kunjungan turis atau peneliti Barat, bahkan ada yang menerima mereka sebagai "ustad" (volunteer ) untuk mengajarkan bahasa Inggris, matematika, atau teknologi kepada para santri.

Pesantren: Ruang Transformasi Kebinekaan

Paradigma pesantren yang terbuka terhadap kebinekaan dan tradisi ini tidak lepas dari keyakinan dan kesadaran bahwa Indonesia tidaklah dibangun di atas satu agama atau golongan saja. Indonesia diperjuangkan atas tumpah darah berbagai golongan. Jika orang-orang pesantren melawan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sama saja mereka tidak mengakui identitas Indonesia.

Berangkat dari dasar pemikiran di atas, setidaknya ada dua poin penting bagi pesantren untuk mentransformasikan semangat kebinekaan kaum sarungan. Pertama, orang-orang pesantren perlu membuat suatu rumusan baku dan matang tentang konsep memahami dan mengelola kebinekaan yang bersumber literatur kitab kuning. Konsep ini nanti dapat menjadi legitimasi bahwa Islam sangat ramah terhadap keragaman, bukan berwatak ekstrem untuk melawan berbagai perbedaan identitas.

Kedua, karakter pendidikan pesantren yang sudah terbiasa ramah dan terbuka itu perlu ditunjang manajemen yang lebih rapi lagi. Ini sangat penting untuk membuka peluang menerima lebih banyak lagi dari kalangan generasi muda untuk menimba ilmu di pesantren. Dengan demikian, pondok pesantren sangat patut dicontoh untuk membangun kesadaran dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tidak hanya kesadaran, tetapi juga dalam situasi bangsa yang rentan terhadap potensi konflik ini, patut juga untuk dikelola dalam kehidupan sehari-hari agar benar-benar kebinekaan tersebut menjadi "keberkahan" untuk kekuatan dan kemajuan bangsa Indonesia. Wallahu a'lam.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9210 seconds (0.1#10.140)