Penanganan Bencana Harus Sistematis
A
A
A
Intensitas hujan di beberapa wilayah Indonesia diperkirakan masih tinggi bulan ini. Termasuk di wilayah Pulau Jawa. Beberapa daerah kini memasuki musim hujan. Bencana seperti banjir dan tanah longsor masih menjadi ancaman. Saat ini beberapa pemerintah daerah sedang sibuk melakukan penanganan bencana. Tak tanggung-tanggung, seluruh sumber daya dikerahkan. Sayangnya ada kelompok tertentu yang dikenal masyarakat sebagai kelompok provokatif memperkeruh suasana dan menggunakan bencana yang diderita masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta, sebagai ajang propaganda politik.
Pemerintah daerah baik di Provinsi Banten, DKI Jakarta maupun Jawa Barat harus bekerja bersama-sama. Juga unit-unit pemerintah lainnya, termasuk pemerintah pusat, harus serius dan tidak saling menyalahkan atau saling lempar tanggung jawab dalam melakukan penanggulangan dampak bencana dan terus melakukan antisipasi agar apabila terjadi bencana susulan bisa segera diatasi dengan cepat.
Dalam dua hari ini beberapa kawasan di Provinsi Jawa Barat, DKI, dan Banten masih terdampak banjir dan longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memetakan ada 169 titik banjir yang terjadi di Jawa Barat, DKI, dan Banten. Tercatat ada 97 titik banjir di Jawa Barat, 63 titik di DKI, dan 9 titik di Banten.
Perlu koordinasi lebih intensif lagi antartiga provinsi itu. Pasalnya potensi bencana khususnya banjir di kawasan yang berdekatan dengan aliran sungai merupakan tanggung jawab bersama. Hulu Sungai Ciliwung misalnya, yang melintasi wilayah Jakarta, berada di Bogor yang merupakan wilayah Provinsi Jawa Barat. Juga Sungai Pesanggrahan sepanjang 66,7 km yang melintasi tiga provinsi dan bermuara di Tangerang, Banten. Juga sungai Cisadane yang hulunya berada di Bogor, Jawa Barat, melintasi 44 kecamatan dan 5 kabupaten/kota dan bermuara di Tanjung Burung, Tangerang. Luapan sungai ini terjadi akibat debit air yang tinggi pada 1 Januari lalu membuat beberapa wilayah di Tangerang terendam banjir.
Antisipasi dampak bencana susulan harus dipersiapkan dengan cermat. Apalagi curah hujan pada awal Tahun Baru 2020 kali ini sangat ekstrem. Namun penanganan bencana tak melulu menjadi tanggung jawab mutlak pemerintah. Diperlukan partisipasi serta kesadaran dari masyarakat. Misalnya mengubah budaya tidak baik dari mereka yang membuang sampah di aliran sungai atau selokan. Juga melakukan perusakan lingkungan dengan melakukan penebangan pohon secara liar di kawan hulu.
Pemerintah pun harus tegas dengan melarang melakukan alih fungsi lahan kawasan serapan air. Misalnya perubahan tata ruang secara masif menjadi kawasan permukiman sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Selama ini pesatnya pertumbuhan permukiman dan kawasan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan, bahkan kawasan retensi banjir yang disediakan alam berupa situ telah beralih fungsi.
Ada yang berubah fungsi menjadi permukiman atau fungsi lainnya. Keadaan ini tentu menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis. Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai sehingga pada saat curah hujan tinggi, timbul genangan air di mana-mana. Lemahnya penegakan hukum mendorong tumbuh dan berkembangnya permukiman ilegal di bantaran sungai. Bahkan ada permukiman yang masuk ke badan sungai. Keadaan ini tentu saja semakin memperburuk sistem tata air lingkungan karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai menurun.
Penambangan pasir ilegal, terutama pada kawasan pengendali banjir seperti di Bogor, Jawa Barat, juga ikut memperparah keadaan. Juga penggundulan hutan dan perubahan fungsi ruang di daerah hulu menjadi faktor penyumbang bencana banjir yang terjadi. Akibatnya debit air meningkat karena air langsung masuk secara cepat ke badan sungai.
Karenanya penanganan bencana dan pencegahannya harus dilakukan sistematis. Melibatkan semua pihak, para stakeholder . Tidak dengan saling menyalahkan atau melempar tanggung jawab, baik antara pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dan yang paling penting, dalam jangka pendek perlu disiapkan sarana evakuasi yang andal, tenaga kesehatan yang siap siaga, juga pemenuhan kebutuhan pokok bagi para korban obat-obatan, termasuk air bersah dan sarana mandi, cuci, kakus (MCK) serta trauma healing.
Pemerintah daerah baik di Provinsi Banten, DKI Jakarta maupun Jawa Barat harus bekerja bersama-sama. Juga unit-unit pemerintah lainnya, termasuk pemerintah pusat, harus serius dan tidak saling menyalahkan atau saling lempar tanggung jawab dalam melakukan penanggulangan dampak bencana dan terus melakukan antisipasi agar apabila terjadi bencana susulan bisa segera diatasi dengan cepat.
Dalam dua hari ini beberapa kawasan di Provinsi Jawa Barat, DKI, dan Banten masih terdampak banjir dan longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memetakan ada 169 titik banjir yang terjadi di Jawa Barat, DKI, dan Banten. Tercatat ada 97 titik banjir di Jawa Barat, 63 titik di DKI, dan 9 titik di Banten.
Perlu koordinasi lebih intensif lagi antartiga provinsi itu. Pasalnya potensi bencana khususnya banjir di kawasan yang berdekatan dengan aliran sungai merupakan tanggung jawab bersama. Hulu Sungai Ciliwung misalnya, yang melintasi wilayah Jakarta, berada di Bogor yang merupakan wilayah Provinsi Jawa Barat. Juga Sungai Pesanggrahan sepanjang 66,7 km yang melintasi tiga provinsi dan bermuara di Tangerang, Banten. Juga sungai Cisadane yang hulunya berada di Bogor, Jawa Barat, melintasi 44 kecamatan dan 5 kabupaten/kota dan bermuara di Tanjung Burung, Tangerang. Luapan sungai ini terjadi akibat debit air yang tinggi pada 1 Januari lalu membuat beberapa wilayah di Tangerang terendam banjir.
Antisipasi dampak bencana susulan harus dipersiapkan dengan cermat. Apalagi curah hujan pada awal Tahun Baru 2020 kali ini sangat ekstrem. Namun penanganan bencana tak melulu menjadi tanggung jawab mutlak pemerintah. Diperlukan partisipasi serta kesadaran dari masyarakat. Misalnya mengubah budaya tidak baik dari mereka yang membuang sampah di aliran sungai atau selokan. Juga melakukan perusakan lingkungan dengan melakukan penebangan pohon secara liar di kawan hulu.
Pemerintah pun harus tegas dengan melarang melakukan alih fungsi lahan kawasan serapan air. Misalnya perubahan tata ruang secara masif menjadi kawasan permukiman sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Selama ini pesatnya pertumbuhan permukiman dan kawasan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan, bahkan kawasan retensi banjir yang disediakan alam berupa situ telah beralih fungsi.
Ada yang berubah fungsi menjadi permukiman atau fungsi lainnya. Keadaan ini tentu menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis. Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai sehingga pada saat curah hujan tinggi, timbul genangan air di mana-mana. Lemahnya penegakan hukum mendorong tumbuh dan berkembangnya permukiman ilegal di bantaran sungai. Bahkan ada permukiman yang masuk ke badan sungai. Keadaan ini tentu saja semakin memperburuk sistem tata air lingkungan karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai menurun.
Penambangan pasir ilegal, terutama pada kawasan pengendali banjir seperti di Bogor, Jawa Barat, juga ikut memperparah keadaan. Juga penggundulan hutan dan perubahan fungsi ruang di daerah hulu menjadi faktor penyumbang bencana banjir yang terjadi. Akibatnya debit air meningkat karena air langsung masuk secara cepat ke badan sungai.
Karenanya penanganan bencana dan pencegahannya harus dilakukan sistematis. Melibatkan semua pihak, para stakeholder . Tidak dengan saling menyalahkan atau melempar tanggung jawab, baik antara pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dan yang paling penting, dalam jangka pendek perlu disiapkan sarana evakuasi yang andal, tenaga kesehatan yang siap siaga, juga pemenuhan kebutuhan pokok bagi para korban obat-obatan, termasuk air bersah dan sarana mandi, cuci, kakus (MCK) serta trauma healing.
(wib)