Periode Kelam Politik Indonesia

Sabtu, 28 Desember 2019 - 17:28 WIB
Periode Kelam Politik Indonesia
Periode Kelam Politik Indonesia
A A A
Dr Fadli Zon M.Sc
Anggota DPR RI, Juru Bicara Rakyat, alumnus UI dan London School of Economics (LSE) Inggris

TAHUN 2019 menjadi periode kelam politik Indonesia. Pasalnya, hampir sepanjang tahun, wajah politik kita dipenuhi peristiwa tak menggembirakan. Mulai dari pemilu serentak yang amburadul, penegakkan hukum yang bermasalah, pembatasan kebebasan berpendapat, represi atas oposisi, hingga munculnya wacana penambahan periode jabatan presiden. Itu semua, pantas membuat kita merasa cemas dengan masa depan demokrasi Indonesia.

Di awal tahun, publik disuguhkan optimisme pemilu serentak yang berkualitas. Namun ironis, fakta berkata sebaliknya. Pesta menjadi petaka. Demokrasi berubah menjadi tragedi.

Padahal, sejak putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dikeluarkan, waktu tersedia untuk mempersiapkan pemilu serentak 2019, terbilang cukup lama. Namun, karena pengelolaan masih tradisional, pemilu modern yang diharapkan justru berubah menjadi pemilu paling brutal. Mulai dari daftar pemilih bermasalah, tata kelola logistik tak merata, netralitas aparat, proses hitung cepat yang tak transparan, hingga meninggalnya lebih dari 600 petugas pemilu, yang hingga kini belum jelas diungkap penyebabnya. Itu semua pantas membuat publik gelisah.

Petaka tak berhenti sampai disitu. Tragedi selanjutnya ditandai peristiwa Mei 2019. Gerakan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu, berujung pada bentrok yang kembali menelan korban jiwa.

Sebagai Wakil Ketua DPR RI saat itu, pada 27 Mei 2019, saya menerima laporan dari sejumlah keluarga korban. Salah satunya keluarga korban Harun Al-Rasyid, 15 tahun, yang diduga tewas akibat peluru menembus dadanya. Belum korban jiwa lainnya yang jumlahnya tak sedikit.

Sehingga, saya termasuk yang berpendapat bahwa pemilu kali ini adalah pemilu terburuk sejak era reformasi. Bahkan jauh lebih buruk ketimbang pemilu pertama tahun 1955. Dan itu sejatinya menandakan lemahnya komitmen pemerintah dalam mempersiapkan pemilu serentak secara serius.

Itu sebabnya saya tak heran, meski Presiden Jokowi kerap menyatakan komitmennya untuk menjaga demokrasi, justru demokrasi Indonesia mengalami kemunduran hampir di setiap indikasi.

Saya mencatat betul bagaimana The Guardian, salah satu harian ternama di Inggris, pada April lalu mengangkat artikel dengan judul “Joko Widodo: how 'Indonesia's Obama' failed to live up to the hype”. Artikel tersebut, seolah hendak mempertanyakan label “A New Hope” yang pernah diberikan majalah Time kepada Presiden Jokowi.

Di samping artikel tersebut, lembaga internasional seperti Freedom House dan Economist Intelligence Unit juga menangkap tren kemunduran demokrasi. Jika di era sebelumnya, Freedom House menempatkan Indonesia sebagai negara “Bebas” (Free), di era Presiden Joko Widodo, status Indonesia justru turun menjadi “Setengah Bebas” (Partly Free). Sementara itu, lembaga Economist Intelligence Unit juga mencatat indeks demokrasi Indonesia berada di skor 6,39, yang menunjukkan kita tergolong sebagai negara berkategori “flawed democracy”, alias demokrasi yang cacat.

Pasca pemilu serentak, alih-alih terjadi peningkatan kualitas, demokrasi kita kembali justru terus mengalami defisit. Dalam hal kebebasan berpendapat, misalnya, survey LSI pada November lalu memotret ada 43 persen responden yang merasa takut berbicara politik. Menariknya, jumlah ini meningkat 100 persen dari Pemilu 2014 yang hanya 17 persen.

Potret tersebut bagi saya tidak mengagetkan. Kita bisa sama-sama melihat, menjelang pelaksanaan pemilu serentak, telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi aktivis yang kritis terhadap pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar. Dari perspektif kebebasan sipil dan berpendapat, sangat jelas bahwa ini sebuah kemunduran yang memalukan.

Nancy Bermeo dari Oxford University, menyebut fenomena ini sebagai democratic backsliding. Di mana, kemunduran demokrasi kontemporer, bukan lagi hasil dari kudeta atau kecurangan pemilu terang-terangan, tetapi hasil dari perluasan eksekutif atau pembatasan konstitusi terhadap kebebasan. Dan analisis Nancy Bermeo ini, patut dijadikan peringatan bagi kita.

Di luar soalan tragedi pemilu, kemunduran demokrasi kita juga ditandai dengan munculnya wacana menambah periode jabatan presiden melalui amandemen konstitusi. Saya pribadi tidak anti terhadap amandemen konstitusi, sejauh semangatnya memperkuat sistem presidensial dan meremajakan kembali reformasi. Sebab, sistem apapun, jika tak diremajakan pada akhirnya akan membusuk.

Namun, khusus untuk menambah periode jabatan presiden, saya melihat wacana tersebut tidak memiliki urgensi apapun. Justru, akan membuat demokrasi kita yang sudah kelam, akan semakin terpuruk.

Meski sejumlah elit mengatakan ini bagian dari aspirasi publik yang tidak boleh dibunuh, kemunculan wacana ini patut dihentikan sejak awal. Sebab jika terus berproses, ini bisa memicu wacana liar lainnya. Saya khawatir, ini seperti membuka kotak pandora yang akan menghancurkan bangunan konstitusi dan NKRI.

Melihat demokrasi kita yang semakin defisit, pemerintah tentu tak bisa tinggal diam. Di periode keduanya, kita berharap Presiden Jokowi bertanggung jawab untuk membenahi kualitas demokrasi kita yang porak poranda dalam lima tahun kepemimpinannya. Kita tak ingin Presiden Jokowi meninggalkan legacy yang buruk. Dan ini harus dibuktikan lima tahun ke depan. Kecuali jika pemerintah memang hendak meneruskan keterpurukan demokrasi ini.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6928 seconds (0.1#10.140)