Sikapi Masalah Uighur, Anggota DPR Ini Dukung NU dan Muhammadiyah
Selasa, 17 Desember 2019 - 11:50 WIB

Sikapi Masalah Uighur, Anggota DPR Ini Dukung NU dan Muhammadiyah
A
A
A
JAKARTA - Pemberitaan mengenai dugaan persekusi dan diskriminasi terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di China kembali menghangat di Tanah Air. Hal ini menyusul munculnya tudingan dari surat kabar Wall Street Journal (WSJ) terhadap sejumlah pihak di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, tuduhan itu langsung dialamatkan kepada dua ormas Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. WSJ menuding dua ormas tersebut bersikap diam dalam kasus di wilayah Xinjiang itu. WSJ bahkan menuduh keduanya menerima uang lewat bantuan dan donasi yang digelontorkan pemerintah Tiongkok.
Di sisi lain, sejumlah pihak mendesak pemerintah Indonesia bersikap atas kondisi yang menimpa muslim Uighur. Mereka menilai, pemerintah pasif terhadap kasus Uighur karena banyaknya investasi China di Indonesia. (Baca juga: PP Muhammadiyah Keluarkan 7 Pernyataan Sikap Soal Muslim Uighur )
Anggota Komisi I DPR Willy Aditya berpendapat, tudingan yang diarahkan kepada kedua ormas Islam itu bersifat politis. Menurutnya, kedua ormas tersebut justru representasi Muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Kedua ormas itu juga pernah melakukan observasi dan mengumpulkan langsung data dan fakta terkait masalah di Uighur. Mereka bahkan berhasil mendesak pembukaan akses kunjungan ke fasilitas yang disebut kem konsentrasi oleh media barat, yang selama ini tertutup.
“Kedua ormas terbesar itu justru menunjukan kelasnya sebagai aktor menjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah China, Indonesia bisa mengajak China menemukan solusi-solusi damai,” katanya di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya. Indonesia harus mencari cara agar China berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.
“Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang,” tandasnya. (Baca juga: GP Anshor Duga Kasus Uighur Berlatar Belakang Ekonomi )
Dia menjelaskan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya. Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan China juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan anatara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.
“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi Pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” terangnya.
Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, tidak bisa dilihat berdiri sendiri. UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.
“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia. UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” ujarnya.
Menurutnya, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela HAM warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas.
“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokkan China berubah total. Setelah 2017 justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” tegasnya.
Tidak tanggung-tanggung, tuduhan itu langsung dialamatkan kepada dua ormas Islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. WSJ menuding dua ormas tersebut bersikap diam dalam kasus di wilayah Xinjiang itu. WSJ bahkan menuduh keduanya menerima uang lewat bantuan dan donasi yang digelontorkan pemerintah Tiongkok.
Di sisi lain, sejumlah pihak mendesak pemerintah Indonesia bersikap atas kondisi yang menimpa muslim Uighur. Mereka menilai, pemerintah pasif terhadap kasus Uighur karena banyaknya investasi China di Indonesia. (Baca juga: PP Muhammadiyah Keluarkan 7 Pernyataan Sikap Soal Muslim Uighur )
Anggota Komisi I DPR Willy Aditya berpendapat, tudingan yang diarahkan kepada kedua ormas Islam itu bersifat politis. Menurutnya, kedua ormas tersebut justru representasi Muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Kedua ormas itu juga pernah melakukan observasi dan mengumpulkan langsung data dan fakta terkait masalah di Uighur. Mereka bahkan berhasil mendesak pembukaan akses kunjungan ke fasilitas yang disebut kem konsentrasi oleh media barat, yang selama ini tertutup.
“Kedua ormas terbesar itu justru menunjukan kelasnya sebagai aktor menjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah China, Indonesia bisa mengajak China menemukan solusi-solusi damai,” katanya di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya. Indonesia harus mencari cara agar China berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.
“Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang,” tandasnya. (Baca juga: GP Anshor Duga Kasus Uighur Berlatar Belakang Ekonomi )
Dia menjelaskan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya. Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan China juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan anatara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.
“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi Pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” terangnya.
Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, tidak bisa dilihat berdiri sendiri. UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.
“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia. UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” ujarnya.
Menurutnya, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela HAM warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas.
“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokkan China berubah total. Setelah 2017 justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” tegasnya.
(poe)