Kemenag Tegaskan Tak Ujug-ujug Bikin Aturan Soal Majelis Taklim
A
A
A
JAKARTA - Lahirnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim mendapat respons luas dari publik. Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan PMA ini lahir sebagai respons atas kebutuhan data majelis taklim.
Menurut Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Juradi, PMA tidak asal jadi tapi melalui proses pembahasan yang cukup panjang. Dalam penyusunannya, Kemenag melibatkan para pimpinan organisasi majelis taklim, di antaranya Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT), Forum Komunikasi Majelis Taklim (FKMT), Perhimpunan Majelis Taklim Indonesia (PMTI), Pergerakan Majelis Taklim (Permata), Hidmat Muslimat NU, Fatayat, Aisiyah Muhammadiyah, Nasiyatul Aisiyah, dan para tokoh, praktisi MT.
"Setelah pembahasan konsep, dilanjutkan dengan finalisasi, kemudian diharmonisasi dengan menghadirkan pihak Kemenkumham, dan Kemendagri. Jadi bukan ujug-ujug atau serta merta karena menyikapi suatu isu," kata Juraidi di Jakarta, Kamis 12 Desember 2019. (Baca Juga: Pendaftaran Majelis Taklim untuk Pembinaan, Tak Ada Sanksi)
"Kehadiran PMA 29/2019 lebih kepada kebutuhan akan data majelis taklim dan pembinaannya," sambungnya.
Untuk memperoleh data majelis taklim yang valid, kata Juraidi, diperlukan definisi dan kriteria jelas. Jika tidak jelas kriterianya, maka data yang dihasilkan akan bias.
Masjid misalnya, kalau kriterianya adalah tempat yang digunakan untuk salat jumat. "Bagaimana dengan aula dan tempat parkir kantor yang digunakan untuk salat jumat. Apakah bisa disebut masjid? Tentu tidak. Oleh karena itu, kriterianya harus jelas. Begitu juga MT yang diatur dalam PMA 29/2019, jelas kriterianya," tutur Juraidi.
Juraidi mencontohkan beda majelis taklim dan taklim. Menurut dia, jika ada orang berkumpul belajar agama berapa pun jumlahnya, di bawah pohon sekalipun tempatnya, itu bisa disebut taklim, tapi bukan majelis taklim. Sebab, majelis taklim ada kriteria yang sudah disepakati oleh para pimpinan dan praktisi MT, dan itu dimuat dalam PMA 29/2019.
Selain soal kriteria, lanjut Juraidi, masalah yang muncul dalam pembahasan draft PMA terkait jumlah majelis taklim di Indonesia. Fakta saat ini, ada majelis taklim yang terdaftar pada BKMT, tapi mendaftar pula di FKMT. Bahkan, didata juga oleh HMTI, atau HIDMAT Muslimat NU. Ketika masing-masing organisasi melaporkan, maka data jumlah MTnya pasti tidak valid.
"Di sinilah arti penting data yang disajikan pemerintah. PMA 29 hadir dalam semangat itu. Pendataan yang baik akan memudahkan proses pembinaan," tandasnya.
Menurut Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) M Juradi, PMA tidak asal jadi tapi melalui proses pembahasan yang cukup panjang. Dalam penyusunannya, Kemenag melibatkan para pimpinan organisasi majelis taklim, di antaranya Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT), Forum Komunikasi Majelis Taklim (FKMT), Perhimpunan Majelis Taklim Indonesia (PMTI), Pergerakan Majelis Taklim (Permata), Hidmat Muslimat NU, Fatayat, Aisiyah Muhammadiyah, Nasiyatul Aisiyah, dan para tokoh, praktisi MT.
"Setelah pembahasan konsep, dilanjutkan dengan finalisasi, kemudian diharmonisasi dengan menghadirkan pihak Kemenkumham, dan Kemendagri. Jadi bukan ujug-ujug atau serta merta karena menyikapi suatu isu," kata Juraidi di Jakarta, Kamis 12 Desember 2019. (Baca Juga: Pendaftaran Majelis Taklim untuk Pembinaan, Tak Ada Sanksi)
"Kehadiran PMA 29/2019 lebih kepada kebutuhan akan data majelis taklim dan pembinaannya," sambungnya.
Untuk memperoleh data majelis taklim yang valid, kata Juraidi, diperlukan definisi dan kriteria jelas. Jika tidak jelas kriterianya, maka data yang dihasilkan akan bias.
Masjid misalnya, kalau kriterianya adalah tempat yang digunakan untuk salat jumat. "Bagaimana dengan aula dan tempat parkir kantor yang digunakan untuk salat jumat. Apakah bisa disebut masjid? Tentu tidak. Oleh karena itu, kriterianya harus jelas. Begitu juga MT yang diatur dalam PMA 29/2019, jelas kriterianya," tutur Juraidi.
Juraidi mencontohkan beda majelis taklim dan taklim. Menurut dia, jika ada orang berkumpul belajar agama berapa pun jumlahnya, di bawah pohon sekalipun tempatnya, itu bisa disebut taklim, tapi bukan majelis taklim. Sebab, majelis taklim ada kriteria yang sudah disepakati oleh para pimpinan dan praktisi MT, dan itu dimuat dalam PMA 29/2019.
Selain soal kriteria, lanjut Juraidi, masalah yang muncul dalam pembahasan draft PMA terkait jumlah majelis taklim di Indonesia. Fakta saat ini, ada majelis taklim yang terdaftar pada BKMT, tapi mendaftar pula di FKMT. Bahkan, didata juga oleh HMTI, atau HIDMAT Muslimat NU. Ketika masing-masing organisasi melaporkan, maka data jumlah MTnya pasti tidak valid.
"Di sinilah arti penting data yang disajikan pemerintah. PMA 29 hadir dalam semangat itu. Pendataan yang baik akan memudahkan proses pembinaan," tandasnya.
(dam)