Kotak Pandora Garuda Indonesia
A
A
A
Rio ChristiawanDosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MENTERI BUMN Erick Tohir pekan lalu mengumumkan pemberhentian empat orang direktur Garuda Indonesia (GI), termasuk direktur utamanya. Penyebab pemberhentian jajaran direksi ini adalah kasus dugaan pelanggaran kepabeanan dan dugaan penyelundupan barang mewah yang melibatkan jajaran direksi perusahaan. Pascapemberhentian direksi oleh Menteri BUMN terungkap ke publik, baik melalui media cetak maupun media elektronik mengenai persoalan lain di tubuh maskapai pelat merah tersebut, ibarat Kotak Pandora yang telah terbuka. Kini banyak hal yang terbongkar, mulai dari perilaku menyimpang direksi hingga dugaan penyalahgunaan wewenang pejabat GI untuk kepentingan pribadi.
Peristiwa ini sesungguhnya membawa keprihatinan tersendiri bagi masyarakat. Kasus ini menyingkap fakta bahwa GI sebagai BUMN rupanya tidak menjalankan peran dengan berorientasi pada pelayanan (public service oriented ). Kini di tengah banyak keprihatinan akan kinerja GI termasuk laporan keuangan yang buruk, justru fakta yang diterima masyarakat adalah perusahaan ini dijadikan sapi perah untuk pemenuhan kebutuhan hedonisme dan gaya hidup borjuis oknum pejabatnya.
Sebenarnya alarm terkait sengkarut pengelolaan GI sudah berbunyi sejak tahun lalu ketika salah satu pemegang saham menolak menerima laporan keuangan perusahaan. Kini masalah terus bertambah. Padahal sebuah kerugian besar tersendiri jika GI sebagai BUMN utama pada jasa pelayanan penerbangan komersial tidak dikelola dengan baik. Dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, maka GI merupakan BUMN yang strategis bagi bangsa.
Himawan (2003), menguraikan bahwa salah satu fungsi utama BUMN adalah agen perubahan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagaimana fakta yang tersaji dalam beberapa tahun terakhir GI sebagai BUMN dipenuhi skandal korupsi maupun bentuk penyimpangan lainnya. Tidak tampak bahwa BUMN ini berorientasi pada masyarakat dan hal tersebut linier dengan kinerja perusahaan yang terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Kini pascapemberhentian jajaran direksi GI, maka penerapan tata kelola korporasi yang baik (Good Corporate Governance/ GCG ) menjadi suatu keharusan. Perlu ada perombakan di tubuh GI.Selebihnya pemerintah juga perlu melakukan tindakan penegakan hukum secara serius guna menghasilkan efek jera, tidak hanya di GI saja, tetapi termasuk BUMN lainnya yang juga kerap tersandung persoalan integritas pengelolanya. Jadi, keputusan pemberhentian jajaran direksi yang dilakukan Menteri BUMN patut diapresiasi meskipun tetap harus dibarengi langkah penegakan hukum.
Tata Kelola yang Baik Penerapan tata kelola korporasi yang baik menjadi hal wajib diterapkan dengan standar tinggi di perusahaan penerbangan di seluruh dunia. Sebagai contoh Korean Air pada 2015 membawa pejabat eksekutifnya ke meja hijau hanya karena kasus anak direktur utama perusahaan berlaku kasar dan sewenang-wenang kepada salah satu awak kabin saat meminta tambahan kacang di bangku kelas bisnis. Atas peristiwa tersebut, pejabat bersangkutan diancam dengan penjara 10 tahun karena dipandang melanggar GCG. Pelanggaran GCG pada industri penerbangan akan berkorelasi dengan kinerja perusahaan dan keselamatan industri penerbangan itu sendiri.
Rentetan pergantian pejabat dan direktur GI di mana banyak di antaranya berakhir dengan kasus hukum yang berkaitan dengan integritas—misalnya Emirsyah Satar selaku direktur utama yang menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kini Ari Ashkara yang tampaknya akan menghadapi banyak dugaan pelanggaran hukum dan integritas—menunjukkan bahwa GCG sudah lama tidak diterapkan pada pengelolaan perusahaan ini. Pada sisi operasional sebenarnya GI sudah memiliki kinerja baik, terbukti banyaknya pengakuan dan penghargaan yang diperoleh, termasuk kepercayaan join flight serta join passenger dengan maskapai internasional berstandar tinggi lainnya.
Persoalan utama di tubuh GI saat ini adalah bagaimana mengembalikan penerapan GCG pada tubuh manajemen perusahaan. Melihat situasi demikian, pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah memilih figur direksi yang memiliki integritas dan tidak memiliki konflik kepentingan dalam bentuk apapun.
Idealnya, rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang rencananya digelar Januari 2020 harus memilih sosok profesional dan memiliki catatan integritas yang baik. Dalam literature GCG, Jonathan Watson (2014), menguraikan bahwa adanya konflik kepentingan akan menghasilkan kepentingan tersembunyi (vested interest ) yang tidak sejalan dengan agenda BUMN sebagai korporasi. Pada akhirnya itu justru akan menggerogoti kinerja BUMN sehingga gagal memberi dampak pada perekonomian maupun sosial yang menunjang agenda kesejahteraan bangsa seperti pertumbuhan ekonomi.
Hal perlu menjadi evaluasi lainnya adalah cara pemilihan (rekrutmen) pejabat yang mengisi jajaran kursi direksi BUMN. Model pemilihan sebelumnya yang tidak didasarkan pada asas profesionalisme, melainkan pertimbangan politik maupun pertimbangan kepentingan lainnya, harus diubah. Model seperti ini hanya menumbuhkan kepentingan tersembunyi yang justru akan menggerogoti BUMN dan berakhir pada banyaknya kasus hukum yang menimpa pejabat perusahaan seperti terjadi belakangan.
Sudah saatnya BUMN dikelola oleh seorang profesional yang memiliki rekam jejak baik khususnya terkait integritas. Rekam jejak merupakan hal penting dalam penempatan pejabat BUMN. Belajar dari kasus GI, konflik kepentingan dan pelanggaran GCG yang ada saat ini, sebagian bermula ketika Ari Askhara menjadi direktur keuangan dan risiko pada tahun sebelumnya. Dalam disiplin ilmu kriminologi, penelusuran rekam jejak pejabat yang akan menduduki jabatan publik sangatlah penting. Jika pejabat yang bersangkutan memiliki catatan pelanggaran GCG atau bahkan pelanggaran hukum, maka pada jabatan berikutnya (bahkan jika jabatan setelahnya lebih tinggi), pejabat tersebut akan cenderung tetap melakukan bahkan melanggengkan penyimpangan tersebut.
Dalam naskah akademik UU BUMN tertulis bahwa salah satu tujuan BUMN adalah mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, BUMN memiliki peran pelayan publik atau public service oriented (PSO). Hal tersebut akan bisa dicapai jika BUMN dalam pengelolaannya mengutamakan penerapan GCG dalam manajemen unit bisnis yang dikelolanya. Maka kini, jajaran GI secara menyeluruh, tak terkecuali direksi harus mengimplementasikan GCG. Dengan GCG optimal serta pengelolaan yang berintegritas, GI sebagai BUMN strategis yang juga dimiliki rakyat sebagai perusahaan terbuka akan mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik. Dalam hal ini implementasi GCG akan mengeliminasi kepentingan tersembunyi yang menggerogoti kinerja BUMN yang pada akhirnya menghambat peran BUMN sebagai pelayan publik.
MENTERI BUMN Erick Tohir pekan lalu mengumumkan pemberhentian empat orang direktur Garuda Indonesia (GI), termasuk direktur utamanya. Penyebab pemberhentian jajaran direksi ini adalah kasus dugaan pelanggaran kepabeanan dan dugaan penyelundupan barang mewah yang melibatkan jajaran direksi perusahaan. Pascapemberhentian direksi oleh Menteri BUMN terungkap ke publik, baik melalui media cetak maupun media elektronik mengenai persoalan lain di tubuh maskapai pelat merah tersebut, ibarat Kotak Pandora yang telah terbuka. Kini banyak hal yang terbongkar, mulai dari perilaku menyimpang direksi hingga dugaan penyalahgunaan wewenang pejabat GI untuk kepentingan pribadi.
Peristiwa ini sesungguhnya membawa keprihatinan tersendiri bagi masyarakat. Kasus ini menyingkap fakta bahwa GI sebagai BUMN rupanya tidak menjalankan peran dengan berorientasi pada pelayanan (public service oriented ). Kini di tengah banyak keprihatinan akan kinerja GI termasuk laporan keuangan yang buruk, justru fakta yang diterima masyarakat adalah perusahaan ini dijadikan sapi perah untuk pemenuhan kebutuhan hedonisme dan gaya hidup borjuis oknum pejabatnya.
Sebenarnya alarm terkait sengkarut pengelolaan GI sudah berbunyi sejak tahun lalu ketika salah satu pemegang saham menolak menerima laporan keuangan perusahaan. Kini masalah terus bertambah. Padahal sebuah kerugian besar tersendiri jika GI sebagai BUMN utama pada jasa pelayanan penerbangan komersial tidak dikelola dengan baik. Dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, maka GI merupakan BUMN yang strategis bagi bangsa.
Himawan (2003), menguraikan bahwa salah satu fungsi utama BUMN adalah agen perubahan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagaimana fakta yang tersaji dalam beberapa tahun terakhir GI sebagai BUMN dipenuhi skandal korupsi maupun bentuk penyimpangan lainnya. Tidak tampak bahwa BUMN ini berorientasi pada masyarakat dan hal tersebut linier dengan kinerja perusahaan yang terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Kini pascapemberhentian jajaran direksi GI, maka penerapan tata kelola korporasi yang baik (Good Corporate Governance/ GCG ) menjadi suatu keharusan. Perlu ada perombakan di tubuh GI.Selebihnya pemerintah juga perlu melakukan tindakan penegakan hukum secara serius guna menghasilkan efek jera, tidak hanya di GI saja, tetapi termasuk BUMN lainnya yang juga kerap tersandung persoalan integritas pengelolanya. Jadi, keputusan pemberhentian jajaran direksi yang dilakukan Menteri BUMN patut diapresiasi meskipun tetap harus dibarengi langkah penegakan hukum.
Tata Kelola yang Baik Penerapan tata kelola korporasi yang baik menjadi hal wajib diterapkan dengan standar tinggi di perusahaan penerbangan di seluruh dunia. Sebagai contoh Korean Air pada 2015 membawa pejabat eksekutifnya ke meja hijau hanya karena kasus anak direktur utama perusahaan berlaku kasar dan sewenang-wenang kepada salah satu awak kabin saat meminta tambahan kacang di bangku kelas bisnis. Atas peristiwa tersebut, pejabat bersangkutan diancam dengan penjara 10 tahun karena dipandang melanggar GCG. Pelanggaran GCG pada industri penerbangan akan berkorelasi dengan kinerja perusahaan dan keselamatan industri penerbangan itu sendiri.
Rentetan pergantian pejabat dan direktur GI di mana banyak di antaranya berakhir dengan kasus hukum yang berkaitan dengan integritas—misalnya Emirsyah Satar selaku direktur utama yang menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kini Ari Ashkara yang tampaknya akan menghadapi banyak dugaan pelanggaran hukum dan integritas—menunjukkan bahwa GCG sudah lama tidak diterapkan pada pengelolaan perusahaan ini. Pada sisi operasional sebenarnya GI sudah memiliki kinerja baik, terbukti banyaknya pengakuan dan penghargaan yang diperoleh, termasuk kepercayaan join flight serta join passenger dengan maskapai internasional berstandar tinggi lainnya.
Persoalan utama di tubuh GI saat ini adalah bagaimana mengembalikan penerapan GCG pada tubuh manajemen perusahaan. Melihat situasi demikian, pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah memilih figur direksi yang memiliki integritas dan tidak memiliki konflik kepentingan dalam bentuk apapun.
Idealnya, rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang rencananya digelar Januari 2020 harus memilih sosok profesional dan memiliki catatan integritas yang baik. Dalam literature GCG, Jonathan Watson (2014), menguraikan bahwa adanya konflik kepentingan akan menghasilkan kepentingan tersembunyi (vested interest ) yang tidak sejalan dengan agenda BUMN sebagai korporasi. Pada akhirnya itu justru akan menggerogoti kinerja BUMN sehingga gagal memberi dampak pada perekonomian maupun sosial yang menunjang agenda kesejahteraan bangsa seperti pertumbuhan ekonomi.
Hal perlu menjadi evaluasi lainnya adalah cara pemilihan (rekrutmen) pejabat yang mengisi jajaran kursi direksi BUMN. Model pemilihan sebelumnya yang tidak didasarkan pada asas profesionalisme, melainkan pertimbangan politik maupun pertimbangan kepentingan lainnya, harus diubah. Model seperti ini hanya menumbuhkan kepentingan tersembunyi yang justru akan menggerogoti BUMN dan berakhir pada banyaknya kasus hukum yang menimpa pejabat perusahaan seperti terjadi belakangan.
Sudah saatnya BUMN dikelola oleh seorang profesional yang memiliki rekam jejak baik khususnya terkait integritas. Rekam jejak merupakan hal penting dalam penempatan pejabat BUMN. Belajar dari kasus GI, konflik kepentingan dan pelanggaran GCG yang ada saat ini, sebagian bermula ketika Ari Askhara menjadi direktur keuangan dan risiko pada tahun sebelumnya. Dalam disiplin ilmu kriminologi, penelusuran rekam jejak pejabat yang akan menduduki jabatan publik sangatlah penting. Jika pejabat yang bersangkutan memiliki catatan pelanggaran GCG atau bahkan pelanggaran hukum, maka pada jabatan berikutnya (bahkan jika jabatan setelahnya lebih tinggi), pejabat tersebut akan cenderung tetap melakukan bahkan melanggengkan penyimpangan tersebut.
Dalam naskah akademik UU BUMN tertulis bahwa salah satu tujuan BUMN adalah mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, BUMN memiliki peran pelayan publik atau public service oriented (PSO). Hal tersebut akan bisa dicapai jika BUMN dalam pengelolaannya mengutamakan penerapan GCG dalam manajemen unit bisnis yang dikelolanya. Maka kini, jajaran GI secara menyeluruh, tak terkecuali direksi harus mengimplementasikan GCG. Dengan GCG optimal serta pengelolaan yang berintegritas, GI sebagai BUMN strategis yang juga dimiliki rakyat sebagai perusahaan terbuka akan mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik. Dalam hal ini implementasi GCG akan mengeliminasi kepentingan tersembunyi yang menggerogoti kinerja BUMN yang pada akhirnya menghambat peran BUMN sebagai pelayan publik.
(mhd)