Narasi Ekologis Ibu Kota Baru

Kamis, 05 Desember 2019 - 08:35 WIB
Narasi Ekologis Ibu...
Narasi Ekologis Ibu Kota Baru
A A A
IGG Maha Adi
National Communication Manager Conservation International-Indonesia
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) telah memaparkan rencana awal pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Lokasi sudah ditentukan dan sudah ditugaskan secara lisan seorang Kepala Badan Otoritas Pemindahan Ibu Kota yang akan bekerja pada 2020. Presiden menyampaikan setidaknya tiga alasan utama pemindahan, yaitu potensi bencana alam, kepadatan penduduk dan kemacetan, serta ketimpangan ekonomi Jawa dan luar Jawa.
Sebelumnya, Presiden menyampaikan usulan tersebut dalam pidato Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2020 dan Nota Keuangan di depan Sidang Paripurna DPR RI pada 16 Agustus 2019. Apa yang menarik adalah Presiden memilih visi lingkungan sebagai visi ibu kota baru itu: Kota yang modern, smart, dan green city, dengan memakai energi baru terbarukan.

Teknokopia
Terminologi kota pintar (smart city) berkaitan dengan konektivitas, terutama keterhubungan pelayanan dan fasilitas publik. Akses terhadap semua pelayanan itu difasilitasi oleh teknologi, semisal layanan daring, untuk operasionalisasi, atau fasilitas pembayaran. Kota dihubungkan oleh infrastruktur jalan yang memadai dan moda terintegrasi.

Karena itu, kota pintar adalah sebuah teknokopia (tehno-eco-utopia ), di mana teknologi sebagai tulang punggung yang menopang aspek lain semacam lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial. Korea Selatan punya kota pintar Songdo, Malaysia sedang membangun Forest City, Arab Saudi sangat ambisius di Neom, Nigeria mengembangkan Eko Atlantic, dan China yang akan membangun 500 kota pintar.

Sedangkan pada kota yang ramah lingkungan (green city ), kita membicarakan daya dukung sumber daya dan lingkungan untuk menopang fungsi kota serta aktivitas penduduk. Ciri khas kota ini adalah ruang terbuka hijau yang besar, aktivitas yang masif untuk mengurangi limbah dan emisi, kegiatan daur ulang (3R), penghematan energi dan air, green building, serta pengurangan jejak karbon. Prinsipnya, green city memberdayakan seluruh komponen kota untuk melakukan aktivitas ramah lingkungan.

Basis Ekosistem
Prinsip green city perlahan digantikan kota berwawasan ekologis (eco-city) karena dianggap mengembangkan pendekatan berbasis ekosistem alami. Karakteristik eco-city ada tiga, yaitu kota yang sehat secara ekologis, berciri organisme hidup, dan berorientasi ekosistem urban. Kota yang sehat artinya mengonsumsi tidak melebihi tingkat produksinya, menghasilkan limbah pada batas yang bisa ditangani, dan tidak menghasilkan limbah beracun untuk ekosistem di sekitarnya.

Berciri organisme hidup artinya kota dan penghuninya harus memperhitungkan adanya pergerakan (transportasi), respirasi (konsumsi energi), sensitivitas (respons atas lingkungan), pertumbuhan (perubahan kota), reproduksi (pendidikan, pelatihan, pembangunan), ekskresi (pengelolaan limbah), dan nutrisi (udara, air, tanah, makanan).

Berorientasi ekosistem urban artinya memperhatikan interaksi makhluk hidup dan lingkungannya yang menyediakan kebutuhan kota berupa sistem regulasi (iklim, banjir, keseimbangan nutrisi, penyerapan air), budaya (sains, spiritual, estetika), persediaan (makanan, obat), dan sistem pendukung (kondisi tanah, siklus nutrisi, fotosintesis).

Bila kawasan di sekitarnya ikut mendukung ekosistem sebuah kota, maka terciptalah ekopolis seperti Kota Jakarta. Saya menyebut aspek teknis ekologis ini sebagai dimensi fungsional kota yang dijalankan secara efektif, efisien, dan rasional, sehingga berada dalam lingkup teknokratis.

Manusiawi
Selain dimensi fungsional, saya menambahkan karakteristik kedua eco-city, yaitu kota yang manusiawi (humane city ) dalam dimensi etisnya. Dimensi ini sangat penting karena berkaitan dengan perangkat lunak kota, yaitu para penghuninya. Salah satu karakteristik humane city adalah kehadiran kepemimpinan, institusi, dan kebijakan yang mampu bekerja secara kolaboratif dalam sebuah sistem untuk menciptakan dan mengejawantahkan kesejahteraan manusia, satwa, serta lingkungan secara berkelanjutan.

Secara etis, kota yang manusiawi memiliki kohesi sosial kuat dan memperhatikan kesejahteraan satwa. Isu satwa memang menjadi perhatian besar karena sejak awal konsep kota manusiawi dirintis untuk meningkatkan kesejahteraan satwa (animal welfare). Pelarangan segala jenis eksploitasi dan atraksi adu binatang, mengembangkan toleransi dan solidaritas sosial, penghormatan atas hak asasi manusia, serta kebijakan yang memberdayakan kelompok paling rentan adalah sebagian kecil dari upaya menciptakan kota yang lebih manusiawi.

Ibu kota baru di Kalimantan Timur memiliki kompleksitasnya sendiri, karena adanya kebutuhan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dan pemerintah daerah yang bermukim di sana. Kesuksesan rencana sebesar ini pada umumnya didahului diskursus yang terbuka dan luas, dengan tetap menyisakan ruang-ruang improvisasi kota di masa depan. Jangan sampai ibu kota baru ini meninggalkan parut-parut akibat luka psikis dan ekologis yang sukar diobati.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6576 seconds (0.1#10.140)