Membangun Pendidikan Responsif Gender
A
A
A
Arie Hendrawan
Guru, Penulis Lepas, Mahasiswa S-2 Ilmu Politik Undip
Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November bertujuan memberikan penghargaan terhadap para guru di Indonesia yang telah mengabdikan dirinya mendidik generasi penerus bangsa. Berbicara tentang guru, secara inheren kita juga berbicara tentang pendidikan. Guru adalah ujung tombak pendidikan nasional.
Pendidikan merupakan hak setiap orang yang menjadi tanggung jawab negara atas seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2). Akan tetapi sampai saat ini masih ada fenomena stereotip gender yang terjadi di dunia pendidikan kita, utamanya dalam lingkungan sekolah.
Pada buku-buku teks pelajaran di sekolah dasar (SD) misalnya, aktivitas antara ayah dan ibu sering kali digambarkan secara berbeda. Seorang ayah diilustrasikan memiliki peran yang lebih dominan seperti bekerja dan pergi ke kantor.
Sementara ibu biasanya digambarkan hanya punya peran domestik seperti memasak dan membersihkan rumah. Di samping itu pada buku-buku pelajaran juga kerap disajikan kegiatan anak laki-laki yang aktif, sedangkan anak perempuan cenderung pasif.
Visualisasi demikian sebenarnya mengandung apa yang oleh Pierre Bourdieu (2014) sebut sebagai la violence symbolique (kekerasan simbolis). Ide dasarnya terletak pada upaya aktor sosial dominan untuk menerapkan makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasi ke aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah. Pada konteks ini kekerasan simbolis beroperasi melalui bahasa, simbol, dan representasi yang menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Ketertinggalan Perempuan
Kurikulum pendidikan seperti di atas adalah ekstensifikasi dari stereotip gender yang nyata dan berlangsung di tengah masyarakat. Implikasi dari model kurikulum tersebut mengindikasikan adanya "pembakuan" peran sosial antara kaum perempuan dan laki-laki. Imbasnya muncul segregasi bahwa jurusan pendidikan yang dinilai pantas bagi perempuan hanyalah jurusan-jurusan yang bersifat melayani orang. Sementara laki-laki berhak mendapatkan privilege untuk memilih jurusan teknis.
Kondisi tersebut membuat pendidikan dan kompetensi perempuan umumnya lebih rendah daripada laki-laki dan menyebabkan mereka tertinggal dalam berbagai hal. Dengan kualifikasi pendidikan yang minim, tidak banyak pekerjaan yang dapat dilakukan, selain menjadi pembantu rumah tangga, tenaga kerja wanita, buruh, serta pekerjaan berupah rendah lainnya. Pada akhirnya hal itu akan mengancam role perempuan sebagai "rahim peradaban"—yang juga berarti mengancam masa depan bangsa dan negara.
Sebenarnya Indonesia sudah sejak lama meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau "CEDAW" melalui UU No 7 Tahun 1984. Dalam Pasal 10 CEDAW tentang kesetaraan pada bidang pendidikan, ditetapkan bahwa negara-negara peserta, termasuk Indonesia, wajib mengambil upaya yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu dilakukan guna mendorong pemenuhan hak perempuan yang setara dengan laki-laki di semua pendidikan.
Akan tetapi implementasinya di lapangan belum maksimal dalam mereduksi stereotip dan meningkatkan kualitas keadilan gender. Begitu pula dengan peraturan turunannya, yakni Inpres No 9 Tahun 2009 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional yang kemudian menjadi salah satu konsiderans bagi Permendiknas No 84 Tahun 2008 mengenai Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan. Tidak banyak insan pendidikan yang mengetahui, apalagi melaksanakan.
Komitmen Berbagai Pihak
Untuk membangun pendidikan yang responsif gender diperlukan komitmen teguh dari berbagai pihak. Pertama , pemerintah dapat menginisiasi kebijakan afirmasi pada bidang pendidikan. Seperti diketahui, aktor-aktor pembuat kebijakan pendidikan saat ini, mulai dari kepala dinas sampai kepala sekolah, masih didominasi laki-laki. Alhasil ketimpangan gender itu memunculkan kebijakan pendidikan yang tidak merepresentasikan kepentingan perempuan.
Kedua , pemerintah dapat mengevaluasi kurikulum dan muatan pembelajaran yang masih bias gender. Hal itu dilakukan misalnya dengan memberikan kesempatan yang "proporsional" kepada para perempuan untuk menjadi tim penyusun kurikulum dan penulis dari buku-buku pelajaran yang masih didominasi laki-laki. Selanjutnya pemerintah juga perlu mendorong Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan agar mampu memenuhi kualifikasi calon guru yang memiliki sensitivitas gender.
Ketiga , institusi pendidikan (sekolah) harus aktif dalam menyampaikan pemahaman terhadap seluruh stakeholders sekolah, mulai dari komite, guru, karyawan hingga murid tentang nilai-nilai antidiskriminasi gender. Di sini guru memiliki peran yang strategis untuk menjalin komunikasi intensif dengan wali murid agar lebih menghormati hak-hak individu dari perempuan. Hal itu juga sekaligus menjadi langkah awal guna mentransfer nilai-nilai ekualitas gender kepada masyarakat.
Bagi masyarakat kita, gender sering disalahpahami sebagai kodrat. Padahal sejatinya gender adalah produk dari konstruksi sosial dan budaya. Berbeda dengan jenis kelamin yang sifatnya kodrati. Membangun pendidikan responsif gender berarti membongkar tafsir lama mengenai budaya patriarki. Dengan begitu masyarakat kita akan menjadi lebih bijaksana dalam meletakkan disparitas kondisi perempuan dan laki-laki pada konteks sosial, budaya, atau biologis di berbagai sendi kehidupan.
Guru, Penulis Lepas, Mahasiswa S-2 Ilmu Politik Undip
Hari Guru Nasional yang diperingati setiap 25 November bertujuan memberikan penghargaan terhadap para guru di Indonesia yang telah mengabdikan dirinya mendidik generasi penerus bangsa. Berbicara tentang guru, secara inheren kita juga berbicara tentang pendidikan. Guru adalah ujung tombak pendidikan nasional.
Pendidikan merupakan hak setiap orang yang menjadi tanggung jawab negara atas seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2). Akan tetapi sampai saat ini masih ada fenomena stereotip gender yang terjadi di dunia pendidikan kita, utamanya dalam lingkungan sekolah.
Pada buku-buku teks pelajaran di sekolah dasar (SD) misalnya, aktivitas antara ayah dan ibu sering kali digambarkan secara berbeda. Seorang ayah diilustrasikan memiliki peran yang lebih dominan seperti bekerja dan pergi ke kantor.
Sementara ibu biasanya digambarkan hanya punya peran domestik seperti memasak dan membersihkan rumah. Di samping itu pada buku-buku pelajaran juga kerap disajikan kegiatan anak laki-laki yang aktif, sedangkan anak perempuan cenderung pasif.
Visualisasi demikian sebenarnya mengandung apa yang oleh Pierre Bourdieu (2014) sebut sebagai la violence symbolique (kekerasan simbolis). Ide dasarnya terletak pada upaya aktor sosial dominan untuk menerapkan makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasi ke aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah. Pada konteks ini kekerasan simbolis beroperasi melalui bahasa, simbol, dan representasi yang menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Ketertinggalan Perempuan
Kurikulum pendidikan seperti di atas adalah ekstensifikasi dari stereotip gender yang nyata dan berlangsung di tengah masyarakat. Implikasi dari model kurikulum tersebut mengindikasikan adanya "pembakuan" peran sosial antara kaum perempuan dan laki-laki. Imbasnya muncul segregasi bahwa jurusan pendidikan yang dinilai pantas bagi perempuan hanyalah jurusan-jurusan yang bersifat melayani orang. Sementara laki-laki berhak mendapatkan privilege untuk memilih jurusan teknis.
Kondisi tersebut membuat pendidikan dan kompetensi perempuan umumnya lebih rendah daripada laki-laki dan menyebabkan mereka tertinggal dalam berbagai hal. Dengan kualifikasi pendidikan yang minim, tidak banyak pekerjaan yang dapat dilakukan, selain menjadi pembantu rumah tangga, tenaga kerja wanita, buruh, serta pekerjaan berupah rendah lainnya. Pada akhirnya hal itu akan mengancam role perempuan sebagai "rahim peradaban"—yang juga berarti mengancam masa depan bangsa dan negara.
Sebenarnya Indonesia sudah sejak lama meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau "CEDAW" melalui UU No 7 Tahun 1984. Dalam Pasal 10 CEDAW tentang kesetaraan pada bidang pendidikan, ditetapkan bahwa negara-negara peserta, termasuk Indonesia, wajib mengambil upaya yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu dilakukan guna mendorong pemenuhan hak perempuan yang setara dengan laki-laki di semua pendidikan.
Akan tetapi implementasinya di lapangan belum maksimal dalam mereduksi stereotip dan meningkatkan kualitas keadilan gender. Begitu pula dengan peraturan turunannya, yakni Inpres No 9 Tahun 2009 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional yang kemudian menjadi salah satu konsiderans bagi Permendiknas No 84 Tahun 2008 mengenai Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan. Tidak banyak insan pendidikan yang mengetahui, apalagi melaksanakan.
Komitmen Berbagai Pihak
Untuk membangun pendidikan yang responsif gender diperlukan komitmen teguh dari berbagai pihak. Pertama , pemerintah dapat menginisiasi kebijakan afirmasi pada bidang pendidikan. Seperti diketahui, aktor-aktor pembuat kebijakan pendidikan saat ini, mulai dari kepala dinas sampai kepala sekolah, masih didominasi laki-laki. Alhasil ketimpangan gender itu memunculkan kebijakan pendidikan yang tidak merepresentasikan kepentingan perempuan.
Kedua , pemerintah dapat mengevaluasi kurikulum dan muatan pembelajaran yang masih bias gender. Hal itu dilakukan misalnya dengan memberikan kesempatan yang "proporsional" kepada para perempuan untuk menjadi tim penyusun kurikulum dan penulis dari buku-buku pelajaran yang masih didominasi laki-laki. Selanjutnya pemerintah juga perlu mendorong Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan agar mampu memenuhi kualifikasi calon guru yang memiliki sensitivitas gender.
Ketiga , institusi pendidikan (sekolah) harus aktif dalam menyampaikan pemahaman terhadap seluruh stakeholders sekolah, mulai dari komite, guru, karyawan hingga murid tentang nilai-nilai antidiskriminasi gender. Di sini guru memiliki peran yang strategis untuk menjalin komunikasi intensif dengan wali murid agar lebih menghormati hak-hak individu dari perempuan. Hal itu juga sekaligus menjadi langkah awal guna mentransfer nilai-nilai ekualitas gender kepada masyarakat.
Bagi masyarakat kita, gender sering disalahpahami sebagai kodrat. Padahal sejatinya gender adalah produk dari konstruksi sosial dan budaya. Berbeda dengan jenis kelamin yang sifatnya kodrati. Membangun pendidikan responsif gender berarti membongkar tafsir lama mengenai budaya patriarki. Dengan begitu masyarakat kita akan menjadi lebih bijaksana dalam meletakkan disparitas kondisi perempuan dan laki-laki pada konteks sosial, budaya, atau biologis di berbagai sendi kehidupan.
(zil)