Perlukah Mengubah Masa Jabatan Presiden?
A
A
A
A Ahsin Thohari
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
GAGASAN perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden (wapres) kembali menyembul ke ruang wacana ketatanegaraan kita. Padahal, dari segi urgensi, gagasan ini tidak cukup memiliki justifikasi karena kita telah menerima dan menjalani ketentuan pembatasan masa jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode atau 10 tahun sejak lebih dari 20 tahun lalu tanpa riak politik yang berarti.
Setidaknya terdapat empat kelompok pendapat yang berkembang saat ini. Pertama , presiden dan wapres memegang jabatan maksimal dua periode dengan durasi masing-masing lima tahun seperti yang belaku saat ini. Kedua , presiden dan wapres memegang jabatan maksimal tiga periode dengan durasi masing-masing lima tahun. Ketiga , presiden dan wapres memegang jabatan hanya untuk satu periode, namun durasinya diperpanjang menjadi enam hingga tujuh tahun. Keempat , presiden dan wapres boleh memegang jabatan lebih dari satu periode yang berdurasi lima tahun asal tidak berturut-turut.
Otentisitas Dalil
Empat kelompok pendapat itu tidak ada yang salah jika kita meyakini bahwa konstitusi yang ditetapkan dalam suatu negara adalah hasil kesepakatan politik di antara para pembentuknya. Apalagi jika kita berpegang pada ungkapan salah satu pendiri Amerika Serikat, Thomas Jefferson:" No society can make a perpetual constitution, or even a perpetual law ." Tidak ada masyarakat yang dapat membuat konstitusi yang kekal, atau bahkan undang-undang yang kekal.
Oleh karena itu, setiap gagasan untuk mengubah konstitusi harus diletakkan sebagai bagian dari kesadaran akan kefanaan konstitusi itu sendiri yang mungkin dalam suatu waktu dianggap sebagai reka cipta yang ideal, namun di waktu lain dirasakan kekurangan-kekurangannya. Meskipun demikian, kemauan politik untuk mengubah konstitusi harus berlandaskan kehendak rakyat untuk menuju kemaslahatan umum dalam bernegara. Maka, otentisitas dalil mengapa sebuah ketentuan pasal dalam konstitusi harus diubah mesti tersaji secara argumentatif dan harus teruji kesahihannya.
Sebagai contoh, Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil perubahan pertama pada 19 Oktober 1999 yang menyatakan, "Presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Ketentuan ini mengeksplisitkan pembatasan jabatan maksimal hanya dua periode bagi presiden dan wapres untuk dapat bertakhta di singgasana kepresidenan sekaligus memperbaiki ambiguitas redaksional asli pasal ini: "Presiden dan wapres memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Seperti diketahui, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan pertama itu sejatinya diambil dari ketentuan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wapres RI yang ingin membatasi masa jabatan presiden dan wapres sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998. Ketetapan ini lahir kurang dari enam bulan setelah mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Berdasarkan keterangan resmi MPR yang terekam dalam buku Panduan dalam Memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 (Setjen MPR, 2003), perubahan Pasal 7 UUD 1945 itu dilatarbelakangi oleh praktik ketatanegaraan kita selama berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah mengalami pergantian presiden karena ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa seorang presiden dapat menjabat berkali-kali.
Maka, atas dasar praktik ketatanegaraan yang tidak sesuai dengan spirit demokrasi yang meniscayakan sirkulasi elite secara berkala, diubahlah pasal tersebut. Dengan penjelasan itu, keinginan kelompok pendapat kedua (presiden dan wapres memegang jabatan maksimal tiga periode dengan durasi masing-masing lima tahun) dan pendapat keempat (presiden dan wapres boleh memegang jabatan lebih dari satu periode yang berdurasi lima tahun asal tidak berturut-turut) kontradiktif dengan spirit demokrasi sesuai tuntutan reformasi yang meniscayakan sirkulasi elite secara berkala sebagaimana diusung saat Pasal 7 UUD 1945 ketentuan asli itu diubah.
Fundamen Republikanisme
Berdasarkan uraian di atas, praktik ketatanegaraan kita telah membentuk dan memapankan "asas menentang periode ketiga" (the anti-third term principle) sekaligus mengukuhkan "tradisi dua periode" (two-term tradition) . Artinya, periode ketiga bagi seorang presiden dan wapres adalah hal terlarang karena bertentangan dengan fundamen republikanisme yang mengharuskan ada pembatasan masa jabatan untuk membedakannya secara diametral dengan monarki.
Atas dasar inilah, dibangun two-term tradition karena dua periode diterima sebagai durasi ideal mengingat seorang presiden yang merasa berhasil pada periode pertama masih diberi kesempatan sekali lagi. Akan tetapi, tidak perlu diberi kesempatan untuk ketiga kalinya karena hal ini dapat memuluskan terjadinya potensi absolutisme kekuasaan, hal yang tentu saja tidak kompatibel dengan fundamen republikanisme.
Persoalan yang hampir serupa terjadi dalam praktik ketatanegaraan Amerika Serikat saat rakyat mengecam Presiden Theodore Roosevelt yang berkampanye untuk menjadi presiden ketiga kalinya pada 1912. Keinginan Roosevelt ini dianggap mencederai jiwa the anti-third term principle yang telah dirintis oleh George Washington, presiden pertama. Dalam konteks Indonesia, mengikatnya the anti-third term principle itu sangat kuat keberadaannya karena telah dimaktubkan dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan pertama.
Adapun kelompok pendapat ketiga (presiden dan wapres memegang jabatan hanya untuk satu periode, namun durasinya diperpanjang menjadi enam hingga tujuh tahun) tampaknya terinspirasi dari masa jabatan presiden yang berlaku di Filipina. Pasal 7 ayat (4) Konstitusi Filipina 1987 menyatakan bahwa masa jabatan presiden akan dimulai pada siang hari tanggal 30 Juni berikutnya setelah hari pemilihan umum (pemilu) dan akan berakhir pada siang hari pada tanggal yang sama enam tahun sesudahnya. Presiden petahana ( incumbent ) tidak memenuhi syarat untuk dipilih kembali meskipun tidak berturut-turut.
Ketentuan ini amat rasional khususnya jika dikaitkan dengan apa yang disebut dengan "keuntungan petahana" ( incumbency advantage ) . Secara alamiah, petahana memiliki keuntungan politik berupa popularitas dan bahkan elektabilitas yang telah ia tabung selama menjadi penguasa. Petahana juga diuntungkan karena memiliki akses yang lebih mudah untuk menjangkau dana, sumber daya, dan fasilitas pemerintah yang secara terselubung dapat digunakan untuk kampanye.
Oleh karena itu, agar terjadi kontestasi terbuka (open contest) , istilah yang dipakai untuk menyebut pemilu tanpa petahana, Filipina menentukan satu periode dengan durasi enam tahun saja untuk masa jabatan presiden. Aturan ini dianggap lebih mencerminkan keadilan pemilu karena kandidat presiden berada dalam arena tanding yang setara (a level playing field) .
Seandainya ketentuan seperti yang berlaku di Filipina ini yang kemudian dipilih oleh MPR untuk diadopsi, rasanya tidak akan sulit untuk memberikan otentisitas dalil mengapa Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan pertama harus diubah. Meskipun demikian, tampaknya arah politik MPR tidak berembus ke arah ini.
Gagasan perubahan masa jabatan presiden dan wapres ini sesungguhnya hanyalah diskursus politik yang tak penting benar dan sekadar bunga demokrasi yang kurang sedap dipandang karena ketentuan masa jabatan maksimal dua periode dengan durasi masing-masing lima tahun seperti yang belaku saat ini sudah cukup berhasil memperkuat fundamen republikanisme kita. Dengan tata kelola pemilu dan penegakan aturan pemilu yang semakin baik, kita percaya bahwa potensi akan adanya incumbency advantage yang kemudian dapat disalahgunakan oleh petahana dapat diminimalisasi.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
GAGASAN perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden (wapres) kembali menyembul ke ruang wacana ketatanegaraan kita. Padahal, dari segi urgensi, gagasan ini tidak cukup memiliki justifikasi karena kita telah menerima dan menjalani ketentuan pembatasan masa jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode atau 10 tahun sejak lebih dari 20 tahun lalu tanpa riak politik yang berarti.
Setidaknya terdapat empat kelompok pendapat yang berkembang saat ini. Pertama , presiden dan wapres memegang jabatan maksimal dua periode dengan durasi masing-masing lima tahun seperti yang belaku saat ini. Kedua , presiden dan wapres memegang jabatan maksimal tiga periode dengan durasi masing-masing lima tahun. Ketiga , presiden dan wapres memegang jabatan hanya untuk satu periode, namun durasinya diperpanjang menjadi enam hingga tujuh tahun. Keempat , presiden dan wapres boleh memegang jabatan lebih dari satu periode yang berdurasi lima tahun asal tidak berturut-turut.
Otentisitas Dalil
Empat kelompok pendapat itu tidak ada yang salah jika kita meyakini bahwa konstitusi yang ditetapkan dalam suatu negara adalah hasil kesepakatan politik di antara para pembentuknya. Apalagi jika kita berpegang pada ungkapan salah satu pendiri Amerika Serikat, Thomas Jefferson:" No society can make a perpetual constitution, or even a perpetual law ." Tidak ada masyarakat yang dapat membuat konstitusi yang kekal, atau bahkan undang-undang yang kekal.
Oleh karena itu, setiap gagasan untuk mengubah konstitusi harus diletakkan sebagai bagian dari kesadaran akan kefanaan konstitusi itu sendiri yang mungkin dalam suatu waktu dianggap sebagai reka cipta yang ideal, namun di waktu lain dirasakan kekurangan-kekurangannya. Meskipun demikian, kemauan politik untuk mengubah konstitusi harus berlandaskan kehendak rakyat untuk menuju kemaslahatan umum dalam bernegara. Maka, otentisitas dalil mengapa sebuah ketentuan pasal dalam konstitusi harus diubah mesti tersaji secara argumentatif dan harus teruji kesahihannya.
Sebagai contoh, Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil perubahan pertama pada 19 Oktober 1999 yang menyatakan, "Presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Ketentuan ini mengeksplisitkan pembatasan jabatan maksimal hanya dua periode bagi presiden dan wapres untuk dapat bertakhta di singgasana kepresidenan sekaligus memperbaiki ambiguitas redaksional asli pasal ini: "Presiden dan wapres memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Seperti diketahui, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan pertama itu sejatinya diambil dari ketentuan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wapres RI yang ingin membatasi masa jabatan presiden dan wapres sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998. Ketetapan ini lahir kurang dari enam bulan setelah mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Berdasarkan keterangan resmi MPR yang terekam dalam buku Panduan dalam Memasyarakatkan UUD NRI Tahun 1945 (Setjen MPR, 2003), perubahan Pasal 7 UUD 1945 itu dilatarbelakangi oleh praktik ketatanegaraan kita selama berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah mengalami pergantian presiden karena ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa seorang presiden dapat menjabat berkali-kali.
Maka, atas dasar praktik ketatanegaraan yang tidak sesuai dengan spirit demokrasi yang meniscayakan sirkulasi elite secara berkala, diubahlah pasal tersebut. Dengan penjelasan itu, keinginan kelompok pendapat kedua (presiden dan wapres memegang jabatan maksimal tiga periode dengan durasi masing-masing lima tahun) dan pendapat keempat (presiden dan wapres boleh memegang jabatan lebih dari satu periode yang berdurasi lima tahun asal tidak berturut-turut) kontradiktif dengan spirit demokrasi sesuai tuntutan reformasi yang meniscayakan sirkulasi elite secara berkala sebagaimana diusung saat Pasal 7 UUD 1945 ketentuan asli itu diubah.
Fundamen Republikanisme
Berdasarkan uraian di atas, praktik ketatanegaraan kita telah membentuk dan memapankan "asas menentang periode ketiga" (the anti-third term principle) sekaligus mengukuhkan "tradisi dua periode" (two-term tradition) . Artinya, periode ketiga bagi seorang presiden dan wapres adalah hal terlarang karena bertentangan dengan fundamen republikanisme yang mengharuskan ada pembatasan masa jabatan untuk membedakannya secara diametral dengan monarki.
Atas dasar inilah, dibangun two-term tradition karena dua periode diterima sebagai durasi ideal mengingat seorang presiden yang merasa berhasil pada periode pertama masih diberi kesempatan sekali lagi. Akan tetapi, tidak perlu diberi kesempatan untuk ketiga kalinya karena hal ini dapat memuluskan terjadinya potensi absolutisme kekuasaan, hal yang tentu saja tidak kompatibel dengan fundamen republikanisme.
Persoalan yang hampir serupa terjadi dalam praktik ketatanegaraan Amerika Serikat saat rakyat mengecam Presiden Theodore Roosevelt yang berkampanye untuk menjadi presiden ketiga kalinya pada 1912. Keinginan Roosevelt ini dianggap mencederai jiwa the anti-third term principle yang telah dirintis oleh George Washington, presiden pertama. Dalam konteks Indonesia, mengikatnya the anti-third term principle itu sangat kuat keberadaannya karena telah dimaktubkan dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan pertama.
Adapun kelompok pendapat ketiga (presiden dan wapres memegang jabatan hanya untuk satu periode, namun durasinya diperpanjang menjadi enam hingga tujuh tahun) tampaknya terinspirasi dari masa jabatan presiden yang berlaku di Filipina. Pasal 7 ayat (4) Konstitusi Filipina 1987 menyatakan bahwa masa jabatan presiden akan dimulai pada siang hari tanggal 30 Juni berikutnya setelah hari pemilihan umum (pemilu) dan akan berakhir pada siang hari pada tanggal yang sama enam tahun sesudahnya. Presiden petahana ( incumbent ) tidak memenuhi syarat untuk dipilih kembali meskipun tidak berturut-turut.
Ketentuan ini amat rasional khususnya jika dikaitkan dengan apa yang disebut dengan "keuntungan petahana" ( incumbency advantage ) . Secara alamiah, petahana memiliki keuntungan politik berupa popularitas dan bahkan elektabilitas yang telah ia tabung selama menjadi penguasa. Petahana juga diuntungkan karena memiliki akses yang lebih mudah untuk menjangkau dana, sumber daya, dan fasilitas pemerintah yang secara terselubung dapat digunakan untuk kampanye.
Oleh karena itu, agar terjadi kontestasi terbuka (open contest) , istilah yang dipakai untuk menyebut pemilu tanpa petahana, Filipina menentukan satu periode dengan durasi enam tahun saja untuk masa jabatan presiden. Aturan ini dianggap lebih mencerminkan keadilan pemilu karena kandidat presiden berada dalam arena tanding yang setara (a level playing field) .
Seandainya ketentuan seperti yang berlaku di Filipina ini yang kemudian dipilih oleh MPR untuk diadopsi, rasanya tidak akan sulit untuk memberikan otentisitas dalil mengapa Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan pertama harus diubah. Meskipun demikian, tampaknya arah politik MPR tidak berembus ke arah ini.
Gagasan perubahan masa jabatan presiden dan wapres ini sesungguhnya hanyalah diskursus politik yang tak penting benar dan sekadar bunga demokrasi yang kurang sedap dipandang karena ketentuan masa jabatan maksimal dua periode dengan durasi masing-masing lima tahun seperti yang belaku saat ini sudah cukup berhasil memperkuat fundamen republikanisme kita. Dengan tata kelola pemilu dan penegakan aturan pemilu yang semakin baik, kita percaya bahwa potensi akan adanya incumbency advantage yang kemudian dapat disalahgunakan oleh petahana dapat diminimalisasi.
(pur)