PPP Kritisi Wacana Menag Sertifikasi Majelis Taklim

Senin, 02 Desember 2019 - 19:03 WIB
PPP Kritisi Wacana Menag...
PPP Kritisi Wacana Menag Sertifikasi Majelis Taklim
A A A
JAKARTA - Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) menyayangkan kebijakan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi soal sertifikasi majelis taklim dalam Peraturan Menag Nomor 29/2019.

PPP melihat, Menag inkonsisten dalam membuat kebijakan, kadang longgar seperti rekomendasi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) dan kadang ketat sebagaimana soal majelis taklim ini.

"PPP menyayangkan itu dan Komisi VIII kami tugaskan untuk bertanya kepada Menag maksud tujuannya apa," kata Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2019).

"Majelis Taklim yang seperti apa. Apakah majelis taklim seperti yang tayang-tayang di media seperti Mamah Dedeh itu harus izin. Termasuk juga majelis taklim yang sifatnya insidental," tambahnya.

Pria yang akrab disapa Awiek ini menguraikan, jenis majelis taklim itu beragam, seperti di kampung-kampung itu acara arisan tingkat RT tetapi di dalamnya ada ceramah-ceramah, memang ini bukan majelis taklim tapi fungsinya seperti majelis taklim.

Karena itu Awiek mengingatkan, agar Menag berhati-hati dalam membuat peraturan. Khususnya, terkait isu-isu yang bersifat sensitif. Bahkan ia menilai, Menag seringkali bersikap standar ganda.

"Karena Menag ini kadang standar ganda. Kadang longgar kadang ketat. Contoh bagaimana misalkan sikap kepada FPI, berbeda dengan Mendagri. Untuk majelis taklim justru ketat, seperti itu jadi perlu hati-hati, dan perlu dijelaskan kepada publik," pintanya.

Menurut Awiek, kebijakan Menag yang kontroversial itu pada akhirnya akan merugikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena Jokowi yang selalu disalahkan oleh publik.

"Kenapa? Karena yang salah itu selalu Jokowi. Di publik itu yang salah selalu Jokowi. Kasihan presiden kalau selalu membuat kebijakan yang selalu kontroversi," ujar Awiek.

Awiek mengaku, pihaknya sudah mengingatkan Menag secara informal agar sebelum membuat peraturan minimal didengar dulu komunitas masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan itu. Contohnya, kalau ingin membuat aturan tengang majelis taklim di mana banyak ormas yang menaungi, maka mereka diajak berdiskusi terlebih dulu.

"Ya diajak diskusi dulu. Aturan yang mengatur ini konteksnya seprti apa, jangan dia tiba-tiba diatur, kan kaget semua. Tiba-tiba tanpa ngomong, ba-bi-bu langsung diatur," tuturnya.

Soal Menag dinilai tidak mengerti agama, Dia yakin bahwa Menag pasti mengerti soal agama karena dia berasal dari Aceh. Tapi, dia menduga bahwa Menag terbawa pengaruh dari jabatan sebelumnya sebagai Wakil Panglima TNI.

Tetapi, Menag harus ingat bahwa saat ini dia memimpin jabatan sipil, bukan militer yang mana saat kebijakan dikeluarkan maka semuanya akan ikut. "Jadi kalau militer boleh saja keluarkan surat, semua ikut. Tapi kalau sipil tidak," jelasnya.

"Didialogkan dulu, dikomunikasikan dulu supaya tidak terjadi salah paham, pembelokan makna. Bisa jadi niatnya baik tapi karena ditanggapi tidak tepat pada waktu dan tempatnya itu menjadi blunder," tandasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9103 seconds (0.1#10.140)