Pemuda Kota, Kreativitas, dan Perubahan
A
A
A
Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta,Sekjen Asosiasi P2MI, Ketua Program S-2 Komunikasi Penyiaran Islam
BEBERAPA hari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik 13 staf khusus yang tujuh di antaranya digadang-gadang mewakili kaum milenial Indonesia yang menurut Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman berjumlah kurang lebih 100 juta orang. Staf khusus ini tentu memiliki sejumlah pekerjaan rumah penting mengingat sejarah bangsa ini beberapa kali membuktikan bahwa kaum muda adalah penanda sejarah perubahan.
Pada 1928 atau 11 dekade lalu sekelompok pemuda menyelenggarakan Kongres Pemuda II yang berlangsung dua hari, 27-28 Oktober 1928, di Batavia atau Jakarta. Pekik sumpah mereka kemudian bergema melampaui zaman, bahkan terus mengumandang sampai hari ini. Pemilihan Kota Batavia saat itu tentu sudah mempertimbangkan beragam aspek: sosial, komunikasi, politik, dan budaya.
Kota yang menjadi penanda bagaimana para pemuda itu bermunajat untuk membebaskan bangsanya, kelak menjadi simpul perubahan paling signifikan di negeri ini. Pemuda bergerak sesuai zamannya. Selain tujuh staf khusus usia milenial tersebut, banyak juga pemuda lain yang tidak kalah prestasinya.
Sebut saja Nadiem Makarim (yang kemudian didapuk menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan), Ferry Unardi, Achmad Zaky, Wiliam Tanuwijaya, Diaheng Lestari, Leontinus Alpha Edison, dan Andrem Darwis adalah di antara rentetan pemuda kota yang dengan cara berpikirnya mampu mengukuhkan eksistensinya.
Mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya melakukan tindakan bermakna yang sejatinya memang menjadi domain pemuda: mendobrak kebekuan kreatif di tengah situasi yang mapan. Mereka seperti sedang mengumandangkan ulang pekik Sumpah Pemuda dengan cara kekinian, yang memang sedang dibutuhkan masyarakat, serta meletakkannya sebagai fondasi masa depan.
Namun, tidak sedikit para pemuda itu yang mengelola anugerah kepemudaan itu dengan cara-cara yang lama—hanya karena rezim orang tua yang memang sudah mempersiapkan segalanya atau membingkainya terlalu ketat. Mereka menjalani sejarah kehidupannya begitu linier: lahir, sekolah, kerja, selesai.
Alhasil, sumber daya kreatif yang terpendam dalam dirinya, alih-alih termuntahkan dan menjadi “sesuatu”, justru bisa dikatakan terbuang. Bahkan sebagiannya berubah menjadi energi negatif seperti keluh kesah dan nyinyir yang dituangkan dalam media sosial atau platform lainnya.
Model lain dari pemuda kota hari ini adalah yang melakukan tindakan kreatif, namun tidak kreatif. Tindakan kreatif sejatinya menunjukkan bagaimana terobosan dilakukan oleh mereka. Tetapi, hal ini belum terjadi atau berlaku kepada mereka.
Mereka baru mendefinisikan kreativitas sebatas kemauan untuk mengadakan beragam event yang kemudian mengasah mental di jalanan. Membawa kardus dan mencoba "peruntungan" dari belas kasih orang-orang. Benar bahwa tidak mudah melakukan ini, selain butuh keberanian dan mental. Namun, tetap saja, apa yang dilakukan ini jauh dari kelas dan kualitas yang seharusnya ditampilkan kaum muda.
Cara Berpikir Pemuda Kota
Pertama, kota hari ini tidak bisa dipandang dalam kacamata yang sempit. Seperti area di mana simbol-simbol kemajuan melekat pada visualisasinya. Kota hari ini harus didekati dengan perspektif yang kompleks. Kompleksitas itu menghasilkan pendekatan multi dan interdisiplin.
Satu permasalahan kota tidak bisa dipilah dan dipilih menggunakan satu “pisau” analisis. Agaknya ini juga yang menjadikan Presiden Jokowi memilih staf khusus milenial, yang meski muda, tetapi memiliki cara pandang yang “serbamulti” dan “inter” ini.
Kedua, selain cara pandang dan pendekatan yang kaya perspektif, cara berpikir kota juga mendasarkan diri pada suatu telaah yang mampu memilah dan memilih aspek dan dampak keberlakuannya. Pemilahan dampak jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang misalnya merupakan kekuatan dari argumentasi mereka ketika akan melakukan satu aksi.
Penghitungan ragam dampak pada setiap fase menandakan bahwa visi mereka atas suatu tindakan dilatari oleh berbagai pertimbangan yang rasional, matang, kalkulatif, dan tentu saja mempertimbangkan dampak masa depannya. Mengapa? Karena, kaum muda ini sesungguhnya ada tidak hanya pada masa kini, tetapi justru di masa mendatang.
Ketiga, mendobrak kebekuan. Cara berpikir ini, meski tidak tunggal khas kota, tetapi lebih banyak dihasilkan oleh ruang dan sistem kota. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kota mendesain dirinya untuk dinikmati mereka yang berada pada kelas menengah atas. Namun, justru pada kelas itu juga sebenarnya beban peradaban kota disandarkan.
Oleh karena mereka inilah yang mendedikasikan diri untuk terus menelisik, mencari, dan mengalokasikan sumber daya untuk menghasilkan berbagai perubahan. Ketidakpuasan mereka atas sesuatu yang sifatnya mapan dikarenakan ruang yang tersedia dalam kota selalu bersifat kompetitif, antimapan, dan memproyeksikan beragama kualitas kebaruan.
Keempat, berdasarkan objektivisme ilmu pengetahuan. Model pemikiran kota ini disangga oleh kekuatan ilmu pengetahuan pelakunya. Detail, intens, dan menggunakan rasionalitas yang dikontekstualkan dengan zaman menjadi ciri utama kota. Para milenial yang menjadi staf Presiden Jokowi adalah sekelompok orang yang menggunakan kekayaan dan kekuatan ilmu pengetahuan untuk mengelola, menemukan, dan mendesain zamannya.
Hal ini sama semangatnya dengan para pemuda yang mengemukakan sebuah sumpah yang energinya membahana ke Nusantara. Kelima, berangkat dari penyelesaian masalah. Cara berpikir kota lainnya adalah dengan menelaah, memahami, dan mengelola masalah menjadi energi untuk melakukan perubahan.
Kita bisa mengingat kembali, bahkan satu di antara alasan kehadiran ojek online (daring) adalah permasalahan. Masalah yang kerap didapati oleh pengguna jasa ojek pangkalan yang jauh dari rumah/ tempat menunggu. Begitu juga kehadiran toko daring.
Karena kesibukan dari mereka yang membutuhkan sesuatu sehingga dijembatani oleh adanya aplikasi yang memudahkan. Jadi, masalah bagi tata cara berpikir kota itu adalah variabel yang membuat mereka tidak lelah untuk terus menelisik ihwal yang tadinya dianggap kecil menjadi besar karena bisa diselesaikan.
Pemuda kota kreatif adalah tumpuan zaman sebab selain mereka adalah nakhoda, mereka juga kapten kapal zaman. Peta jalan yang dihadapi oleh kita semua hari ini jelas sekali berbeda dengan perjalanan kemarin, apalagi masa lalu. Energi muda dengan cara berpikirnya itu yang kita harapkan agar dalam proses perjalanan zaman ini semua kita bisa menikmatinya.
Ini juga tantangan mereka yang mengelilingi presiden hari ini bahwa mereka bukan pajangan. Bahwa kemudian ada dinamika, kadang tercengang, terkagum-kagum, atau malah juga membuat cemas dan deg-degan, itulah indahnya perjalanan mengarungi semesta ini.
Sementara orang-orang tua, yang memiliki kebudayaan dan kejayaan masa lalu, dibutuhkan untuk memandu perjalanan itu dengan segala kebijaksanaannya. Sebab, perpaduan kebijaksanaan dan energi muda itu yang kita semua harapkan untuk melabuhkan kapal Indonesia ini di dermaga peradaban.
Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta,Sekjen Asosiasi P2MI, Ketua Program S-2 Komunikasi Penyiaran Islam
BEBERAPA hari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik 13 staf khusus yang tujuh di antaranya digadang-gadang mewakili kaum milenial Indonesia yang menurut Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman berjumlah kurang lebih 100 juta orang. Staf khusus ini tentu memiliki sejumlah pekerjaan rumah penting mengingat sejarah bangsa ini beberapa kali membuktikan bahwa kaum muda adalah penanda sejarah perubahan.
Pada 1928 atau 11 dekade lalu sekelompok pemuda menyelenggarakan Kongres Pemuda II yang berlangsung dua hari, 27-28 Oktober 1928, di Batavia atau Jakarta. Pekik sumpah mereka kemudian bergema melampaui zaman, bahkan terus mengumandang sampai hari ini. Pemilihan Kota Batavia saat itu tentu sudah mempertimbangkan beragam aspek: sosial, komunikasi, politik, dan budaya.
Kota yang menjadi penanda bagaimana para pemuda itu bermunajat untuk membebaskan bangsanya, kelak menjadi simpul perubahan paling signifikan di negeri ini. Pemuda bergerak sesuai zamannya. Selain tujuh staf khusus usia milenial tersebut, banyak juga pemuda lain yang tidak kalah prestasinya.
Sebut saja Nadiem Makarim (yang kemudian didapuk menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan), Ferry Unardi, Achmad Zaky, Wiliam Tanuwijaya, Diaheng Lestari, Leontinus Alpha Edison, dan Andrem Darwis adalah di antara rentetan pemuda kota yang dengan cara berpikirnya mampu mengukuhkan eksistensinya.
Mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya melakukan tindakan bermakna yang sejatinya memang menjadi domain pemuda: mendobrak kebekuan kreatif di tengah situasi yang mapan. Mereka seperti sedang mengumandangkan ulang pekik Sumpah Pemuda dengan cara kekinian, yang memang sedang dibutuhkan masyarakat, serta meletakkannya sebagai fondasi masa depan.
Namun, tidak sedikit para pemuda itu yang mengelola anugerah kepemudaan itu dengan cara-cara yang lama—hanya karena rezim orang tua yang memang sudah mempersiapkan segalanya atau membingkainya terlalu ketat. Mereka menjalani sejarah kehidupannya begitu linier: lahir, sekolah, kerja, selesai.
Alhasil, sumber daya kreatif yang terpendam dalam dirinya, alih-alih termuntahkan dan menjadi “sesuatu”, justru bisa dikatakan terbuang. Bahkan sebagiannya berubah menjadi energi negatif seperti keluh kesah dan nyinyir yang dituangkan dalam media sosial atau platform lainnya.
Model lain dari pemuda kota hari ini adalah yang melakukan tindakan kreatif, namun tidak kreatif. Tindakan kreatif sejatinya menunjukkan bagaimana terobosan dilakukan oleh mereka. Tetapi, hal ini belum terjadi atau berlaku kepada mereka.
Mereka baru mendefinisikan kreativitas sebatas kemauan untuk mengadakan beragam event yang kemudian mengasah mental di jalanan. Membawa kardus dan mencoba "peruntungan" dari belas kasih orang-orang. Benar bahwa tidak mudah melakukan ini, selain butuh keberanian dan mental. Namun, tetap saja, apa yang dilakukan ini jauh dari kelas dan kualitas yang seharusnya ditampilkan kaum muda.
Cara Berpikir Pemuda Kota
Pertama, kota hari ini tidak bisa dipandang dalam kacamata yang sempit. Seperti area di mana simbol-simbol kemajuan melekat pada visualisasinya. Kota hari ini harus didekati dengan perspektif yang kompleks. Kompleksitas itu menghasilkan pendekatan multi dan interdisiplin.
Satu permasalahan kota tidak bisa dipilah dan dipilih menggunakan satu “pisau” analisis. Agaknya ini juga yang menjadikan Presiden Jokowi memilih staf khusus milenial, yang meski muda, tetapi memiliki cara pandang yang “serbamulti” dan “inter” ini.
Kedua, selain cara pandang dan pendekatan yang kaya perspektif, cara berpikir kota juga mendasarkan diri pada suatu telaah yang mampu memilah dan memilih aspek dan dampak keberlakuannya. Pemilahan dampak jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang misalnya merupakan kekuatan dari argumentasi mereka ketika akan melakukan satu aksi.
Penghitungan ragam dampak pada setiap fase menandakan bahwa visi mereka atas suatu tindakan dilatari oleh berbagai pertimbangan yang rasional, matang, kalkulatif, dan tentu saja mempertimbangkan dampak masa depannya. Mengapa? Karena, kaum muda ini sesungguhnya ada tidak hanya pada masa kini, tetapi justru di masa mendatang.
Ketiga, mendobrak kebekuan. Cara berpikir ini, meski tidak tunggal khas kota, tetapi lebih banyak dihasilkan oleh ruang dan sistem kota. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kota mendesain dirinya untuk dinikmati mereka yang berada pada kelas menengah atas. Namun, justru pada kelas itu juga sebenarnya beban peradaban kota disandarkan.
Oleh karena mereka inilah yang mendedikasikan diri untuk terus menelisik, mencari, dan mengalokasikan sumber daya untuk menghasilkan berbagai perubahan. Ketidakpuasan mereka atas sesuatu yang sifatnya mapan dikarenakan ruang yang tersedia dalam kota selalu bersifat kompetitif, antimapan, dan memproyeksikan beragama kualitas kebaruan.
Keempat, berdasarkan objektivisme ilmu pengetahuan. Model pemikiran kota ini disangga oleh kekuatan ilmu pengetahuan pelakunya. Detail, intens, dan menggunakan rasionalitas yang dikontekstualkan dengan zaman menjadi ciri utama kota. Para milenial yang menjadi staf Presiden Jokowi adalah sekelompok orang yang menggunakan kekayaan dan kekuatan ilmu pengetahuan untuk mengelola, menemukan, dan mendesain zamannya.
Hal ini sama semangatnya dengan para pemuda yang mengemukakan sebuah sumpah yang energinya membahana ke Nusantara. Kelima, berangkat dari penyelesaian masalah. Cara berpikir kota lainnya adalah dengan menelaah, memahami, dan mengelola masalah menjadi energi untuk melakukan perubahan.
Kita bisa mengingat kembali, bahkan satu di antara alasan kehadiran ojek online (daring) adalah permasalahan. Masalah yang kerap didapati oleh pengguna jasa ojek pangkalan yang jauh dari rumah/ tempat menunggu. Begitu juga kehadiran toko daring.
Karena kesibukan dari mereka yang membutuhkan sesuatu sehingga dijembatani oleh adanya aplikasi yang memudahkan. Jadi, masalah bagi tata cara berpikir kota itu adalah variabel yang membuat mereka tidak lelah untuk terus menelisik ihwal yang tadinya dianggap kecil menjadi besar karena bisa diselesaikan.
Pemuda kota kreatif adalah tumpuan zaman sebab selain mereka adalah nakhoda, mereka juga kapten kapal zaman. Peta jalan yang dihadapi oleh kita semua hari ini jelas sekali berbeda dengan perjalanan kemarin, apalagi masa lalu. Energi muda dengan cara berpikirnya itu yang kita harapkan agar dalam proses perjalanan zaman ini semua kita bisa menikmatinya.
Ini juga tantangan mereka yang mengelilingi presiden hari ini bahwa mereka bukan pajangan. Bahwa kemudian ada dinamika, kadang tercengang, terkagum-kagum, atau malah juga membuat cemas dan deg-degan, itulah indahnya perjalanan mengarungi semesta ini.
Sementara orang-orang tua, yang memiliki kebudayaan dan kejayaan masa lalu, dibutuhkan untuk memandu perjalanan itu dengan segala kebijaksanaannya. Sebab, perpaduan kebijaksanaan dan energi muda itu yang kita semua harapkan untuk melabuhkan kapal Indonesia ini di dermaga peradaban.
(maf)