Posisi Airlangga Hilangkan Peran Partai Jalankan Check and Balance Kebijakan Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Tumpang tindih kepentingan yang dapat berujung pada tidak maksimalnya pembangunan ekonomi bisa terjadi apabila Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, kemungkinan adanya tabrakan kepentingan antara aktor politik dan ekonomi sangat besar terjadi apabila Airlangga tetap menjabat posisi Golkar-1. Alasannya, posisi Airlangga di Golkar membuat parpol ini seakan kehilangan peran menjalankan check and balances pada setiap kebijakan pemerintah.
"Dampaknya, kehidupan negara dan partai tidak sehat karena parpol hanya dipakai untuk membenarkan kebijakan pemerintah," kata Ichsanuddin kepada wartawan, Rabu (27/11/2019).
Golkar dikhawatirkan akan selalu membenarkan semua kebijakan perekonomian yang dibuat Airlangga apabila partai beringin ini tetap dipimpin olehnya. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan perekonomian yang akan dan sudah dikeluarkan menjadi diragukan kualitasnya.
Padahal, menurut Ichsanuddin, ada sejumlah catatan yang saat ini sudah dimiliki Airlangga selaku Menko Perekonomian. Salah satunya muncul dari pernyataan Airlangga terkait kesiapan Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0.
Lulusan Doktor Ekonomi dari Universitas Airlangga ini mengatakan, hingga kini Indonesia sebenarnya telah dilalui revolusi industri 4.0. Menanggapi keadaan demikian, seharusnya ada lompatan kebijakan yang dibuat agar ketertinggalan Indonesia di revolusi industri 4.0 tak terlalu jauh.
" Tapi karena itu (kebijakan soal revolusi industri 4.0) diambil Airlangga, jadinya Golkar seperti kerbau dicucuk hidung atas kebijakan-kebijakan pemerintah," katanya.
Ichsanuddin juga mempertanyakan sikap Golkar yang cenderung pasif menanggapi dinamika perekonomian seperti perang mata uang dan perang dagang yang tengah terjadi. Dua hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kini.
"Contoh di bidang fiskal, Golkar juga tak bisa bicara apa-apa saat ada shortage perpajakan yang sudah mencapai Rp500 triliun lebih. Jadi hampir di semua kebijakan Golkar impoten karena rangkap jabatan tadi," katanya.
Terobosan dalam bidang ekonomi sebenarnya tengah dibutuhkan Indonesia saat ini. Apalagi, Presiden Joko Widodo telah meminta jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju bekerja maksimal untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi global tahun depan.
"Ekonomi global dalam lima tahun ini dan perkiraan-perkiraan dari lembaga-lembaga internasional, tahun depan akan menuju ke sebuah situasi yang lebih sulit, bahkan banyak yang sampaikan menuju ke sebuah resesi," ujar Jokowi di rapat terbatas penyampaian program dan kegiatan di bidang perekonomian, kantor Presiden, Jakarta, akhir Oktober lalu.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, Jokowi menekankan pentingnya ekspor dan keran investasi dibuka sebesar-besarnya. Presiden juga melihat perlu adanya pengurangan sejumlah regulasi yang selama ini menjadi penghambat.
"Regulasi-regulai di bidang perekonomian yang menghambat investasi dan ekspor, dilihat betul agar segera ditindaklanjuti apa yang telah kita rencanakan mengenai penerbitan Omnibus Law sudah mulai bulan lalu, ada 74 undang-undang (penghambat)," katanya.
Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, kemungkinan adanya tabrakan kepentingan antara aktor politik dan ekonomi sangat besar terjadi apabila Airlangga tetap menjabat posisi Golkar-1. Alasannya, posisi Airlangga di Golkar membuat parpol ini seakan kehilangan peran menjalankan check and balances pada setiap kebijakan pemerintah.
"Dampaknya, kehidupan negara dan partai tidak sehat karena parpol hanya dipakai untuk membenarkan kebijakan pemerintah," kata Ichsanuddin kepada wartawan, Rabu (27/11/2019).
Golkar dikhawatirkan akan selalu membenarkan semua kebijakan perekonomian yang dibuat Airlangga apabila partai beringin ini tetap dipimpin olehnya. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan perekonomian yang akan dan sudah dikeluarkan menjadi diragukan kualitasnya.
Padahal, menurut Ichsanuddin, ada sejumlah catatan yang saat ini sudah dimiliki Airlangga selaku Menko Perekonomian. Salah satunya muncul dari pernyataan Airlangga terkait kesiapan Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0.
Lulusan Doktor Ekonomi dari Universitas Airlangga ini mengatakan, hingga kini Indonesia sebenarnya telah dilalui revolusi industri 4.0. Menanggapi keadaan demikian, seharusnya ada lompatan kebijakan yang dibuat agar ketertinggalan Indonesia di revolusi industri 4.0 tak terlalu jauh.
" Tapi karena itu (kebijakan soal revolusi industri 4.0) diambil Airlangga, jadinya Golkar seperti kerbau dicucuk hidung atas kebijakan-kebijakan pemerintah," katanya.
Ichsanuddin juga mempertanyakan sikap Golkar yang cenderung pasif menanggapi dinamika perekonomian seperti perang mata uang dan perang dagang yang tengah terjadi. Dua hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kini.
"Contoh di bidang fiskal, Golkar juga tak bisa bicara apa-apa saat ada shortage perpajakan yang sudah mencapai Rp500 triliun lebih. Jadi hampir di semua kebijakan Golkar impoten karena rangkap jabatan tadi," katanya.
Terobosan dalam bidang ekonomi sebenarnya tengah dibutuhkan Indonesia saat ini. Apalagi, Presiden Joko Widodo telah meminta jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju bekerja maksimal untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi global tahun depan.
"Ekonomi global dalam lima tahun ini dan perkiraan-perkiraan dari lembaga-lembaga internasional, tahun depan akan menuju ke sebuah situasi yang lebih sulit, bahkan banyak yang sampaikan menuju ke sebuah resesi," ujar Jokowi di rapat terbatas penyampaian program dan kegiatan di bidang perekonomian, kantor Presiden, Jakarta, akhir Oktober lalu.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, Jokowi menekankan pentingnya ekspor dan keran investasi dibuka sebesar-besarnya. Presiden juga melihat perlu adanya pengurangan sejumlah regulasi yang selama ini menjadi penghambat.
"Regulasi-regulai di bidang perekonomian yang menghambat investasi dan ekspor, dilihat betul agar segera ditindaklanjuti apa yang telah kita rencanakan mengenai penerbitan Omnibus Law sudah mulai bulan lalu, ada 74 undang-undang (penghambat)," katanya.
(pur)