Aparat Diminta Waspadai Modus Baru Pelaku Terorisme

Kamis, 14 November 2019 - 07:30 WIB
Aparat Diminta Waspadai...
Aparat Diminta Waspadai Modus Baru Pelaku Terorisme
A A A
JAKARTA - Bom bunuh diri meledak di Mapolresta Medan, Sumatera Utara (Sumut) saat sejumlah masyarakat tengah mengurus permohonan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).

Uniknya, untuk mengelabui petugas kepolisian, pelaku bom bunuh diri mengenakan atribut ojek online. Apakah cara ini merupakan modus baru? (Baca juga: Pelaku Bom Bunuh Diri di Medan Menyamar Jadi Pemohon SKCK)

Peneliti Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan Nusantara (LKAB-Nusantara), Ade Faizal Alami menilai, bagi kelompok teror yang memiliki pandangan keagamaan ekstrem, pemerintah yang tidak menerapkan hukum Islam dicap sebagai thoghut.

Dalam hal ini, polisi dianggap sebagai representasi dari thoghut yang harus diserang. "Di antara pola serangannya adalah apa yang mereka sebut sebagai bom istisyhadiyah, bom bunuh diri," tutur Faizal kepada SINDOnews, Kamis (14/11/2019).

Faiz sapaan akrabnya menjelaskan, untuk melakukan bom bunuh diri ini, butuh proses panjang. Pemahaman radikal pelaku harus benar-benar matang. Menurutnya, bisa jadi pelaku melalui rekruitmen secara langsung atau bisa jadi hanya melalui self radicalization yang dimatangkan melalui informasi di dunia maya (internet).

Sebagai contoh, kata Faiz, pada 28 Agustus 2016, Ivan Armadi Hasugian,18, mencoba meledakkan diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. Aksi tersebut gagal, pelaku dicokok oleh polisi.

"Pemuda 18 tahun itu mengalami self radicalization yang kemudian terhubung dengan tokoh ISIS Indonesia yang ada di Suriah, Bahrun Naim," papar alumni UIN Jakarta ini.

Di antara proses bom bunuh diri tentu adalah pantauan lapangan untuk melihat situasi dan kondisi pengamanan lokasi target. Ada kemungkinan, pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Medan ini memilih menggunakan jaket ojek online sebagai modus agar tidak dicurigai polisi.

LKAB Nusantara mencatat ada sejumlah modus serangan bom bunuh diri di Mapolresta. Pertama, menjadi makmum bergabung dalam jamaah salat. Modus ini pernah dilakukan oleh Syarif, pelaku bom bunuh diri di Mapolrestas Cirebon pada 15 April 2011 silam. Dengan cara ini, pelaku mampu mengelabui polisi.

Kedua, menuju Mapolres bersama keluarga serta anaknya. Modus ini pernah terjadi saat aksi bom di pintu masuk Mapolrestabes Surabaya pada 14 Mei 2018 silam. Dua motor masuk ke Mapolrestabes Surabaya. Saat diberhentikan dan diperiksa, bom meledak. Empat pelaku yang merupakan satu keluarga, tewas di lokasi kejadian. Sementara satu orang anaknya berhasil selamat.

Sebetulnya, sambung Faiz, polisi telah menerapkan pemeriksaan bagi warga. Namun pelaku teror tidak kehabisan akal. Sejumlah serangan di markas polisi dilakukan secara cepat tanpa basa-basi modus penyamaran.

Menurut Faiz, peristiwa semacam itu pernah terjadi di Mapolresta Poso. Pada 3 Juni 2013 terjadi ledakan bom bunuh diri di Mapolres Poso. Ketika itu pelaku memacu sepeda motornya merangsek masuk ke Mapolres. Setiba di antara pos jaga dan masjid Mapolres Poso, terjadi dua kali ledakan. Tubuh pelaku dan motor yang dikendarainya hancur.

Pola serangan serupa juga terjadi di Mapolda Riau pada 16 Mei 2018, mobil Avanza putih merangsek menabrak pagar Mapolda Riau. Para pelaku teror berhasil dilumpuhkan setelah terjadi baku tembak dengan aparat kepolisian.

Dengan demikian, untuk menghindari serangan serupa, ada beberapa hal yang seyogyanya dilakukan polisi. Pertama, perbarui pola penjagaan dan pengamanan di pos pemeriksaan. Bila perlu dengan menggunakan metal detector dan piranti teknologi lainnya.

"Kedua, untuk menghindari miss persepsi masyarakat, polisi harus memberikan pemahaman kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kepolisian (seperti mengurus SKCK dan SIM) bahwa pemeriksaan yang ketat itu dilakukan untuk menjamin keamanan mereka selama proses pengurusan surat-surat atau pelayanan lainnya," katanya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8608 seconds (0.1#10.140)