Kilang Atasi Defisit Neraca Perdagangan

Rabu, 13 November 2019 - 06:32 WIB
Kilang Atasi Defisit  Neraca Perdagangan
Kilang Atasi Defisit Neraca Perdagangan
A A A
DEFISIT neraca perdagangan salah satu persoalan yang terus membuat pening kepala pengelola negeri ini. Tak heran, dalam rapat terbatas (ratas) Kabinet Indonesia Maju, dipimpin Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), yang digelar Senin (11/11), dibahas bagaimana cara menguatkan neraca perdagangan hingga surplus. Guna membenahi defisit neraca perdagangan akibat angka impor lebih besar dibanding angka ekspor, Jokowi meminta para pembantunya fokus menciptakan terobosan dalam mengikis angka impor. Ke depan, neraca perdagangan harus dalam posisi surplus.

Sebelumnya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah memberi pekerjaan rumah kepada Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP) untuk mengatasi impor bahan bakar minyak (BBM). Salah satu sumber penyebab defisit neraca perdagangan adalah angka impor BBM yang sangat tinggi. Presiden mengingatkan agar program Biodiesel (B20) sebagai salah satu upaya menekan angka impor BBM terus ditingkatkan menjadi B30 dan meningkat hingga menyentuh B50 hingga B100. Selain itu, kinerja ekspor terus dibenahi yang diiringi dengan pengembangan sektor pariwisata yang maksimal untuk meraih devisa lebih banyak lagi.

Mengapa impor BBM disebut-sebut sebagai sumber utama penyebab defisit neraca perdagangan selama ini? Penjelasannya cukup sederhana karena kapasitas kilang minyak dalam negeri masih sangat terbatas. Berdasarkan data PT Pertamina, kapasitas terpasang kilang minyak baru satu juta barel per hari. Selanjutnya, produksi dari kapasitas kilang minyak terpasang itu baru mencapai sekitar 850.000 barel per hari, yang menghasilkan BBM sebanyak 650.000 barel per hari. Adapun kebutuhan BBM nasional mencapai sekitar 1,3 juta hingga 1,4 juta barel per hari. Untuk memenuhi kekurangan suplai BBM tersebut, tidak ada jalan selain impor.

Jadi, sebenarnya pokok masalah penyebab defisit neraca perdagangan sudah terjawab, yakni pembangunan kilang minyak harus menjadi prioritas. Selain itu, lifting produksi minyak di dalam negeri terus didongkrak. Namun, membangun kilang minyak ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Begitu banyak kendala yang harus disingkirkan. Salah satu kendala pembangunan kilang minyak bersumber dari mafia minyak dan gas (migas). Merujuk pada pernyataan Pengamat Ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi bahwa lebih dari 20 tahun Pertamina tidak pernah membangun kilang minyak baru, itu karena dihadang atau ulah dari para mafia migas.

Sepanjang mengandalkan kilang minyak yang ada dengan produksi terbatas sudah pasti impor BBM tetap dalam jumlah yang besar, itu sesuai harapan para mafia migas. Memang, belakangan area permainan mafia migas sudah mulai menyempit seiring dengan tata kelola yang semakin transparan di industri hulu migas. Karena itu, aksi mafia bergeser dan lebih fokus pada pengadaan atau impor BBM. Kuncinya, kilang minyak harus ditambah seraya menggalakkan penggunaan bahan bakar B20 yang terus ditingkatkan. Saat ini, Pertamina sedang membangun sejumlah kilang baru dengan target mendongkrak kapasitas produksi hingga dua juta barel per hari.

Memang, menguatkan neraca perdagangan hingga mencatat surplus dengan jalan menekan angka impor butuh terobosan yang signifikan. Tidak usah bicara impor BBM yang jelas-jelas tidak bisa diatasi di dalam negeri, untuk urusan alat pertanian yang sangat sederhana alias pacul harus didatangkan dari Negeri Tirai Bambu. Karena itu, wajar jika Presiden Jokowi menyatakan malu kalau dalam urusan pacul saja harus didatangkan dari luar negeri.

Berdasarkan data yang dipublikasikan Kementerian Perindustrian kebutuhan pacul di dalam negeri sekitar 10 juta per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri memang setengah mati karena industri dalam negeri hanya mampu memasok sebanyak 3 juta per tahun. Sebenarnya, kalau keran impor pacul ditutup, pihak Kementerian Perindustrian optimistis industri dalam negeri bisa mengisi kekosongan pasar selama ini. Sebab dilihat dari kualitas produksi di dalam negeri tidak kalah dengan pacul asal China. Hanya saja, dari sisi harga produsen domestik tidak bisa bersaing karena produk pacul dari Negeri Panda dijual lebih murah.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor pacul sebesar USD101,69 ribu dengan total berat 268,2 ton, dalam periode Januari hingga September 2019. Besarnya angka impor pacul versi BPS membuat heran pihak Kementerian Perdagangan dan langsung menuding bahwa itu perbuatan importir ilegal. Pasalnya, sebagaimana diungkapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana bahwa surat perizinan impor untuk pacul siap pakai belum pernah diterbitkan. Nah, kalau ada impor pacul jadi itu pelanggaran. Ternyata tidak hanya ada mafia migas, juga mafia pacul yang ikut menekan neraca perdagangan Indonesia.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7120 seconds (0.1#10.140)