Kemendagri Gagas Sistem Pilkada Asimetris
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggagas adanya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris. Sistem ini memungkinkan antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki mekanisme berbeda dalam memilih kepala daerah.
“Persoalannya ini kan sebatas gagasan. Gagasan kami. Kami boleh bergagasan, siapapun boleh bergagasan. Tapi sekali lagi Pilkada 2020 tetap merujuk UU 10/2016,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (otda) Akmal Malik di kantor Kemendagri, Kamis (7/11/2019).
Dia mengatakan, hasil evaluasi Kemendagri menunjukan bahwa pilkada langsung saat ini masih berbiaya tinggi. Dimana pada 2012 lalu saja untuk menjadi bupati harus mengalokasikan Rp20-30 miliar dan bahkan lebih.
“Itu kenapa Pak Menteri mengatakan kalau pilkada berbiaya tinggi banyak mudharatnya. Nah bukan kita mengatakan pilkada langsungnya yang salah, tetapi ada sistem yang membutuhkan biaya tinggi. Kalau kita tidak anti dengan pilkada langsung,. It’s ok, cuma mesti dicari bagaimana caranya pilkada langsung ini murah,” paparnya.
Akmal mengatakan, gagasan sistem pilkada asimetris ini karena setiap daerah memiliki kondisi dan kualitas demokrasi yang berbeda. Dia menilai mungkin saja sistem pilkada asimetris bisa menjadi solusi politik berbiaya tinggi. Pilkada asimetris sebenarnya sudah terjadi saat ini, dimana Gubernur di Provinsi Yogyakarta hanya melalui proses penetapan.
“Tergantung daerahnya. Kayak Jakarta, Jakarta kan sudah maju gak mungkin DPRD lagi. Tapi kalau Papua, mungkinkah kembali ke DPRD lagi? Mungkin saja. Atau di daerah-daerah kepulauan yang kalau dengan pilkada langsung cost-nya tinggi sekali. Bisa gak pakai DPRD? bisa saja. Why not. Sampai mereka siap” ujarnya.
Dia pun memastikan jika pilkada asimteris benar-benar disepakati tidak akan mengganggu rencana pilkada serentak nasional 2024. Menurutnya, keserentakan itu hanya terkait dengan waktu.
“Yang serentak kan cuma waktunya, sistemnya bisa berbeda. Misalnya Papua cukup dipilih dengan DPRD. Yogyakarya ditetapkan. Nah waktunya sama mekanisme beda,” ungkapnya.
Lebih lanjut Akmal memastikan bahwa gagasan ini perlu dikaji secara mendalam dan butuh waktu yang tidak sebentar. Pihaknya masih terus mengkaji hal ini.
“Itu yang sekarang kami lagi coba lakukan. Arahan pak Menteri bikin cluster wilayah. Kalimantan seperti apa, tapi Kalimantan juga tidak semuanya tidak maju, ada yang maju. Tapi ada juga yang di Kalimantan masyarakatnya belum siap kami akan dorong,” pungkasnya.
“Persoalannya ini kan sebatas gagasan. Gagasan kami. Kami boleh bergagasan, siapapun boleh bergagasan. Tapi sekali lagi Pilkada 2020 tetap merujuk UU 10/2016,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (otda) Akmal Malik di kantor Kemendagri, Kamis (7/11/2019).
Dia mengatakan, hasil evaluasi Kemendagri menunjukan bahwa pilkada langsung saat ini masih berbiaya tinggi. Dimana pada 2012 lalu saja untuk menjadi bupati harus mengalokasikan Rp20-30 miliar dan bahkan lebih.
“Itu kenapa Pak Menteri mengatakan kalau pilkada berbiaya tinggi banyak mudharatnya. Nah bukan kita mengatakan pilkada langsungnya yang salah, tetapi ada sistem yang membutuhkan biaya tinggi. Kalau kita tidak anti dengan pilkada langsung,. It’s ok, cuma mesti dicari bagaimana caranya pilkada langsung ini murah,” paparnya.
Akmal mengatakan, gagasan sistem pilkada asimetris ini karena setiap daerah memiliki kondisi dan kualitas demokrasi yang berbeda. Dia menilai mungkin saja sistem pilkada asimetris bisa menjadi solusi politik berbiaya tinggi. Pilkada asimetris sebenarnya sudah terjadi saat ini, dimana Gubernur di Provinsi Yogyakarta hanya melalui proses penetapan.
“Tergantung daerahnya. Kayak Jakarta, Jakarta kan sudah maju gak mungkin DPRD lagi. Tapi kalau Papua, mungkinkah kembali ke DPRD lagi? Mungkin saja. Atau di daerah-daerah kepulauan yang kalau dengan pilkada langsung cost-nya tinggi sekali. Bisa gak pakai DPRD? bisa saja. Why not. Sampai mereka siap” ujarnya.
Dia pun memastikan jika pilkada asimteris benar-benar disepakati tidak akan mengganggu rencana pilkada serentak nasional 2024. Menurutnya, keserentakan itu hanya terkait dengan waktu.
“Yang serentak kan cuma waktunya, sistemnya bisa berbeda. Misalnya Papua cukup dipilih dengan DPRD. Yogyakarya ditetapkan. Nah waktunya sama mekanisme beda,” ungkapnya.
Lebih lanjut Akmal memastikan bahwa gagasan ini perlu dikaji secara mendalam dan butuh waktu yang tidak sebentar. Pihaknya masih terus mengkaji hal ini.
“Itu yang sekarang kami lagi coba lakukan. Arahan pak Menteri bikin cluster wilayah. Kalimantan seperti apa, tapi Kalimantan juga tidak semuanya tidak maju, ada yang maju. Tapi ada juga yang di Kalimantan masyarakatnya belum siap kami akan dorong,” pungkasnya.
(pur)