Kewenangan Besar, Dewan Pengawas KPK Tak Boleh Diisi Secara Serampangan
A
A
A
JAKARTA - Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi berlaku menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002. Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU tersebut adalah mengenai adanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menganggap secara spesifik ketentuan mengenai Dewas ini dirinci secara jelas dalam Bab VA tentang Dewan Pengawas. Disebutkan dalam Pasal 37A bahwa anggota Dewan Pengawas terdiri dari 5 orang untuk masa jabatan 4 tahun.
"Mengingat kewenangan Dewan Pengawas yang begitu besar maka posisi tersebut tidak boleh diisi secara serampangan," ujar Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Rabu (6/11/2019).
Menurut Sulthan, Dewas ini diperlukan orang yang benar-benar cakap dan memiliki integritas yang teruji. Hal ini bisa dinilai dari rekam jejak calon anggota Dewas tersebut. Lihat saja Pasal 37D, di sana secara rinci telah diatur mengenai syarat dan kriterianya.
Bagi lulusan Hukum Tata Negara UGM ini, masih ada yang perlu dikritisi lebih lanjut terkait Dewas KPK tersebut. Yaitu kewenangan mengangkat dan menetapkan sepenuhnya menjadi kewenangan presiden. Meskipun dilalui oleh proses seleksi, namun panitia seleksinya juga dipilih oleh presiden.
Di sisi lain, Sulthan menyebut dalam menentukan Dewas KPK ini, presiden hanya perlu mengkonsultasikan kepada DPR. Artinya kewenangan DPR sebatas memberikan pertimbangan yang bisa saja tidak diindahkan oleh presiden.
"Nah ini perlu diperhatikan lebih lanjut mengingat kewenangan Dewas yang begitu besar, akan tetapi mekanisme pengisiannya dilaksanakan oleh eksekutif. Semestinya ada ruang check and balance di situ yang tidak sebatas konsultasi semata," katanya.
Dengan demikian, lanjut Sulthan, perlu kewaspadaan dalam menyikapi problematika tersebut. Analis Politik Hukum asal UIN Jakarta ini pun mengingatkan bahwa adanya konstitusi itu untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan pemerintah.
Dia menganggap, potensi penyalahgunaan itu selalu terbuka lebar. Maka untuk meminimalisirnya diperlukan mekanisme kontrol publik yang masif. Salah satunya bisa diawali dengan menunjuk nama-nama yang selama ini diasumsikan 'manusia mulia' di mata masyarakat.
"Jangan sampai revisi ini malah menghasilkan masalah baru. Bukannya mengurai benang kusut yang selama ini mungkin saja terjadi di institusi yang dianggap paling suci di republik ini," tukasnya.
Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menganggap secara spesifik ketentuan mengenai Dewas ini dirinci secara jelas dalam Bab VA tentang Dewan Pengawas. Disebutkan dalam Pasal 37A bahwa anggota Dewan Pengawas terdiri dari 5 orang untuk masa jabatan 4 tahun.
"Mengingat kewenangan Dewan Pengawas yang begitu besar maka posisi tersebut tidak boleh diisi secara serampangan," ujar Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Rabu (6/11/2019).
Menurut Sulthan, Dewas ini diperlukan orang yang benar-benar cakap dan memiliki integritas yang teruji. Hal ini bisa dinilai dari rekam jejak calon anggota Dewas tersebut. Lihat saja Pasal 37D, di sana secara rinci telah diatur mengenai syarat dan kriterianya.
Bagi lulusan Hukum Tata Negara UGM ini, masih ada yang perlu dikritisi lebih lanjut terkait Dewas KPK tersebut. Yaitu kewenangan mengangkat dan menetapkan sepenuhnya menjadi kewenangan presiden. Meskipun dilalui oleh proses seleksi, namun panitia seleksinya juga dipilih oleh presiden.
Di sisi lain, Sulthan menyebut dalam menentukan Dewas KPK ini, presiden hanya perlu mengkonsultasikan kepada DPR. Artinya kewenangan DPR sebatas memberikan pertimbangan yang bisa saja tidak diindahkan oleh presiden.
"Nah ini perlu diperhatikan lebih lanjut mengingat kewenangan Dewas yang begitu besar, akan tetapi mekanisme pengisiannya dilaksanakan oleh eksekutif. Semestinya ada ruang check and balance di situ yang tidak sebatas konsultasi semata," katanya.
Dengan demikian, lanjut Sulthan, perlu kewaspadaan dalam menyikapi problematika tersebut. Analis Politik Hukum asal UIN Jakarta ini pun mengingatkan bahwa adanya konstitusi itu untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan pemerintah.
Dia menganggap, potensi penyalahgunaan itu selalu terbuka lebar. Maka untuk meminimalisirnya diperlukan mekanisme kontrol publik yang masif. Salah satunya bisa diawali dengan menunjuk nama-nama yang selama ini diasumsikan 'manusia mulia' di mata masyarakat.
"Jangan sampai revisi ini malah menghasilkan masalah baru. Bukannya mengurai benang kusut yang selama ini mungkin saja terjadi di institusi yang dianggap paling suci di republik ini," tukasnya.
(kri)