Jejak Oposisi Politik Nahdlatul Ulama

Selasa, 05 November 2019 - 06:01 WIB
Jejak Oposisi Politik Nahdlatul Ulama
Jejak Oposisi Politik Nahdlatul Ulama
A A A
Ahmad Zainul Hamdi Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

BANYAK kalangan yang menilai bahwa perilaku politik Nahdlatul Ulama (NU) adalah pragmatis. Dalam arti bahwa tindakan-tindakan politik NU didorong oleh motif meraih jabatan atau kekuasaan. Pragmatisme politik NU ini oleh beberapa ahli dilihat sebagai turunan dari pandangan dasar politik kaum Sunni yang lebih mementingkan stabilitas dengan sekuat tenaga menghindari chaos .

Sejarah politik NU di Indonesia sekilas tampak membenarkan penilaian tersebut. Peristiwa yang terus-menerus dijadikan rujukan pembenar atas penilaian itu adalah masuknya NU ke dalam proyek politik Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) Presiden Soekarno pada era Orde Lama. Setelah sekian lama bersama Masyumi melakukan perlawanan terhadap kekuatan politik kelompok nasionalis-sekuler dan komunis, manuver politik NU yang mau menerima tawaran menjadi bagian dari kekuasaan saat itu dianggap sebagai wujud nyata dari pragmatisme politik yang dianut NU.

Penilaian di atas seakan meletakkan NU sebagai entitas sosial-politik yang menjalankan aktivitas politiknya sepenuhnya hanya untuk menjadi bagian dari kekuasaan. NU dipandang tidak memiliki prinsip yang diperjuangkan, kecuali hanya untuk meraih jabatan. Menurut saya, penilaian ini tidak fair, setidaknya karena dua alasan.

Pertama, tidak ada satu pun partai politik yang tidak berharap meraih kekuasaan, bahkan sekalipun ia memutuskan untuk memilih untuk berada di luar kekuasaan. Politik adalah seni untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Ketika sekelompok orang mendirikan partai politik dan bertarung dalam kontestasi politik, salah satu tujuan utamanya adalah untuk meraih kekuasaan, terlepas hendak digunakan apa kekuasaan itu. Jadi, setiap partai politik pada dasarnya adalah pragmatis dari sudut pandang ini.

Kedua, di dalam atau di luar kekuasaan tidak selalu menjadi ukuran normatif apakah kelompok tersebut memiliki prinsip atau tidak. Memang, setiap kekuasaan (politik) cenderung korup, tapi tidak setiap oposisi pasti didorong oleh motif-motif luhur. Keputusan oposisi dalam politik bisa juga didorong oleh motif-motif rendah dan sepele, misalnya kebencian atau memang tidak terangkut dalam gerbong penguasa.

Menyatakan bahwa NU tidak mungkin menjadi oposisi hanya karena dihuni para ulama Sunni juga mengabaikan data-data sejarah. Perlawanan Imam Ahmad bin Hambal, salah satu imam mazhab kaum Sunni, terhadap penguasa Abbasiyah pada abad ke-8 sangat terkenal di kalangan NU. Bahkan kisah Imam Abu Hanifah, juga salah satu imam mazhab kaum Sunni, yang menolak jabatan Hakim Agung dari Khalifah al-Mansur juga menjadi bahan kajian populer di kalangan santri NU.

Studi Green (1983) tentang sikap dan perilaku politik ulama tradisional di negara-negara kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah menyimpulkan bahwa variabel penting yang menentukan perilaku politik ulama adalah kebijakan politik penguasa. Bagaimanapun ulama memiliki basis legitimasi yang berbeda dari penguasa. Legitimasi ulama didapatkan karena pengakuan keagamaan dan moralitas dari masyarakat, sedang legitimasi penguasa didapatkan melalui proses-proses politik yang tidak jarang manipulatif.

Dalam situasi tertentu, otoritas keulamaan berhadap-hadapan dengan otoritas politik. Jika pemerintah menjalankan kekuasaan secara efektif, ulama cenderung akan pasif. Sebaliknya, jika pemerintahan tidak mampu menjalankan kekuasaannya secara efektif, kepemimpinan atas masyarakat akan diambil alih oleh ulama, dan ini bisa tinggal selangkah kaki untuk menjadi gerakan oposisi politik.

Andree Feillard pernah menulis buku yang berjudul NU vis a vis Negara . Buku ini secara ekstensif menjelaskan oposisi NU terhadap negara pada era Orde Baru. Melalui kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU menjadi kekuatan civil society yang bersuara kritis terhadap rezim otoriter waktu itu. Saat hampir semua kekuatan Islam terserap ke dalam kekuasaan atau diam karena ketakutan, NU dengan lantang terus-menerus menyuarakan demokrasi.

Bahkan, Mitsuo Nakamura (1981) pernah menyebut NU sebagai tradisionalis-radikal. Sebutan ini mengacu pada sikap dan tindakan politik para politisi NU yang bersikap sangat kritis terhadap kekuasaan pada saat banyak kelompok lain masih memandang bahwa mengkritik pemerintah secara terbuka adalah tabu. Oleh Nakamura, radikal di sini diartikan sebagai sikap kritis yang mendasar, yang dilawankan dengan oportunistik yang selama ini dianggap sebagai sikap dan tindakan politik NU.

Pada saat NU dipuja-puja oleh banyak pihak sebagai kekuatan civil society yang berani melawan kebijakan-kebijakan monolitik rezim Orde Baru, NU pada Muktamarnya ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, secara terbuka memutuskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Keputusan NU ini oleh banyak kalangan sekali lagi dicemooh sebagai wujud pragmatisme politik NU. Semua kalangan tahu bahwa rezim Soeharto saat itu sangat kuat memaksakan kehendaknya pada semua ormas untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Bagi mereka yang tidak memahami NU, mereka tidak tahu bahwa bagi NU, mengkritik atau menyetujui kebijakan penguasa bukanlah semata-mata kalkulasi kekuasaan. Banyak kalangan yang tidak menyadari bahwa salah satu motif penting berdirinya NU, selain agama, adalah nasionalisme. Di samping itu, tidak sedikit yang tidak tahu bahwa seluruh kebijakan yang diambil NU, termasuk dalam urusan politik, selalu didasarkan pada prinsip maslahah " (kebaikan bersama/bonum commune ).

Apakah keputusan menerima Pancasila itu membuat NU mendapatkan ganjaran kekuasaan? Sejarah politik Indonesia mencatat bahwa NU tetap menjadi pengkritik rezim yang paling keras hingga tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Jadi, menjadi oposisi terhadap rezim bukan barang baru dan tabu bagi NU.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4426 seconds (0.1#10.140)