Tren Pembentukan Koalisi Baru Menuju 2024 Menguat
A
A
A
JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad menganggap, meski kontestasi Pemilu 2024 masih sangat jauh, ada tren menarik atau fakta politik baru yakni, munculnya konsolidasi antar partai politik pascapengumuman kabinet oleh Presiden Jokowi.
Menurutnya, tren ini bukan sekadar bagi-bagi jatah kursi menteri dan peran pemerintah dalam mengelola kekuasaan negara dengan pertimbangan depolarisasi, anti radikalisasi dan keutuhan NKRI.
"Namun juga konsolidasi peran parpol dalam sistem demokrasi kita," kata Nyarwi kepada SINDOnews, Jumat (1/11/2019).
Nyarwi menganggap, konsolidasi ini tampaknya tidak hanya untuk penguatan visibilitas peran parpol dalam panggung politik Indonesia, namun juga penguatan main streaming narasi kebangsaan.
Lantas apakah artinya konsolidasi sebelum Pemilu 2024 itu tidak lagi kuat? Nyarwi memandang sebagai konsolidasi pragmatis untuk kepentingan pilpres dan berpotensi bisa rapuh.
Gejala itu mulai diperlihatkan oleh Partai Nasdem, sebagai partai pengusung Jokowi-KH. Ma'ruf Amin. "Masuknya Gerindra dan Prabowo kian mempersempit ruang Nasdem dalam Pemerintahan Jokowi," tutur dia.
Nyarwi melihat Nasdem dan aliansi parpol lain untuk menjaga agar eksistensinya tetap menguat dan atas nama kepentingan rakyat tetap melihat dinanika politik berbasis pada retorika.
Menurutnya, pentingnya blok opisisi di luar pemerintah untuk menjaga sustainability atau keberlanjutan demokrasi menjadi dalih yang tak bisa terbantahkan.
"Nasdem sepertinya mengembangkan langkah kuda. Menjalin konsolidasi dengan parpol-parpol di luar blok parpol pendukung pemerintah," ujarnya.
Kemudian, apakah perpindahan posisi parpol seperti ini akan terus terjad hingga 2024 nanti. Nyarwi menyebut, tren semacam itu jelas terbuka dan semakin menguat mendekati 2024. Dengan kata lain, pembentukan koalisi baru kian terbuka lebar.
Terlebih jika dalam perjalanan 4 tahun ke depan, Presiden Jokowi terus mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak populis, yang dianggap membebani kehidupan masyarakat ataupun kebijakan-kebijakannya tidak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat.
"Jika kondisi tersebut diiring dengan meningkatnya tingkat ketidakpuasaan pada kinerja Pemerintahan Jokowi dan disertai dengan menguatnya gelombang protes ke Pemerintahan Jokowi, tren tersebut bisa makin meningkat," katanya.
Menurutnya, tren ini bukan sekadar bagi-bagi jatah kursi menteri dan peran pemerintah dalam mengelola kekuasaan negara dengan pertimbangan depolarisasi, anti radikalisasi dan keutuhan NKRI.
"Namun juga konsolidasi peran parpol dalam sistem demokrasi kita," kata Nyarwi kepada SINDOnews, Jumat (1/11/2019).
Nyarwi menganggap, konsolidasi ini tampaknya tidak hanya untuk penguatan visibilitas peran parpol dalam panggung politik Indonesia, namun juga penguatan main streaming narasi kebangsaan.
Lantas apakah artinya konsolidasi sebelum Pemilu 2024 itu tidak lagi kuat? Nyarwi memandang sebagai konsolidasi pragmatis untuk kepentingan pilpres dan berpotensi bisa rapuh.
Gejala itu mulai diperlihatkan oleh Partai Nasdem, sebagai partai pengusung Jokowi-KH. Ma'ruf Amin. "Masuknya Gerindra dan Prabowo kian mempersempit ruang Nasdem dalam Pemerintahan Jokowi," tutur dia.
Nyarwi melihat Nasdem dan aliansi parpol lain untuk menjaga agar eksistensinya tetap menguat dan atas nama kepentingan rakyat tetap melihat dinanika politik berbasis pada retorika.
Menurutnya, pentingnya blok opisisi di luar pemerintah untuk menjaga sustainability atau keberlanjutan demokrasi menjadi dalih yang tak bisa terbantahkan.
"Nasdem sepertinya mengembangkan langkah kuda. Menjalin konsolidasi dengan parpol-parpol di luar blok parpol pendukung pemerintah," ujarnya.
Kemudian, apakah perpindahan posisi parpol seperti ini akan terus terjad hingga 2024 nanti. Nyarwi menyebut, tren semacam itu jelas terbuka dan semakin menguat mendekati 2024. Dengan kata lain, pembentukan koalisi baru kian terbuka lebar.
Terlebih jika dalam perjalanan 4 tahun ke depan, Presiden Jokowi terus mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak populis, yang dianggap membebani kehidupan masyarakat ataupun kebijakan-kebijakannya tidak dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat.
"Jika kondisi tersebut diiring dengan meningkatnya tingkat ketidakpuasaan pada kinerja Pemerintahan Jokowi dan disertai dengan menguatnya gelombang protes ke Pemerintahan Jokowi, tren tersebut bisa makin meningkat," katanya.
(cip)