Menanti Keperkasaan BUMN di Bawah Erick Thohir
A
A
A
Nurkhamid Alfi
Kepala Perwakilan Perusahaan Asing di Jakarta
Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta
JUDUL tulisan ini terdapat kata “keperkasaan”, tidak dimaksudkan sebagai ungkapan bahwa selama ini tidak ada kemajuan dalam pengelolaan BUMN. Sama sekali tidak. Bahkan unjuk prestasi BUMN pada 2018 kemarin, baik profitabilitas, nilai aset, maupun omzetnya cukup baik.
“Keperkasaan” di sini dimaksudkan sebagai “kegagahberanian” yang berkorelasi terhadap visi Presiden dalam membawa BUMN menjadi perusahaan yang bukan hanya besar di dalam negeri, tetapi juga gagah dan berani merambah ke pasar-pasar bisnis internasional untuk bisa bersaing secara global. Visi Presiden Jokowi, seperti yang pernah dikemukakannya pada debat Pemilihan Presiden 2019 – 2024, atas arah dan target BUMN ke depan ini yang akan dibebankan kepada seorang Erick Thohir.
Tepatkah target itu? Tentu saja bukan hanya tepat, tetapi juga sebuah kebutuhan. Presiden berpandangan bahwa ke depannya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lagi mengandalkan sektor konsumsi, tetapi juga lebih bergantung pada sektor produksi dengan struktur manufaktur yang kuat.
Pada periode pemerintahan pertama, Jokowi cukup berhasil dalam mengeluarkan kebijakan fiskal sehingga mampu memperbaiki pertumbuhan perekonomian Indonesia melalui konsumsi rumah tangga. Pada data BPS tercatat, kenaikan konsumsi masyarakat membuat kenaikan atas permintaan barang dan jasa naik selama 3 – 4 tahun terakhir. Tetapi, kenaikan itu tidak mampu mewujudkan target pemerintah seperti yang dijanjikan pada periode pertama, yakni pertumbuhan ekonomi akan berkisar di antara 6% - 7%.
Selama 2015 – 2018, pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,88% - 5,17%. Pada 2019 ini pun, dengan berbagai peluang dan tantangan yang ada, perekonomian kemungkinan hanya berkisar di 5,1%. Bank Dunia bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 5%. Hal ini tertuang pada laporan berjudul East Asia and Pacific Economic Update October 2019: Weathering Growing Risk.
Masuknya BUMN ke kancah pasar-pasar internasional bahkan semakin relevan jika dikaitkan dengan ketimpangan capaian ekspor dan impor selama ini. Neraca dagang Indonesia sejak 2018 sampai saat ini masih defisit.
Secara statistik dalam lima tahun terakhir pertumbuhan perdagangan Indonesia cukup stagnan. Rerata pertumbuhan ekspor per tahun hanya meningkat sekitar 1,5%, sementara pertumbuhan impor dalam lima tahun terakhir justru lebih tinggi, sekitar 2%.
Pada kuartal I - 2019 ini current account deficit (CAD) Indonesia bahkan tercatat sebesar USD6,96 miliar atau setara dengan 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Angka CAD tersebut jatuh lebih dalam dibandingkan kuartal I – 2018 yang sebesar USD5,19 miliar atau 2,1% PDB. Kinerja ekspor yang kurang agresif tersebut turut menekan pergerakan rupiah sepanjang lima tahun pertama pemerintahan Jokowi yang terdepresiasi 17,81% terhadap dolar AS.
Perekonomian Indonesia juga belum terbantukan oleh dana investasi yang masuk ke sektor riil walaupun sudah enam belas kali kebijakan ekonomi ramah investasi dikeluarkan. Paket kebijakan ekonomi paling akhir, ke-16, bahkan telah diterbitkan dan sangat membantu investor karena memberikan intensif fiskal, yakni memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday); relaksasi daftar negatif investasi; dan memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian intensif perpajakan.
Tetapi, nyatanya realisasi investasi justru melambat. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) terkoreksi 0,9% (yoy).
Pada Oktober 2019 ini bahkan terdengar khabar jelek dari Global Competitiveness Index (GCI) atas peringkat daya saing Indonesia. Dalam laporan itu disebutkan peringkat daya saing Indonesia turun lima peringkat dari posisi ke-45 pada 2018 menjadi ke-50 tahun ini.
Maka tidak heran jika Indonesia termasuk negara yang kurang menarik perhatian para investor global, termasuk China. Banyak perusahaan manufaktur China memilih negara lain seperti Malaysia dan Vietnam sebagai negara tujuan investasi.
Dari uraian di atas, target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengandalkan dana investasi dan peningkatan ekspor tidak terpenuhi. Atas persoalan-persoalan ekonomi seperti itu, peran BUMN sebagai bagian dari motor penggerak ekonomi nasional harus bergerak go international lebih kencang untuk memperkuat orientasi ekspor.
Memang diakui bahwa sudah ada beberapa BUMN yang bermain di kancah internasional seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang mengekspor gerbong kereta ke Bangladesh dan negara-negara Asia Tenggara atau PT Wijaya Karya (Persero) Tbk yang menggarap proyek di Afrika untuk sektor properti, atau Biofarma yang mengekspor vaksin ke banyak negara. PT Telkom Indonesia Tbk, atau PT Pindad (Persero), dan beberapa lagi juga sudah berhasil pergi ke pasar internasional. Tetapi, sizing-nya masih terlalu kecil dibandingkan dengan potensi pasar internasional yang tersedia.
Karena itu, untuk mampu bersaing dengan perusahaan kelas dunia, maka arah pembinaan dan pengembangan BUMN harus mengarah pada penguatan keorganisasian, profesionalisme, serta melakukan financial engineering. Sementara itu, saat ini BUMN kita jumlahnya terlalu banyak dengan aset yang menyebar sehingga terasa kecil. Ada sekitar 115 perusahaan yang saat ini beroperasi. Bahkan ada beberapa yang merugi.
Mengacu pada laporan keuangan 2018, total aset BUMN kita Rp8.092 triliun. Sangat besar sekali, bahkan jauh lebih besar dari Temasek Singapura yang Rp4.000-an triliun. Ironinya, total laba hanya Rp188 triliun atau 2,35% dari nilai aset.
Untuk itu, perlu menyinergikan semua sumber daya BUMN, termasuk penguatan permodalan. Cara yang paling tepat adalah pembentukan Super Holding, yakni penggabungan holding-holding yang sudah dibentuk untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan perseroan yang berdaya saing tinggi dan berorientasi global.
Super-holding BUMN akan bergerak cepat dan profesional sehingga mampu bersaing dengan perusahaan raksasa milik negara lain semisal Temasek Singapura, Khazanah Malaysia, State-owned Assets Supervision and Administration Commission of the State Council China (SASAC), Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW) Jerman, dan super-holding lainnya. Kapitalisasi pasar akan terbentuk dengan sendirinya.
Super-holding BUMN bahkan akan mampu mengelola dana publik sebagai sovereign welfare fund (SWF) dan berfungsi juga sebagai State Investments Funds (SIF). Jadi Super Holding BUMN merupakan kendaraan finansial yang dimiliki negara untuk mengatur dana publik dan menginvestasikan dana-dana itu ke aset-aset yang beragam.
Ide pembentukan super-holding sebenarnya tidak baru. Sudah diwacanakan sejak dalam Master Plan BUMN 1999 era Menteri BUMN Tanri Abeng. Tetapi, sampai sekarang belum bisa direalisasikan. Padahal, ada peran lain sebuah super-holding, yakni sebagai “duta bangsa”, berdampak besar terhadap eksistensi sebuah nationality di kancah percaturan internasional.
Dengan demikian, memiliki perusahaan raksasa yang dimiliki negara, bukan hanya menikmati uraian tentang angka-angka statistik yang mengagumkan seperti laporan keuangan, kondisi aset, dan valuasi perusahaan, tetapi juga kebanggaan dan gengsi dari sebuah bangsa.
Kepala Perwakilan Perusahaan Asing di Jakarta
Alumnus Universitas Muhammadiyah Surakarta
JUDUL tulisan ini terdapat kata “keperkasaan”, tidak dimaksudkan sebagai ungkapan bahwa selama ini tidak ada kemajuan dalam pengelolaan BUMN. Sama sekali tidak. Bahkan unjuk prestasi BUMN pada 2018 kemarin, baik profitabilitas, nilai aset, maupun omzetnya cukup baik.
“Keperkasaan” di sini dimaksudkan sebagai “kegagahberanian” yang berkorelasi terhadap visi Presiden dalam membawa BUMN menjadi perusahaan yang bukan hanya besar di dalam negeri, tetapi juga gagah dan berani merambah ke pasar-pasar bisnis internasional untuk bisa bersaing secara global. Visi Presiden Jokowi, seperti yang pernah dikemukakannya pada debat Pemilihan Presiden 2019 – 2024, atas arah dan target BUMN ke depan ini yang akan dibebankan kepada seorang Erick Thohir.
Tepatkah target itu? Tentu saja bukan hanya tepat, tetapi juga sebuah kebutuhan. Presiden berpandangan bahwa ke depannya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lagi mengandalkan sektor konsumsi, tetapi juga lebih bergantung pada sektor produksi dengan struktur manufaktur yang kuat.
Pada periode pemerintahan pertama, Jokowi cukup berhasil dalam mengeluarkan kebijakan fiskal sehingga mampu memperbaiki pertumbuhan perekonomian Indonesia melalui konsumsi rumah tangga. Pada data BPS tercatat, kenaikan konsumsi masyarakat membuat kenaikan atas permintaan barang dan jasa naik selama 3 – 4 tahun terakhir. Tetapi, kenaikan itu tidak mampu mewujudkan target pemerintah seperti yang dijanjikan pada periode pertama, yakni pertumbuhan ekonomi akan berkisar di antara 6% - 7%.
Selama 2015 – 2018, pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,88% - 5,17%. Pada 2019 ini pun, dengan berbagai peluang dan tantangan yang ada, perekonomian kemungkinan hanya berkisar di 5,1%. Bank Dunia bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 5%. Hal ini tertuang pada laporan berjudul East Asia and Pacific Economic Update October 2019: Weathering Growing Risk.
Masuknya BUMN ke kancah pasar-pasar internasional bahkan semakin relevan jika dikaitkan dengan ketimpangan capaian ekspor dan impor selama ini. Neraca dagang Indonesia sejak 2018 sampai saat ini masih defisit.
Secara statistik dalam lima tahun terakhir pertumbuhan perdagangan Indonesia cukup stagnan. Rerata pertumbuhan ekspor per tahun hanya meningkat sekitar 1,5%, sementara pertumbuhan impor dalam lima tahun terakhir justru lebih tinggi, sekitar 2%.
Pada kuartal I - 2019 ini current account deficit (CAD) Indonesia bahkan tercatat sebesar USD6,96 miliar atau setara dengan 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Angka CAD tersebut jatuh lebih dalam dibandingkan kuartal I – 2018 yang sebesar USD5,19 miliar atau 2,1% PDB. Kinerja ekspor yang kurang agresif tersebut turut menekan pergerakan rupiah sepanjang lima tahun pertama pemerintahan Jokowi yang terdepresiasi 17,81% terhadap dolar AS.
Perekonomian Indonesia juga belum terbantukan oleh dana investasi yang masuk ke sektor riil walaupun sudah enam belas kali kebijakan ekonomi ramah investasi dikeluarkan. Paket kebijakan ekonomi paling akhir, ke-16, bahkan telah diterbitkan dan sangat membantu investor karena memberikan intensif fiskal, yakni memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday); relaksasi daftar negatif investasi; dan memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian intensif perpajakan.
Tetapi, nyatanya realisasi investasi justru melambat. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) terkoreksi 0,9% (yoy).
Pada Oktober 2019 ini bahkan terdengar khabar jelek dari Global Competitiveness Index (GCI) atas peringkat daya saing Indonesia. Dalam laporan itu disebutkan peringkat daya saing Indonesia turun lima peringkat dari posisi ke-45 pada 2018 menjadi ke-50 tahun ini.
Maka tidak heran jika Indonesia termasuk negara yang kurang menarik perhatian para investor global, termasuk China. Banyak perusahaan manufaktur China memilih negara lain seperti Malaysia dan Vietnam sebagai negara tujuan investasi.
Dari uraian di atas, target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengandalkan dana investasi dan peningkatan ekspor tidak terpenuhi. Atas persoalan-persoalan ekonomi seperti itu, peran BUMN sebagai bagian dari motor penggerak ekonomi nasional harus bergerak go international lebih kencang untuk memperkuat orientasi ekspor.
Memang diakui bahwa sudah ada beberapa BUMN yang bermain di kancah internasional seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang mengekspor gerbong kereta ke Bangladesh dan negara-negara Asia Tenggara atau PT Wijaya Karya (Persero) Tbk yang menggarap proyek di Afrika untuk sektor properti, atau Biofarma yang mengekspor vaksin ke banyak negara. PT Telkom Indonesia Tbk, atau PT Pindad (Persero), dan beberapa lagi juga sudah berhasil pergi ke pasar internasional. Tetapi, sizing-nya masih terlalu kecil dibandingkan dengan potensi pasar internasional yang tersedia.
Karena itu, untuk mampu bersaing dengan perusahaan kelas dunia, maka arah pembinaan dan pengembangan BUMN harus mengarah pada penguatan keorganisasian, profesionalisme, serta melakukan financial engineering. Sementara itu, saat ini BUMN kita jumlahnya terlalu banyak dengan aset yang menyebar sehingga terasa kecil. Ada sekitar 115 perusahaan yang saat ini beroperasi. Bahkan ada beberapa yang merugi.
Mengacu pada laporan keuangan 2018, total aset BUMN kita Rp8.092 triliun. Sangat besar sekali, bahkan jauh lebih besar dari Temasek Singapura yang Rp4.000-an triliun. Ironinya, total laba hanya Rp188 triliun atau 2,35% dari nilai aset.
Untuk itu, perlu menyinergikan semua sumber daya BUMN, termasuk penguatan permodalan. Cara yang paling tepat adalah pembentukan Super Holding, yakni penggabungan holding-holding yang sudah dibentuk untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan perseroan yang berdaya saing tinggi dan berorientasi global.
Super-holding BUMN akan bergerak cepat dan profesional sehingga mampu bersaing dengan perusahaan raksasa milik negara lain semisal Temasek Singapura, Khazanah Malaysia, State-owned Assets Supervision and Administration Commission of the State Council China (SASAC), Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW) Jerman, dan super-holding lainnya. Kapitalisasi pasar akan terbentuk dengan sendirinya.
Super-holding BUMN bahkan akan mampu mengelola dana publik sebagai sovereign welfare fund (SWF) dan berfungsi juga sebagai State Investments Funds (SIF). Jadi Super Holding BUMN merupakan kendaraan finansial yang dimiliki negara untuk mengatur dana publik dan menginvestasikan dana-dana itu ke aset-aset yang beragam.
Ide pembentukan super-holding sebenarnya tidak baru. Sudah diwacanakan sejak dalam Master Plan BUMN 1999 era Menteri BUMN Tanri Abeng. Tetapi, sampai sekarang belum bisa direalisasikan. Padahal, ada peran lain sebuah super-holding, yakni sebagai “duta bangsa”, berdampak besar terhadap eksistensi sebuah nationality di kancah percaturan internasional.
Dengan demikian, memiliki perusahaan raksasa yang dimiliki negara, bukan hanya menikmati uraian tentang angka-angka statistik yang mengagumkan seperti laporan keuangan, kondisi aset, dan valuasi perusahaan, tetapi juga kebanggaan dan gengsi dari sebuah bangsa.
(poe)