Belum Diatur UU, Dasar Pemikiran Hak Veto Menko Dinilai Masih Misterius
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membolehkan para Menteri Koordinator (Menko) Kabinet Indonesia Maju memveto kebijkan menteri yang bertentangan dengan visi misi presiden dan wakil presiden. Veto diberikan agar terjadi keselarasan antar program kementerian/lembaga (K/L).
Pengamat Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan dibutuhkan ide-ide besar dan pertimbangan filosofis, sosilogis dan yuridis dalam mengelola bangsa yang besar. (Baca juga: Tak Punya Dasar, Fungsionaris Gerindra Pertanyakan Fungsi Hak Veto Menko )
"Penentuan kebijakan tentang kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Namun demikian harus ada dasar yang obyektif rasional, termasuk argumentasi yuridis pemberian veto (Menko)," ujar Suparji saat dihubungi SINDOnews, Senin (28/10/2019).
Suparji menganggap, veto merupakan mekanisme yang familiar dalam ketatanegaraan yang diatur dalam forum-forum organisasi internasional tak terkecuali ketatanegaraan Indonesia. Tetapi secara yuridis dan sosiogis belum ada norma yang secara eksplisit mengatur tentang hak veto diberikan kepada Menko.
Sehingga, kata Suparji, entah apa yang mendasari pemikiran tentang veto kepada Menko. "Masih misterius, apakah karena mencegah menteri-menteri off side dalam membuat kebijakan? Kalau itu masalahnya kenapa tidak langsung dikendalikan oleh presiden," tandasnya.
Selain itu, jika untuk mengoptimalkan kinerja para Menko, mengapa tidak diberikan beban kerja yang lain, yang lebih proporsional. "Kebijakan tentang veto oleh Menko harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain. Khususnya UU Kementerian negara," ucapnya. (Baca juga: Presiden Jokowi Berikan Otoritas Veto untuk Menko )
Sebelumnya, soal Veto para Menko ini juga diprotes Anggota DPR asal Fraksi Partai Gerindra, Desmond J Mahesa. Desmond menganggap belum ada UU yang mengatur mengenai veto Menko. Sehingga, langkah ini dianggap Jokowi telah menjadi raja baru di republik ini.
Pengamat Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan dibutuhkan ide-ide besar dan pertimbangan filosofis, sosilogis dan yuridis dalam mengelola bangsa yang besar. (Baca juga: Tak Punya Dasar, Fungsionaris Gerindra Pertanyakan Fungsi Hak Veto Menko )
"Penentuan kebijakan tentang kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Namun demikian harus ada dasar yang obyektif rasional, termasuk argumentasi yuridis pemberian veto (Menko)," ujar Suparji saat dihubungi SINDOnews, Senin (28/10/2019).
Suparji menganggap, veto merupakan mekanisme yang familiar dalam ketatanegaraan yang diatur dalam forum-forum organisasi internasional tak terkecuali ketatanegaraan Indonesia. Tetapi secara yuridis dan sosiogis belum ada norma yang secara eksplisit mengatur tentang hak veto diberikan kepada Menko.
Sehingga, kata Suparji, entah apa yang mendasari pemikiran tentang veto kepada Menko. "Masih misterius, apakah karena mencegah menteri-menteri off side dalam membuat kebijakan? Kalau itu masalahnya kenapa tidak langsung dikendalikan oleh presiden," tandasnya.
Selain itu, jika untuk mengoptimalkan kinerja para Menko, mengapa tidak diberikan beban kerja yang lain, yang lebih proporsional. "Kebijakan tentang veto oleh Menko harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan lain. Khususnya UU Kementerian negara," ucapnya. (Baca juga: Presiden Jokowi Berikan Otoritas Veto untuk Menko )
Sebelumnya, soal Veto para Menko ini juga diprotes Anggota DPR asal Fraksi Partai Gerindra, Desmond J Mahesa. Desmond menganggap belum ada UU yang mengatur mengenai veto Menko. Sehingga, langkah ini dianggap Jokowi telah menjadi raja baru di republik ini.
(kri)