Larangan Presiden Soal Menteri Berdebat di Publik Dinilai Tepat
A
A
A
JAKARTA - Dalam rapat terbatas (Ratas) Kabinet Indonesia Maju perdana pada Kamis (24/10) kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan semua menterinya untuk tidak berdebat si ruang publik soal kebijakan yang telah diputuskan pemerintah.
Permintaan presiden ini dinilai tepat oleh Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin. Sebagai Presiden tentu Jokowi berhak untuk memberikan perintah kepada seluruh menteri dan kepala badan setingkat menteri dan tentu saja para menteri harus taat.
“Sebab, apapun kebijakan yang diambil oleh para menteri akan dianggap sebagai kebijakan presiden. Baik atau buruk, benar atau salah, kebijakan menteri pasti memiliki dampak terhadap diri presiden. Bahkan pada ujungnya segala kebijakan para menteri itu harus dipertanggungjawabkan oleh presiden. Begitu kaidahnya dalam sistem pemerintahan presidensial,” ujar Said kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Karena itu, Said memandang bahwa presiden pantas melarang para menterinya untuk berdebat atau meributkan suatu kebijakan yang telah diputuskan, termasuk terhadap keputusan yang telah ditetapkan presiden bersama para menteri di dalam Rapat Paripurna, Ratas, atau rapat-rapat internal lainnya di lingkungan eksekutif. Jadi, selain wajib hukumnya bagi para menteri untuk melaksanakan setiap keputusan yang telah diambil, mereka juga terlarang untuk bersuara lain di hadapan publik.
“Perbedaan pendapat di antara para menteri dimuka publik dapat memunculkan setidaknya lima potensi persoalan,” jelas Said.
Adapun persoalan yang ditimbulkan, Said melanjutkan, pertama perbedaan pandangan di antara para menteri dapat menimbulkan kecurigaan bahwa menteri bersangkutan memiliki visi dan misi sendiri-sendiri.
“Padahal, dalam Kabinet Indonesia Maju tidak ada visi dan misi menteri, kecuali hanya ada visi dan misi presiden dan wakil presiden,” imbuhnya.
Kedua, sambung dia, para menteri dapat dianggap gagal memahami visi dan misi presiden dan wakil presiden. Ketiga, para menteri dapat dinilai tidak tanggap atau tidak mampu menangkap kehendak presiden. Keempat, munculnya perbedaan pendapat di antara para menteri dapat dianggap sebagai ketidakmampuan presiden untuk mengatur pada pembantunya.
Terakhir, kata Konsultan Senior Political and Constitutional Law Consulting (Postulat) ini, munculnya suara berbeda dari para menteri terkait suatu kebijakan pemerintah juga dapat membingungkan serta mempersulit masyarakat untuk berpegang pada pendapat menteri yang mana. Padahal, dalam sistem pemerintahan presidensial semua menteri memiliki kedudukan yang setara.
“Jadi, sudah tepat perintah presiden yang menekankan tentang pentingnya konsolidasi diantara menteri dalam Rapat Kabinet pertama. Jika muncul perbedaan pendapat di antara para menteri, sudah ada forum yang disediakan untuk memperdebatkannya. Yaitu,
Rapat Paripurna, Rapat Terbatas, atau rapat-rapat internal lainnya dilingkungan eksekutif,” tandasnya.
Permintaan presiden ini dinilai tepat oleh Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin. Sebagai Presiden tentu Jokowi berhak untuk memberikan perintah kepada seluruh menteri dan kepala badan setingkat menteri dan tentu saja para menteri harus taat.
“Sebab, apapun kebijakan yang diambil oleh para menteri akan dianggap sebagai kebijakan presiden. Baik atau buruk, benar atau salah, kebijakan menteri pasti memiliki dampak terhadap diri presiden. Bahkan pada ujungnya segala kebijakan para menteri itu harus dipertanggungjawabkan oleh presiden. Begitu kaidahnya dalam sistem pemerintahan presidensial,” ujar Said kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Karena itu, Said memandang bahwa presiden pantas melarang para menterinya untuk berdebat atau meributkan suatu kebijakan yang telah diputuskan, termasuk terhadap keputusan yang telah ditetapkan presiden bersama para menteri di dalam Rapat Paripurna, Ratas, atau rapat-rapat internal lainnya di lingkungan eksekutif. Jadi, selain wajib hukumnya bagi para menteri untuk melaksanakan setiap keputusan yang telah diambil, mereka juga terlarang untuk bersuara lain di hadapan publik.
“Perbedaan pendapat di antara para menteri dimuka publik dapat memunculkan setidaknya lima potensi persoalan,” jelas Said.
Adapun persoalan yang ditimbulkan, Said melanjutkan, pertama perbedaan pandangan di antara para menteri dapat menimbulkan kecurigaan bahwa menteri bersangkutan memiliki visi dan misi sendiri-sendiri.
“Padahal, dalam Kabinet Indonesia Maju tidak ada visi dan misi menteri, kecuali hanya ada visi dan misi presiden dan wakil presiden,” imbuhnya.
Kedua, sambung dia, para menteri dapat dianggap gagal memahami visi dan misi presiden dan wakil presiden. Ketiga, para menteri dapat dinilai tidak tanggap atau tidak mampu menangkap kehendak presiden. Keempat, munculnya perbedaan pendapat di antara para menteri dapat dianggap sebagai ketidakmampuan presiden untuk mengatur pada pembantunya.
Terakhir, kata Konsultan Senior Political and Constitutional Law Consulting (Postulat) ini, munculnya suara berbeda dari para menteri terkait suatu kebijakan pemerintah juga dapat membingungkan serta mempersulit masyarakat untuk berpegang pada pendapat menteri yang mana. Padahal, dalam sistem pemerintahan presidensial semua menteri memiliki kedudukan yang setara.
“Jadi, sudah tepat perintah presiden yang menekankan tentang pentingnya konsolidasi diantara menteri dalam Rapat Kabinet pertama. Jika muncul perbedaan pendapat di antara para menteri, sudah ada forum yang disediakan untuk memperdebatkannya. Yaitu,
Rapat Paripurna, Rapat Terbatas, atau rapat-rapat internal lainnya dilingkungan eksekutif,” tandasnya.
(kri)