Peta Kuasa Kabinet Kerja
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institutedan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MENARIK untuk memetakan relasi kuasa yang akan mengemuka di era pemerintahan Jokowi periode kedua. Joko Widodo-Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, Minggu 20 Oktober 2019. Konfigurasi kekuatan politiknya sangat berbeda dengan 2014 saat pertama kali Jokowi memimpin republik ini.
Saat itu, terdapat tekanan dari kekuatan di luar pemerintahan yang menguasai DPR. Partai “oposisi” pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang kalah di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 memotori gerakan penguasaan pimpinan DPR dan MPR. Meskipun hal tersebut tak berlangsung lama, karena selang setahun Partai Golkar dan PAN berpindah haluan menjadi bagian dari pemerintahan.
Saat ini, terutama sejak usai pilpres, hampir seluruh partai, kecuali PKS, berbondong-bondong menginginkan masuk ke kabinet Jokowi. Lantas berkurangkah tantangan Jokowi dengan kumulasi kekuatan di pihaknya? Belum tentu, karena pola hubungan politik tak pernah bersifat linear.
Tipologi Koalisi
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin berpotensi didukung oleh koalisi besar partai politik melalui representasi partai yang diakomodasi dalam kabinet. Koalisi besar yang tidak dibangun berdasarkan basis ideologi, melainkan kesamaan kepentingan strategis partai saat ini dan ke depan.
Michael-John Morgan dalam tulisan lamanya, The Modelling of Governmental Coalition Formation: A Policy-Based Approach with Interval Measurements (1976), membagi tipologi koalisi menjadi lima.
Pertama, tipologi Minimal Winning Coalition (MWC). Koalisi ini memaksimalkan kekuasaan sebanyak mungkin untuk memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu. Koalisi dibentuk tanpa perlu memedulikan posisi partai dan spektrum ideologi. Kedua, tipe Minimal Size Coalition (MSC). Koalisi partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas.
Ketiga, tipe Bargaining Proposition (BP), yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit. Prinsip dasarnya ingin memudahkan proses negosiasi karena mitra koalisinya hanya sedikit. Keempat, tipe Minimal Range Coalition (MRC). Dalam koalisi ini, dasar koalisi terbentuk karena kedekatan kecenderungan ideologis memudahkan partai-partai berkoalisi membentuk kabinet.
Kelima, Minimal Connected Winning Coalition (MCWC). Pembentukan koalisi didasari kedekatan orientasi kebijakannya. Partai-partai akan mencari anggota koalisi dari partai yang terdekat secara ideologis, yang dengan sendirinya tercermin pada orientasi kebijakan partai.
Untuk menggambarkan koalisi Jokowi sepertinya perlu ditambahkan satu tipologi untuk melengkapi penjelasan Morgan di atas, yakni tipe Maximal Winning Coalition, yakni koalisi besar pemenang pemilu yang terus membuka diri untuk politik akomodasi dalam membentuk pemerintah secara bersama-sama. Jika semua partai masuk menjadi penyokong pemerintah, artinya Jokowi-Ma’ruf Amin menganggap perlunya semua kekuatan bersama-sama di kabinet. Jika pun ada yang di luar, hanyalah menyisakan PKS.
Koalisi secara faktual biasanya dipengaruhi oleh dua karakter. Pertama, office seeking (memburu kursi di kabinet). Perilaku partai dalam koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam representasi diri mereka di kabinet pemerintahan yang dibentuk.
Dalam memilih mitra koalisi, para elite partai politik cenderung memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing, Itulah sebabnya, muncul manuver safari perjumpaan para elite jelang pembentukan kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Misalnya, perjumpaan Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo, dan Zulkifli Hasan. Termasuk perjumpaan Prabowo dengan sejumlah ketua umum partai politik pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin.
Kedua, karakter vote seeking. Di mana partai politik dalam membentuk koalisi lebih dilandasi dengan tujuan memenangkan pemilihan. Modus menang pemilu itulah yang menyebabkan partai membuka diri seluas-luasnya kepada siapa pun yang akan bergabung (catch all), selama kemenangan dapat diraih.
Dalam logika catch all, tak ada alasan bagi partai menolak mitra kongsi untuk mengalahkan kompetitor. Konsekuensinya, ideologi bukan sesuatu yang penting, karena yang terpenting baginya adalah memenangkan pertarungan. Inilah jawaban mengapa partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi secara lebar bisa bertemu dan bekerja sama.
Jika melihat praktik koalisi pascareformasi, bisa kita simpulkan, koalisi kerap berjalan dua tahap, yakni tahap kandidasi hingga hari pemilihan dan tahap berikutnya adalah pembentukan pemerintahan. Koalisi tidak bersifat linear, karena mereka yang berkongsi karena alasan vote seeking bisa dengan mudah menyeberang dengan alasan office seeking. Pindah haluan dianggap lumrah dan seolah-olah bukan masalah dari sudut etik politik.
Fenomena ini bisa kita lihat dari berpindahnya Golkar dan PAN dari koalisi Prabowo-Hatta ke Jokowi-JK seusai Pilpres 2014. Pun demikian, potensi berpindahnya Gerindra, Demokrat, PAN, dari koalisi Prabowo-Sandi ke Jokowi-Ma’ruf Amin seusai Pilpres 2019. Praktik ini seolah tak meraba suasana kebatinan yang ada di masyarakat. Bagaimana secara psikopolitis warga punya harapan dan memilih calon presiden (capres) yang berbeda dengan Jokowi, tetapi kemudian harus menerima kenyataan capres dan partai yang didukungnya menyeberang ke kubu yang sebelumnya menjadi lawan.
Substansi atau Basa-basi?
Koalisi besar parpol penyokong pemerintah Jokowi sesungguhnya juga belum menjadi jaminan solidnya bangun koalisi. Kerap muncul dilema saat pemerintahan sudah berjalan, antara koalisi yang berkomitmen pada substansi atau koalisi yang sekadar basa-basi.
Sidney G Tarrow dalam tulisannya, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics (2011), mensyaratkan empat hal penting dalam pembentukan koalisi. Pertama, seluruh anggota koalisi harus memiliki kerangka isu yang membuat mereka memiliki satu kepentingan. Kedua, setiap anggota koalisi harus memiliki kredibilitas dalam komitmen untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
Ketiga, koalisi harus memiliki mekanisme untuk meredam perbedaan orientasi, taktik, budaya organisasi dan ideologi. Keempat, memiliki komitmen berbagi di antara anggota koalisi. Jadi, koalisi harusnya diiringi dengan kemauan partai-partai untuk mendukung program-program pemerintah yang prorakyat, bukan sekadar memuaskan kehendak elite! Jika tak memenuhi empat syarat tadi, bukan mustahil parpol-parpol hanya berkoalisi secara basa-basi dan menari di genderang yang diciptakannya sendiri!
Beberapa ujian ada di depan mata, untuk memastikan apakah koalisi Jokowi akan tetap solid atau tidak. Pertama, saat Jokowi selaku pemilik hak prerogatif akhirnya memilih jajaran menteri yang akan membantunya di Kabinet Kerja jilid II. Bisa saja ada partai mitra koalisi yang kecewa dengan proporsi kursi yang dibagi Jokowi. Kekecewaan partai berpotensi merusak soliditas kabinet dan pemerintahan secara umum.
Kedua, soliditas koalisi juga diuji di DPR, terutama yang melibatkan kepentingan partai-partai jelang 2024. Misalnya, ada beberapa partai yang menghendaki GBHN dihidupkan kembali. Bahkan, ada partai yang mewacanakan bukan semata ingin mengamandemen UUD 1945 secara terbatas, melainkan secara menyeluruh.
Bukankah keinginan ini menjadi kotak Pandora yang bisa ke mana-mana? Sebut saja, godaan akan posisi kelembagaan MPR apakah tetap sebagai lembaga tinggi negara ataukah menjadi lembaga tertinggi negara.
Ketiga, ujian paruh kedua kekuasaan. Praktik pemerintahan kerap terganggu oleh kepentingan elektoral mendatang (2024), di mana Jokowi tak lagi bisa bersaing. Cenap Cakmak dalam paper-nya bertema Coalition Building in World Politics: Definitions, Conceptions, and Examples (2007) menjelaskan, koalisi adalah kerja sama mencapai tujuan bersama.
Para menteri yang dipilih harus berkomitmen bukan semata karena elite partai, melainkan adanya kesadaran bekerja sama yang berkeadaban. Koalisi bukan coba-coba, harus ada orientasi yang jelas sehingga kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin akan bergerak menghasilkan perubahan. Jika tidak, tambunnya koalisi hanya akan melahirkan obesitas kekuasaan!
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institutedan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MENARIK untuk memetakan relasi kuasa yang akan mengemuka di era pemerintahan Jokowi periode kedua. Joko Widodo-Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, Minggu 20 Oktober 2019. Konfigurasi kekuatan politiknya sangat berbeda dengan 2014 saat pertama kali Jokowi memimpin republik ini.
Saat itu, terdapat tekanan dari kekuatan di luar pemerintahan yang menguasai DPR. Partai “oposisi” pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang kalah di Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 memotori gerakan penguasaan pimpinan DPR dan MPR. Meskipun hal tersebut tak berlangsung lama, karena selang setahun Partai Golkar dan PAN berpindah haluan menjadi bagian dari pemerintahan.
Saat ini, terutama sejak usai pilpres, hampir seluruh partai, kecuali PKS, berbondong-bondong menginginkan masuk ke kabinet Jokowi. Lantas berkurangkah tantangan Jokowi dengan kumulasi kekuatan di pihaknya? Belum tentu, karena pola hubungan politik tak pernah bersifat linear.
Tipologi Koalisi
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin berpotensi didukung oleh koalisi besar partai politik melalui representasi partai yang diakomodasi dalam kabinet. Koalisi besar yang tidak dibangun berdasarkan basis ideologi, melainkan kesamaan kepentingan strategis partai saat ini dan ke depan.
Michael-John Morgan dalam tulisan lamanya, The Modelling of Governmental Coalition Formation: A Policy-Based Approach with Interval Measurements (1976), membagi tipologi koalisi menjadi lima.
Pertama, tipologi Minimal Winning Coalition (MWC). Koalisi ini memaksimalkan kekuasaan sebanyak mungkin untuk memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu. Koalisi dibentuk tanpa perlu memedulikan posisi partai dan spektrum ideologi. Kedua, tipe Minimal Size Coalition (MSC). Koalisi partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas.
Ketiga, tipe Bargaining Proposition (BP), yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit. Prinsip dasarnya ingin memudahkan proses negosiasi karena mitra koalisinya hanya sedikit. Keempat, tipe Minimal Range Coalition (MRC). Dalam koalisi ini, dasar koalisi terbentuk karena kedekatan kecenderungan ideologis memudahkan partai-partai berkoalisi membentuk kabinet.
Kelima, Minimal Connected Winning Coalition (MCWC). Pembentukan koalisi didasari kedekatan orientasi kebijakannya. Partai-partai akan mencari anggota koalisi dari partai yang terdekat secara ideologis, yang dengan sendirinya tercermin pada orientasi kebijakan partai.
Untuk menggambarkan koalisi Jokowi sepertinya perlu ditambahkan satu tipologi untuk melengkapi penjelasan Morgan di atas, yakni tipe Maximal Winning Coalition, yakni koalisi besar pemenang pemilu yang terus membuka diri untuk politik akomodasi dalam membentuk pemerintah secara bersama-sama. Jika semua partai masuk menjadi penyokong pemerintah, artinya Jokowi-Ma’ruf Amin menganggap perlunya semua kekuatan bersama-sama di kabinet. Jika pun ada yang di luar, hanyalah menyisakan PKS.
Koalisi secara faktual biasanya dipengaruhi oleh dua karakter. Pertama, office seeking (memburu kursi di kabinet). Perilaku partai dalam koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam representasi diri mereka di kabinet pemerintahan yang dibentuk.
Dalam memilih mitra koalisi, para elite partai politik cenderung memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing, Itulah sebabnya, muncul manuver safari perjumpaan para elite jelang pembentukan kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Misalnya, perjumpaan Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo, dan Zulkifli Hasan. Termasuk perjumpaan Prabowo dengan sejumlah ketua umum partai politik pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin.
Kedua, karakter vote seeking. Di mana partai politik dalam membentuk koalisi lebih dilandasi dengan tujuan memenangkan pemilihan. Modus menang pemilu itulah yang menyebabkan partai membuka diri seluas-luasnya kepada siapa pun yang akan bergabung (catch all), selama kemenangan dapat diraih.
Dalam logika catch all, tak ada alasan bagi partai menolak mitra kongsi untuk mengalahkan kompetitor. Konsekuensinya, ideologi bukan sesuatu yang penting, karena yang terpenting baginya adalah memenangkan pertarungan. Inilah jawaban mengapa partai-partai yang memiliki perbedaan ideologi secara lebar bisa bertemu dan bekerja sama.
Jika melihat praktik koalisi pascareformasi, bisa kita simpulkan, koalisi kerap berjalan dua tahap, yakni tahap kandidasi hingga hari pemilihan dan tahap berikutnya adalah pembentukan pemerintahan. Koalisi tidak bersifat linear, karena mereka yang berkongsi karena alasan vote seeking bisa dengan mudah menyeberang dengan alasan office seeking. Pindah haluan dianggap lumrah dan seolah-olah bukan masalah dari sudut etik politik.
Fenomena ini bisa kita lihat dari berpindahnya Golkar dan PAN dari koalisi Prabowo-Hatta ke Jokowi-JK seusai Pilpres 2014. Pun demikian, potensi berpindahnya Gerindra, Demokrat, PAN, dari koalisi Prabowo-Sandi ke Jokowi-Ma’ruf Amin seusai Pilpres 2019. Praktik ini seolah tak meraba suasana kebatinan yang ada di masyarakat. Bagaimana secara psikopolitis warga punya harapan dan memilih calon presiden (capres) yang berbeda dengan Jokowi, tetapi kemudian harus menerima kenyataan capres dan partai yang didukungnya menyeberang ke kubu yang sebelumnya menjadi lawan.
Substansi atau Basa-basi?
Koalisi besar parpol penyokong pemerintah Jokowi sesungguhnya juga belum menjadi jaminan solidnya bangun koalisi. Kerap muncul dilema saat pemerintahan sudah berjalan, antara koalisi yang berkomitmen pada substansi atau koalisi yang sekadar basa-basi.
Sidney G Tarrow dalam tulisannya, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics (2011), mensyaratkan empat hal penting dalam pembentukan koalisi. Pertama, seluruh anggota koalisi harus memiliki kerangka isu yang membuat mereka memiliki satu kepentingan. Kedua, setiap anggota koalisi harus memiliki kredibilitas dalam komitmen untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
Ketiga, koalisi harus memiliki mekanisme untuk meredam perbedaan orientasi, taktik, budaya organisasi dan ideologi. Keempat, memiliki komitmen berbagi di antara anggota koalisi. Jadi, koalisi harusnya diiringi dengan kemauan partai-partai untuk mendukung program-program pemerintah yang prorakyat, bukan sekadar memuaskan kehendak elite! Jika tak memenuhi empat syarat tadi, bukan mustahil parpol-parpol hanya berkoalisi secara basa-basi dan menari di genderang yang diciptakannya sendiri!
Beberapa ujian ada di depan mata, untuk memastikan apakah koalisi Jokowi akan tetap solid atau tidak. Pertama, saat Jokowi selaku pemilik hak prerogatif akhirnya memilih jajaran menteri yang akan membantunya di Kabinet Kerja jilid II. Bisa saja ada partai mitra koalisi yang kecewa dengan proporsi kursi yang dibagi Jokowi. Kekecewaan partai berpotensi merusak soliditas kabinet dan pemerintahan secara umum.
Kedua, soliditas koalisi juga diuji di DPR, terutama yang melibatkan kepentingan partai-partai jelang 2024. Misalnya, ada beberapa partai yang menghendaki GBHN dihidupkan kembali. Bahkan, ada partai yang mewacanakan bukan semata ingin mengamandemen UUD 1945 secara terbatas, melainkan secara menyeluruh.
Bukankah keinginan ini menjadi kotak Pandora yang bisa ke mana-mana? Sebut saja, godaan akan posisi kelembagaan MPR apakah tetap sebagai lembaga tinggi negara ataukah menjadi lembaga tertinggi negara.
Ketiga, ujian paruh kedua kekuasaan. Praktik pemerintahan kerap terganggu oleh kepentingan elektoral mendatang (2024), di mana Jokowi tak lagi bisa bersaing. Cenap Cakmak dalam paper-nya bertema Coalition Building in World Politics: Definitions, Conceptions, and Examples (2007) menjelaskan, koalisi adalah kerja sama mencapai tujuan bersama.
Para menteri yang dipilih harus berkomitmen bukan semata karena elite partai, melainkan adanya kesadaran bekerja sama yang berkeadaban. Koalisi bukan coba-coba, harus ada orientasi yang jelas sehingga kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin akan bergerak menghasilkan perubahan. Jika tidak, tambunnya koalisi hanya akan melahirkan obesitas kekuasaan!
(whb)