Pendekatan Lunak Penting dalam Penanganan Aksi Terorisme
A
A
A
BEOGRAD - Sidang Parlemen Dunia yang berlangsung di Beograd, Serbia, menghadirkan berbagai isu. Dalam sidang hari ketiga, Selasa (15/10/2019), salah satu isu yang diangkat adalah perdamaian dan keamanan internasional. Dalam isu tersebut, salah satu yang menjadi sorotan dalam isu tersebut adalah mengenai terorisme.
Anggota Fraksi Partai NasDem DPR, Willy Aditya yang hadir menyampaikan tentang pentingnya penanganan terhadap terorisme. Menurutnya, terorisme masih menjadi ancaman yang nyata bagi dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terus mendapatkan ancaman tersebut.
“Terakhir kasus yang menimpa Menteri Polhukam kami, Wiranto, di Pandeglang, Banten. Pola serangannya bahkan sudah berbeda. Tidak menggunakan bom atau senjata api lagi, tetapi sudah serangan dengan senjata tajam. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih terus eksis dan semakin berani,” katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Rabu (16 Oktober 2019).
Merujuk berbagai laporan, lanjut Willy, Asia Tenggara memang menjadi persemaian baru bibit terorisme. Pascakalahnya ISIS di Suriah, banyak para kombatannya terutama yang berasal dari Asia, menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan untuk menyusun kekuatan baru mereka. “Apa yang terjadi di Filipina Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu indikasinya,” imbuhnya.
Lulusan Cranfield University bidang Defends Studies ini kemudian menyampaikan tentang pentingnya pendekatan lunak (soft approach) dalam penanganan terorisme. Salah satu bentuknya adalah tindak pencegahan yang dipayungi oleh undang-undang.
Menurut Willy, pasca pengesahan revisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, aksi teror tidak hanya bisa dideteksi melainkan juga ditindak sejak dini. “Jika seseorang terlihat terlibat dalam jaringan teror, ia bisa langsung ditindak,” ucapnya.
Ini yang membedakannya dengan payung hukum sebelumnya. Saat itu Densus 88 baru bisa menindak ketika tindakan teror terjadi. Dengan payung hukum baru, Densus 88 juga telah menangkap anggota jaringan kelompok teroris di berbagai wilayah.
Selain payung hukum, keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi wujud lainnya dalam pendekatan lunak terhadap terorisme.
“Terorisme itu sejatinya aksi politik, dan politik itu adu kecerdasan, adu siasat. Dalam kasus ini, BNPT telah banyak melakukan deradikalisasi terhadap pentolan-pentolan teroris. Terdapat lebih dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dan dari 600 itu, hanya tiga orang yang kembali melakukan teror,” papar Willy.
Tidak berhenti di situ, ormas-ormas keagamaan yang moderat juga menjadi agen dalam penanganan aksi terorisme. Jika BNPT bertugas melakukan deradikalisasi maka ormas-ormas yang berhaluan moderat ini melaksanakan program kontra radikalisme. “Jadi mereka lebih banyak berada di wilayah perlawanan wacana,” tandasnya.
Selain terorisme, isu lain yang mengemuka dalam agenda tersebut adalah senjata nuklir dan pencucian uang. Sidang Parlemen Dunia ke-141 di Beograd, yang menghadirkan anggota parlemen dari seluruh dunia, itu akan berakhir Kamis, 17 Oktober 2019.
Anggota Fraksi Partai NasDem DPR, Willy Aditya yang hadir menyampaikan tentang pentingnya penanganan terhadap terorisme. Menurutnya, terorisme masih menjadi ancaman yang nyata bagi dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang terus mendapatkan ancaman tersebut.
“Terakhir kasus yang menimpa Menteri Polhukam kami, Wiranto, di Pandeglang, Banten. Pola serangannya bahkan sudah berbeda. Tidak menggunakan bom atau senjata api lagi, tetapi sudah serangan dengan senjata tajam. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme masih terus eksis dan semakin berani,” katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Rabu (16 Oktober 2019).
Merujuk berbagai laporan, lanjut Willy, Asia Tenggara memang menjadi persemaian baru bibit terorisme. Pascakalahnya ISIS di Suriah, banyak para kombatannya terutama yang berasal dari Asia, menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan untuk menyusun kekuatan baru mereka. “Apa yang terjadi di Filipina Selatan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu indikasinya,” imbuhnya.
Lulusan Cranfield University bidang Defends Studies ini kemudian menyampaikan tentang pentingnya pendekatan lunak (soft approach) dalam penanganan terorisme. Salah satu bentuknya adalah tindak pencegahan yang dipayungi oleh undang-undang.
Menurut Willy, pasca pengesahan revisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, aksi teror tidak hanya bisa dideteksi melainkan juga ditindak sejak dini. “Jika seseorang terlihat terlibat dalam jaringan teror, ia bisa langsung ditindak,” ucapnya.
Ini yang membedakannya dengan payung hukum sebelumnya. Saat itu Densus 88 baru bisa menindak ketika tindakan teror terjadi. Dengan payung hukum baru, Densus 88 juga telah menangkap anggota jaringan kelompok teroris di berbagai wilayah.
Selain payung hukum, keberadaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi wujud lainnya dalam pendekatan lunak terhadap terorisme.
“Terorisme itu sejatinya aksi politik, dan politik itu adu kecerdasan, adu siasat. Dalam kasus ini, BNPT telah banyak melakukan deradikalisasi terhadap pentolan-pentolan teroris. Terdapat lebih dari 600 narapidana dan mantan narapidana perkara terorisme yang menjalani program deradikalisasi. Dan dari 600 itu, hanya tiga orang yang kembali melakukan teror,” papar Willy.
Tidak berhenti di situ, ormas-ormas keagamaan yang moderat juga menjadi agen dalam penanganan aksi terorisme. Jika BNPT bertugas melakukan deradikalisasi maka ormas-ormas yang berhaluan moderat ini melaksanakan program kontra radikalisme. “Jadi mereka lebih banyak berada di wilayah perlawanan wacana,” tandasnya.
Selain terorisme, isu lain yang mengemuka dalam agenda tersebut adalah senjata nuklir dan pencucian uang. Sidang Parlemen Dunia ke-141 di Beograd, yang menghadirkan anggota parlemen dari seluruh dunia, itu akan berakhir Kamis, 17 Oktober 2019.
(poe)