Waswas Sertifikasi Halal

Senin, 14 Oktober 2019 - 07:42 WIB
Waswas Sertifikasi Halal
Waswas Sertifikasi Halal
A A A
ISU makanan halal kembali menjadi perdebatan hangat. Bukan karena ada produk makanan atau minuman beredar yang mengandung zat haram. Perdebatan kali ini lebih pada soal segera berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pada Kamis, 17 Oktober 2019.

Ya, dengan pemberlakuan UU JPH, tiga hari ke depan seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib mengantongi sertifikat halal. Ketentuan kewajiban halal ini diatur dalam Pasal 4 UU JPH yang berbunyi: “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib besertifikat halal”. UU JPH ini mulai efektif berlaku setelah diundangkan lima tahun lalu, yakni pada 17 Oktober 2014.

Ribut-ribut soal sertifikasi halal ini makin kencang karena ada keraguan lembaga yang ditunjuk untuk melakukan sertifikasi, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum siap me­nerima pendaftaran sertifikasi. Jika UU dipaksakan berlaku, dikha­wa­tir­kan akan muncul gejolak, bahkan kekacauan pada perekonomian. Me­ngapa begitu? Sebab, per 17 Oktober 2019 seluruh produk, khu­sus­nya makanan dan minuman, tidak boleh lagi diproduksi dan diedarkan jika tidak besertifikat halal. Artinya, akan ada banyak usaha yang harus berhenti produksi sementara karena harus mengurus sertifikat halal.

Mengacu data Badan Pengawas Obat dan Makanan, setidaknya terdapat 1,6 juta produk makanan dan minuman di Indo­nesia. Dari jumlah tersebut, jika menilik data Lembaga Pengkajian Pa­ngan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), baru sekitar 500.000 produk (30%) yang tesertifikasi ha­lal. Jadi masih ada sekitar 1,1 juta produk yang harus segera diser­tifikasi. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menyelesaikan sertifikat 1,1 juta produk tersebut di tengah keterbatasan BPJPH.

Jika dicermati, memang terlihat ketidaksiapan BPJPH yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) melaksanakan perintah UU JPH. Bahkan bisa dikatakan infrastruktur, suprastruktur, dan sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan masih sangat jauh dari ideal. Un­tuk menerbitkan sertifikasi halal, beberapa syarat harus dipenuhi. Di an­ta­ra membentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang diakreditasi oleh BPJPH dan MUI.

LPH inilah yang akan me­meriksa bahan atau kan­dungan sebuah produk sebelum dinyatakan layak mendapat sertifikat halal atau tidak. Sebuah LPH untuk bisa diakreditasi harus memenuhi syarat juga, yakni memiliki auditor halal minimal tiga orang. Faktanya, hing­ga menjelang pemberlakuan UU JPH belum ada satu pun auditor halal yang dihasilkan BPJPH. Belum lagi soal tarif produk untuk bisa mendapatkan sertifikasi halal. Hingga saat ini belum ada mekanisme pembayaran yang di­se­pakati. Penetapan tarif bukan kewenangan BPJPH, melainkan harus melalui peraturan menteri keuangan (PMK).

Biaya sertifikasi terhadap pelaku usaha mikro dan kecil juga jadi permasalahan tersendiri. Apakah mereka ini juga wajib membayar biaya sertifikasi atau perlu digratiskan? Jika harus mem­bayar tentu sangat be­rat, terutama bagi usaha mikro dan kecil. Ja­ngan­kan untuk mengurus serti­fikat, modal un­tuk menggerakkan usa­ha saja mereka masih kesulitan. Selain itu, BPJH ha­nya ada di Jakarta. Kon­­disi ini tentu akan menyu­litkan perusahaan di daerah yang me­mer­lukan ser­tifikasi karena harus mengeluarkan biaya dan waktu untuk ke Jakarta.

Ka­re­na berbagai kerumitan ini, sejumlah pihak beberapa waktu lalu lan­tas melakukan uji materi UU JPH ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Meski dinilai tidak siap, namun BPJPH menolak menyerah. KepalaPusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH, Mastuki HS, sebagaimana dikutip dari situs http://sulteng.kemenag.go.id menga­ta­kan, UU JPH harus tetap berlaku pada 17 Oktober, tak perlu ditunda. Dia mengakui perangkat yang ada saat ini memang belum siap, na­munBPJPH sebagai pihak yang diamanahi UU mau tak mau harus siap.

BPJPH diakui akan mengerahkan semua jaringan dan sumber daya. Setidaknya 12 kementerian dan lembaga yang terkait langsung dengan persoalan halal yang siap membantu dan bersinergi, terutama dalam membantu layanan, sosialisasi, edukasi, dan fasilitasi sertifikasi halal. Intinya, BPJPH akan tetap jalan sambil menyelesaikan sejumlah aturan teknis sertifikasi halal yang tertuang dalam peraturan menteri agama (PMA).

Kita menantikan bagaimana sikap pemerintah menghadapi masalah ini. Akankah Presiden Jokowi menerbitkan produk hu­kum lain untuk menunda pemberlakuan UU JPH? Sebenarnya bisa saja Presiden menerbitkan keputusan presiden atau peraturan presiden, bahkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika memang dianggap perlu. Ini penting karena BPJPH memang harus benar-benar siap dulu. Sebaliknya, jikapun UU JPH tetap diberlakukan, pe­merintah juga tentu sudah menghitung segala risikonya. Pemerintah sebaiknya menggunakan pertimbangan rasional, bukan emosional, karena UU JPH ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0676 seconds (0.1#10.140)