Hakim Amoral, Hakim Terkutuk
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PEMBERITAAN dan kutukan sosial terhadap Syamsul Rakan Chaniago (SRC) telah viral di media sosial maupun media arus utama. SRC sebagai salah satu hakim yang mengadili kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dinilai bersalah.
Pertama, SRC masih tercatat sebagai pengacara di kantor pengacara Syamsul Rakan Chaniago & Associates pada saat menangani kasus BLBI. Kedua, SRC bertemu pengacara SAT yakni Ahmad Yani (AY) saat proses peradilan sedang ditanganinya. Ketiga, kontak dan pertemuan SRC dengan AY terekam CCTV, berlangsung di Plaza Indonesia, pada 28 Juni 2019 pukul 17.38 sampai pukul 18.30 WIB.
Atas fakta-fakta tersebut, maka berdasarkan Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 - 02 /BP/P-KY/09/2012, SRC dikenakan sanksi sedang oleh Mahkamah Agung (MA) berupa hakim nonpalu selama 6 (enam) bulan.
Spektakulerkah kasus ini? Ah, tidak. Sama sekali tidak. Kasus serupa banyak jumlahnya dan banyak pula variasi maupun dinamikanya. Dari dulu hingga sekarang, bahkan di tahun-tahun yang akan datang, masih rentan terjadi. Para pembelajar hukum, akademisi, maupun praktisi sudah paham masalah demikian. Dapat diprediksi, dalam waktu singkat, isunya segera menguap. Segalanya kembali berlangsung sebagaimana biasa. Seolah tak ada masalah serius. Sungguh tragis dan ironis. Haruskah tragedi demikian disikapi dengan pasrah dan diam?
Penulis ingin menyorot kasus ini dari perspektif sosiologi hukum dan wawasan sosial-kebangsaan. Ada beberapa catatan hukum sebagai bentuk sikap kritis yang pantas diketahui publik.
Pertama, layak diingat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para penggiat antikorupsi maupun publik kaget ketika SAT dibebaskan MA karena dinyatakan tidak terbukti korupsi. Bagai petir menyambar di siang bolong. Sungguh aneh, tak masuk akal, dan dipertanyakan alasan-alasan hakim SRC mengategorikan kasus tersebut sebagai perdata.
Janggal pula pendapat hakim lainnya (Mohamad Askin) yang menyatakan kasusnya tergolong masalah administrasi. Hanya hakim Salman Luthan yang berpendapat kasus tersebut tergolong korupsi. Karena kalah suara yakni satu dibanding dua, maka SAT bebas dari dakwaan korupsi. SAT, pengacaranya, dan kroni-kroninya tersenyum cerah, gembira ria atas vonis hakim kontroversial tersebut. Sebaliknya, bangsa ini secara keseluruhan sedih, prihatin, marah, dan mengutuknya.
Kedua, patut diapresiasi kinerja MA dan Komisi Yudisial (KY) atas keberhasilannya menangani pelanggaran etik hakim SRC. Melalui proses persidangan yang tidak/kurang terbuka, sampailah pada kesimpulan SRC dinyatakan bersalah. Karenanya, dijatuhkanlah sanksi kepadanya berupa hakim nonpalu selama enam bulan. Dipertanyakan, mengapa sedemikian rendah sanksinya?
Logikanya, sanksi berat (bila perlu dipecat) ditimpakan kepada SRC. Selain itu, kasus hukumnya perlu diusut tuntas. Pihak-pihak lain perlu diperiksa. Diduga, ada transaksi suap-menyuap. Mungkin sudah diberikan ataupun baru diperjanjikan.
Ketiga, kasus BLBI tergolong kasus besar. Banyak kerugian negara karena kasus ini. Banyak pula pejabat publik, elite penguasa, dan elite pengusaha diduga terlibat. Kasus demikian tidak mudah diselesaikan. KPK pun seakan kewalahan ketika harus berhadapan dengan kawanan koruptor yang berkolusi dengan oknum-oknum penguasa dan pejabat publik.
Keberanian dan keberhasilan KPK menyeret SAT di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) patut diapresiasi. Penjegalan di tingkat MA oleh hakim-hakim amoral layak dijadikan pelajaran berharga. Kasus BLBI tidak boleh direduksi menjadi kasus pelanggaran etik saja. Kasus BLBI sebagai kasus hukum (tindak pidana korupsi) wajib diusut tuntas. Kesalahan vonis terhadap SAT wajib ditinjau kembali. Persidangan tindak pidana korupsi harus sampai pada kebenaran materiilnya.
Keempat, pandangan hukum antara MA dan KY di satu pihak dengan KPK, penggiat antikorupsi, dan publik di lain pihak tampaknya berseberangan. MA dan KY terperangkap dalam pandangan hukum yang bersifat legal-positivistik dan pola penyelesaian kasus yang parsialistik.
Akibatnya, kasus yang sedemikian besar hanya tertangani sebagian kecil saja, yakni pelanggaran etik saja, sementara itu bagian besar lainnya menjadi tak jelas, kabur, dan rentan dihapus dari file perkara.
Lain halnya pada KPK, penggiat antikorupsi, dan publik senantiasa berkomitmen agar kasus BLBI diadili secara tuntas, tanpa pandang bulu. Karena itu, cara-cara penanganannya tidak cukup hanya legal-positivistik dan parsialistik, melainkan juga mesti dengan cara-cara extra ordinary, progresif, dan holistik.
Kelima, proses peradilan yang lazim berlangsung secara teknologis perlu dikawal agar tidak terjauhkan dari moralitas sosial-kebangsaan. Artinya, menerapkan peraturan perundang-undangan saja tidaklah cukup, melainkan perlu dimasukkan pula nilai-nilai kejujuran, cita-cita bangsa, serta pertimbangan masa depan bangsa.
Dengan kata lain, penanganan kasus BLBI tidak boleh berhenti pada pembuktian ada pelanggaran etik saja, melainkan wajib didasarkan pula pada suara hati, jeritan keadilan, dan moralitas sosial-kebangsaan.
Keenam, sinergitas dan progresivitas antara MA, KY, KPK, dan penegak hukum lain serta dan dukungan publik senantiasa diperlukan untuk penuntasan kasus BLBI maupun kasus-kasus korupsi lain. Kalau sampai hari-hari ini KPK dituding berjalan sendirian, sementara MA dan KY terkesan sekadar bekerja demi keselamatan diri, maka terkuaknya perilaku hakim amoral, hakim terkutuk, SRC, layak dijadikan momentum pembenahan dunia peradilan secara menyeluruh. Semoga.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PEMBERITAAN dan kutukan sosial terhadap Syamsul Rakan Chaniago (SRC) telah viral di media sosial maupun media arus utama. SRC sebagai salah satu hakim yang mengadili kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dinilai bersalah.
Pertama, SRC masih tercatat sebagai pengacara di kantor pengacara Syamsul Rakan Chaniago & Associates pada saat menangani kasus BLBI. Kedua, SRC bertemu pengacara SAT yakni Ahmad Yani (AY) saat proses peradilan sedang ditanganinya. Ketiga, kontak dan pertemuan SRC dengan AY terekam CCTV, berlangsung di Plaza Indonesia, pada 28 Juni 2019 pukul 17.38 sampai pukul 18.30 WIB.
Atas fakta-fakta tersebut, maka berdasarkan Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 - 02 /BP/P-KY/09/2012, SRC dikenakan sanksi sedang oleh Mahkamah Agung (MA) berupa hakim nonpalu selama 6 (enam) bulan.
Spektakulerkah kasus ini? Ah, tidak. Sama sekali tidak. Kasus serupa banyak jumlahnya dan banyak pula variasi maupun dinamikanya. Dari dulu hingga sekarang, bahkan di tahun-tahun yang akan datang, masih rentan terjadi. Para pembelajar hukum, akademisi, maupun praktisi sudah paham masalah demikian. Dapat diprediksi, dalam waktu singkat, isunya segera menguap. Segalanya kembali berlangsung sebagaimana biasa. Seolah tak ada masalah serius. Sungguh tragis dan ironis. Haruskah tragedi demikian disikapi dengan pasrah dan diam?
Penulis ingin menyorot kasus ini dari perspektif sosiologi hukum dan wawasan sosial-kebangsaan. Ada beberapa catatan hukum sebagai bentuk sikap kritis yang pantas diketahui publik.
Pertama, layak diingat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para penggiat antikorupsi maupun publik kaget ketika SAT dibebaskan MA karena dinyatakan tidak terbukti korupsi. Bagai petir menyambar di siang bolong. Sungguh aneh, tak masuk akal, dan dipertanyakan alasan-alasan hakim SRC mengategorikan kasus tersebut sebagai perdata.
Janggal pula pendapat hakim lainnya (Mohamad Askin) yang menyatakan kasusnya tergolong masalah administrasi. Hanya hakim Salman Luthan yang berpendapat kasus tersebut tergolong korupsi. Karena kalah suara yakni satu dibanding dua, maka SAT bebas dari dakwaan korupsi. SAT, pengacaranya, dan kroni-kroninya tersenyum cerah, gembira ria atas vonis hakim kontroversial tersebut. Sebaliknya, bangsa ini secara keseluruhan sedih, prihatin, marah, dan mengutuknya.
Kedua, patut diapresiasi kinerja MA dan Komisi Yudisial (KY) atas keberhasilannya menangani pelanggaran etik hakim SRC. Melalui proses persidangan yang tidak/kurang terbuka, sampailah pada kesimpulan SRC dinyatakan bersalah. Karenanya, dijatuhkanlah sanksi kepadanya berupa hakim nonpalu selama enam bulan. Dipertanyakan, mengapa sedemikian rendah sanksinya?
Logikanya, sanksi berat (bila perlu dipecat) ditimpakan kepada SRC. Selain itu, kasus hukumnya perlu diusut tuntas. Pihak-pihak lain perlu diperiksa. Diduga, ada transaksi suap-menyuap. Mungkin sudah diberikan ataupun baru diperjanjikan.
Ketiga, kasus BLBI tergolong kasus besar. Banyak kerugian negara karena kasus ini. Banyak pula pejabat publik, elite penguasa, dan elite pengusaha diduga terlibat. Kasus demikian tidak mudah diselesaikan. KPK pun seakan kewalahan ketika harus berhadapan dengan kawanan koruptor yang berkolusi dengan oknum-oknum penguasa dan pejabat publik.
Keberanian dan keberhasilan KPK menyeret SAT di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) patut diapresiasi. Penjegalan di tingkat MA oleh hakim-hakim amoral layak dijadikan pelajaran berharga. Kasus BLBI tidak boleh direduksi menjadi kasus pelanggaran etik saja. Kasus BLBI sebagai kasus hukum (tindak pidana korupsi) wajib diusut tuntas. Kesalahan vonis terhadap SAT wajib ditinjau kembali. Persidangan tindak pidana korupsi harus sampai pada kebenaran materiilnya.
Keempat, pandangan hukum antara MA dan KY di satu pihak dengan KPK, penggiat antikorupsi, dan publik di lain pihak tampaknya berseberangan. MA dan KY terperangkap dalam pandangan hukum yang bersifat legal-positivistik dan pola penyelesaian kasus yang parsialistik.
Akibatnya, kasus yang sedemikian besar hanya tertangani sebagian kecil saja, yakni pelanggaran etik saja, sementara itu bagian besar lainnya menjadi tak jelas, kabur, dan rentan dihapus dari file perkara.
Lain halnya pada KPK, penggiat antikorupsi, dan publik senantiasa berkomitmen agar kasus BLBI diadili secara tuntas, tanpa pandang bulu. Karena itu, cara-cara penanganannya tidak cukup hanya legal-positivistik dan parsialistik, melainkan juga mesti dengan cara-cara extra ordinary, progresif, dan holistik.
Kelima, proses peradilan yang lazim berlangsung secara teknologis perlu dikawal agar tidak terjauhkan dari moralitas sosial-kebangsaan. Artinya, menerapkan peraturan perundang-undangan saja tidaklah cukup, melainkan perlu dimasukkan pula nilai-nilai kejujuran, cita-cita bangsa, serta pertimbangan masa depan bangsa.
Dengan kata lain, penanganan kasus BLBI tidak boleh berhenti pada pembuktian ada pelanggaran etik saja, melainkan wajib didasarkan pula pada suara hati, jeritan keadilan, dan moralitas sosial-kebangsaan.
Keenam, sinergitas dan progresivitas antara MA, KY, KPK, dan penegak hukum lain serta dan dukungan publik senantiasa diperlukan untuk penuntasan kasus BLBI maupun kasus-kasus korupsi lain. Kalau sampai hari-hari ini KPK dituding berjalan sendirian, sementara MA dan KY terkesan sekadar bekerja demi keselamatan diri, maka terkuaknya perilaku hakim amoral, hakim terkutuk, SRC, layak dijadikan momentum pembenahan dunia peradilan secara menyeluruh. Semoga.
(shf)