Legislasi dan Partokrasi

Jum'at, 27 September 2019 - 08:15 WIB
Legislasi dan Partokrasi
Legislasi dan Partokrasi
A A A
A AHSIN THOHARIAlumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, JakartaKINERJA legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 mendapat sorotan negatif dari masyarakat luas karena kuantitas dan kualitas legislasi dinilai buruk. Legislasi “kejar tayang” di pengujung masa jabatan telah secara telanjang dipraktikkan oleh wakil rakyat yang terhormat dengan mengabaikan aspirasi publik dan kualitas pembahasan. Maka itu, amat dapat dipahami jika publik menolak pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).Revisi UU KPK disahkan setelah dua kali rapat pembahasan tertutup di Panitia Kerja DPR. RKUHP juga dibahas Panitia Kerja DPR dan pemerintah secara tertutup. Akan tetapi, RKUHP belum disahkan atas permintaan Presiden Joko Widodo. Pada sisi lain, ada RUU yang dinanti publik, tetapi anehnya tak kunjung disahkan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.Legislasi (Tidak) PartisipatifPepatah Latin menyatakan bahwa nihil de nobis, sine nobis (Inggris: nothing about us, without us). Aforisme yang menjadi moto reformasi politik di Polandia pada 1505 itu kurang lebih berarti “tiada tentang kita, tanpa kita”. Slogan yang lahir dalam latar politik pemindahan sebagian besar otoritas pemerintahan dari raja ke parlemen itu sejatinya ingin menganjurkan ide bahwa tidak ada kebijakan yang boleh diputuskan oleh lembaga perwakilan tanpa partisipasi penuh dan langsung dari anggota masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan itu.Gagasan ini tentunya senapas dengan ajaran kedaulatan rakyat yang menempatkan rakyat sebagai sumber utama kekuasaan publik dan otoritas pemerintah. Oleh karena itu, kehendak rakyat menjadi elemen terpenting dalam pelaksanaan fungsi legislasi parlemen sebagai aktualisasi demokrasi perwakilan. Dengan demikian, seluruh kebijakan yang akan dibuat parlemen melalui kewenangan legislasi tidak boleh kedap suara dari opini publik.Keberadaan opini publik dalam proses legislasi amat substansial karena legislasi yang baik adalah yang mewakili kehendak publik demi kemaslahatan bersama dalam tata kehidupan demokratis. Pada titik inilah, partisipasi publik menemukan justifikasinya dalam proses legislasi.Partisipasi publik dalam legislasi penting bukan sekadar alasan akuntabilitas dan transparansi kinerja parlemen. Lebih dari itu, terdapat hal-hal lain yang juga esensial: pengambilan keputusan dalam legislasi yang lebih transparan dan representatif; meningkatkan kepercayaan publik terhadap parlemen; serta memperkuat legitimasi dan tanggung jawab bersama atas sebuah keputusan yang diambil. Berdasarkan alasan itu semua, legislasi yang tidak partisipatif sesungguhnya adalah pengingkaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi.Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun mengakui eksistensi partisipasi publik sebagai perwujudan asas keterbukaan. Asas keterbukaan ini mengharuskan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Semua itu dimaksudkan agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan.Perangkap PartokrasiDalam rancang bangun presidensialisme kita, legislasi adalah arena kontestasi politik antara DPR dan presiden, karena masing-masing memegang separuh kuasa legislasi. DPR dan presiden adalah dua sisi dari sekeping koin legislasi yang sama. Gaya tarik dua kekuasaan itu amat determinan dalam politik legislasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Giovanni Sartori (1997) yang melihat bahwa problem sesungguhnya dalam presidensialisme adalah terletak pada arena legislatif, bukan eksekutif.Celakanya, gaya tarik keduanya itu kini diperburuk oleh sistem kepartaian majemuk dengan segenap aneka kepentingan politik yang dikendalikan oleh sekumpulan kecil pengurus pusatnya. Partai politik adalah sumber kredensial politik, tempat aman untuk berlindung, dan penyuplai tunggal kader bagi DPR dan presiden. Dalam format demikian, fungsi legislasi yang dalam konteks Indonesia adalah pembentukan undang-undang yang mengharuskan persetujuan bersama DPR dan presiden sejatinya telah terperangkap dalam partitokrasi atau partokrasi.Partokrasi adalah keadaan di mana partai politik telah terjerumus dalam kultur oligarki yang hanya menampilkan segelintir elite yang berkuasa dalam percaturan kekuasaan, sehingga arah kebijakannya lebih tunduk pada sedikit autokrat ketimbang pada rakyat banyak. Elite partai politik hidup nyaman di menara gading yang selalu mendapatkan pelayanan utama dalam pelaksanaan fungsi legislasi DPR dengan persetujuan bersama presiden saat masyarakat yang terkena imbas negatif fungsi legislasi itu terabaikan kepentingannya.Perangkap partokrasi yang membiaskan fungsi legislasi DPR bersama dengan presiden ini sesungguhnya dapat diminimalisasi dengan membudayakan demokrasi internal partai politik (intra-party democracy) yang memungkinkan proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan partai politik secara inklusif, egaliter, dan deliberatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik.Tidak salah jika sistem integritas partai politik yang dibuat oleh KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menempatkan demokrasi internal partai politik sebagai salah satu komponen pengukuran indikator sistem integritas partai politik agar menjadi lembaga yang akuntabel. Dinamika demokrasi internal partai politik berkaitan erat dengan kontribusi partai politik pada sistem politik. Bagaimanapun, pelembagaan demokrasi internal partai politik menjadi keniscayaan dalam upaya pelembagaan sistem demokrasi yang substansial secara keseluruhan di negeri ini.Partai politik harus selalu menginsafi bahwa sebagai lembaga publik, selain sebagai lembaga privat, ia mesti melaksanakan peran publiknya dengan menjadikan dirinya sebagai saluran partisipasi dan aspirasi politik warga negara serta merumuskan dan memperjuangkan alternatif kebijakan publik. Dengan keinsafan seperti ini, legislasi kita dapat terbebas dari perangkap partokrasi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0903 seconds (0.1#10.140)