Keputusan Jokowi Menunda Pengesahan RUU KUHP Dinilai Kontraproduktif
A
A
A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta menunda pengesahan RUU KUHP untuk sementara waktu agar dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya mengundang tanda tanya publik.
"Perlu diketahui, dalam membentuk sebuah undang-undang itu mensyaratkan keterlibatan dua cabang kekuasaan. DPR bersama-sama dengan Presiden. Dalam hal ini Presiden diwakili para menterinya," kata Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Selasa (24/9/2019).
Apalagi, RUU KUHP itu inisiatif dari pemerintah, maka draft RUU itu logikanya berasal dari pemerintah. Sehingga seharusnya pro kontra RUU KUHP itu tidak perlu terjadi, apalagi harus ditunda segala jika sejak dari prosesnya Presiden mengontrol penuh jalannya pembahasan RUU KUHP tersebut.
"Jujur saja, pernyataan Presiden diujung pembahasan begini agak rancu dalam logika saya, ini kontraproduktif. Toh sedari awal pemerintah bisa kok memberi batasan dan ide-idenya kepada DPR agar dimasukan dalam RUU. Ini kok diujung begini saat publik berteriak menolak rancangan produk hukum tersebut," ujarnya.
Jika diamati lebih dalam, RUU KUHP ini dinilai banyak mengandung pasal-pasal yang kontroversial. Di antaranya adalah pasal penghinaan presiden yang sedari dulu telah dinyatakan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) inkonstitusional.
Sehingga, pernyataan Presiden untuk menunda ini terkesan seperti pahlawan kesiangan. Logikanya tidak perlu ada penundaan sesuatu jika sejak awal Presiden memang ingin RUU ini dirancang sesuai kehendak dan logika hukum yang tepat.
"Beda ceritanya kalau Presiden tidak diberi kewenangan apapun untuk terlibat dalam pembahasan undang-undang," tutur dia.
Menurut Sulthan, sikap penundaan ini cukup memberi waktu bagi publik untuk mengkritisinya secara komprehensif. Karena Hukum pidana itu mengikat semua pihak dan akan mengatur relasi antar sesama warga negara juga dengan negaranya.
Sehingga tidak ada satu orang pun yang akan luput dari ketentuan ini. Maka mata publik pun harus benar-benar teliti dalam melihat RUU KUHP ini.
"Atas kelalaian pemerintah saya pikir publik tidak perlu juga untuk berterima kasih segala pada Presiden. Tolong logika nya jangan dibolak-balik. Oleh karena itu RUU KUHP yang kontroversial ini layak untuk ditolak guna dilakukan pembahasan ulang secara mendalam. Kita mendorong segera lahir UU pidana produk Indonesia tapi tolong pasal-pasalnya jangan malah lebih buruk dari produk Belanda," imbuhnya.
"Perlu diketahui, dalam membentuk sebuah undang-undang itu mensyaratkan keterlibatan dua cabang kekuasaan. DPR bersama-sama dengan Presiden. Dalam hal ini Presiden diwakili para menterinya," kata Sulthan saat dihubungi SINDOnews, Selasa (24/9/2019).
Apalagi, RUU KUHP itu inisiatif dari pemerintah, maka draft RUU itu logikanya berasal dari pemerintah. Sehingga seharusnya pro kontra RUU KUHP itu tidak perlu terjadi, apalagi harus ditunda segala jika sejak dari prosesnya Presiden mengontrol penuh jalannya pembahasan RUU KUHP tersebut.
"Jujur saja, pernyataan Presiden diujung pembahasan begini agak rancu dalam logika saya, ini kontraproduktif. Toh sedari awal pemerintah bisa kok memberi batasan dan ide-idenya kepada DPR agar dimasukan dalam RUU. Ini kok diujung begini saat publik berteriak menolak rancangan produk hukum tersebut," ujarnya.
Jika diamati lebih dalam, RUU KUHP ini dinilai banyak mengandung pasal-pasal yang kontroversial. Di antaranya adalah pasal penghinaan presiden yang sedari dulu telah dinyatakan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) inkonstitusional.
Sehingga, pernyataan Presiden untuk menunda ini terkesan seperti pahlawan kesiangan. Logikanya tidak perlu ada penundaan sesuatu jika sejak awal Presiden memang ingin RUU ini dirancang sesuai kehendak dan logika hukum yang tepat.
"Beda ceritanya kalau Presiden tidak diberi kewenangan apapun untuk terlibat dalam pembahasan undang-undang," tutur dia.
Menurut Sulthan, sikap penundaan ini cukup memberi waktu bagi publik untuk mengkritisinya secara komprehensif. Karena Hukum pidana itu mengikat semua pihak dan akan mengatur relasi antar sesama warga negara juga dengan negaranya.
Sehingga tidak ada satu orang pun yang akan luput dari ketentuan ini. Maka mata publik pun harus benar-benar teliti dalam melihat RUU KUHP ini.
"Atas kelalaian pemerintah saya pikir publik tidak perlu juga untuk berterima kasih segala pada Presiden. Tolong logika nya jangan dibolak-balik. Oleh karena itu RUU KUHP yang kontroversial ini layak untuk ditolak guna dilakukan pembahasan ulang secara mendalam. Kita mendorong segera lahir UU pidana produk Indonesia tapi tolong pasal-pasalnya jangan malah lebih buruk dari produk Belanda," imbuhnya.
(cip)