DPR Desak Tindak Tegas Korporasi Pembakar Hutan
A
A
A
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Riau dan Kalimantan sudah sangat membahayakan. Akibat asap tebal, korban pun terus berjatuhan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 90% penyebab karhutla akibat ulah manusia.
Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin mengatakan, melihat data yang dibeberkan BNPB, diduga kuat kebakaran yang terjadi saat ini bukan murni karena kemarau panjang, tapi ada oknum yang sengaja melakukan pembakaran hutan.
"Sebenarnya yang terjadi ini bukan kebakaran, tapi pembakaran karena data BNPB kebakaran disebabkan 90% (ulah) manusia. Ada kesengajaan. Di bulan 5-6, pemerintah sudah diingatkan akan terjadi kemarau panjang sehingga rentan kebakaran," ujar Andi dalam Diskusi Forum Legislasi bertajuk "Karhutla Kian Luas, Apa Kabar Revisi UU PPLH?" di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (17/9/2019).
Saat ini yang perlu diusut adalah keterlibatan korporasi besar di belakang kasus pembakaran hutan. "Bukan cuma oknum yang membakar, tapi siapa oknum di belakang ini. Bagaimana menangkap korporasi yang besar ini. Data KPK ada jutaan hektare hutan kita terjadi perambahan hutan ilegal. Itu potensi kerugian ribuan triliun. Di sana ada potensi penyalahgunaan izin, perambahan hutan, kerusakan hutan," tutur politikus PKS ini.
Menurutnya, ada 59 juta hektare lahan hutan rusak sementara deforestasi hanya sekitar 1,9 juta hektare. "Ini kita sangat prihatin karena kebakaran yang terjadi menyebabkan jutaan saudara kita di Sumatera, Kalimantan, Riau, asapnya sudah pada tahap membahayakan," urainya.
Dikatakan Andi, seharusnya pihak-pihak terkait berani membuka ke publik dimana saja spot-spot yang menjadi titik awal kebakaran. Hal ini harus diungkap karena akan terlacak perusahaan-perusahaan besar yang menjadi biang kerok kebakaran.
"Titik kebakaran, di spot mana, berani nggak diungkap ke publik? Perusahaan mana saja. Selama ini perusahaan besar karena punya koneksi dan bukti-bukti yang dibawa ke pengadilan lemah sehingga tidak bisa diusut. Jadi harus ada tindakan tegas," pintanya.
Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebenarnya sudah ada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum. "Nah, berani nggak menindak perusahaan korporasi. Banyak sekali perusahaan besar yang melakukan perambahan hutan yang dilindungi," tuturnya.
Kerusakan hutan yang terjadi akibat kebakaran tidak kalah besar dengan masalah-masalah lain seperti kasus korupsi. "Jadi harus ada keinginan, political will dalam menegakkan hukum lingkungan. Banyak perusahaan yang melanggar, tapi Badan Lestari Gambut, belum lihat peranannya," katanya.
Karena itu, kata Andi, jika nantinya ada usulan revisi UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Komisi IV DPR akan sangat mendukungnya. "Bila perlu ada Undang-Undang Khusus Kebakaran Hutan," urainya.
Hal yang menyedihkan, kata Andi, anggaran kebakaran di satu Ditjen hanya Rp200 miliar. Sementara anggaran KLHK mencapai Rp8 triliun. "Ini pemadaman kebakaran gambut kan sulit. Target restorasi gambut juga tidak tercapai," katanya.
Andi menyebutkan, penanganan kebakaran pada 2015 dan 2019 ini berbeda. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, sebenarnya pencegahan sudah dilakukan dengan sangat bagus.
"Di 2019 ini pencegahan tidak dilaksanakan. Ditambah lagi koordinasi pemerintah daerah tidak maksimal sehingga kita melihat koordinasi antarinstansi sangat lemah. BNPB undang kepala daerah juga banyak yang tak hadir," urainya.
Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin mengatakan, melihat data yang dibeberkan BNPB, diduga kuat kebakaran yang terjadi saat ini bukan murni karena kemarau panjang, tapi ada oknum yang sengaja melakukan pembakaran hutan.
"Sebenarnya yang terjadi ini bukan kebakaran, tapi pembakaran karena data BNPB kebakaran disebabkan 90% (ulah) manusia. Ada kesengajaan. Di bulan 5-6, pemerintah sudah diingatkan akan terjadi kemarau panjang sehingga rentan kebakaran," ujar Andi dalam Diskusi Forum Legislasi bertajuk "Karhutla Kian Luas, Apa Kabar Revisi UU PPLH?" di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (17/9/2019).
Saat ini yang perlu diusut adalah keterlibatan korporasi besar di belakang kasus pembakaran hutan. "Bukan cuma oknum yang membakar, tapi siapa oknum di belakang ini. Bagaimana menangkap korporasi yang besar ini. Data KPK ada jutaan hektare hutan kita terjadi perambahan hutan ilegal. Itu potensi kerugian ribuan triliun. Di sana ada potensi penyalahgunaan izin, perambahan hutan, kerusakan hutan," tutur politikus PKS ini.
Menurutnya, ada 59 juta hektare lahan hutan rusak sementara deforestasi hanya sekitar 1,9 juta hektare. "Ini kita sangat prihatin karena kebakaran yang terjadi menyebabkan jutaan saudara kita di Sumatera, Kalimantan, Riau, asapnya sudah pada tahap membahayakan," urainya.
Dikatakan Andi, seharusnya pihak-pihak terkait berani membuka ke publik dimana saja spot-spot yang menjadi titik awal kebakaran. Hal ini harus diungkap karena akan terlacak perusahaan-perusahaan besar yang menjadi biang kerok kebakaran.
"Titik kebakaran, di spot mana, berani nggak diungkap ke publik? Perusahaan mana saja. Selama ini perusahaan besar karena punya koneksi dan bukti-bukti yang dibawa ke pengadilan lemah sehingga tidak bisa diusut. Jadi harus ada tindakan tegas," pintanya.
Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebenarnya sudah ada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum. "Nah, berani nggak menindak perusahaan korporasi. Banyak sekali perusahaan besar yang melakukan perambahan hutan yang dilindungi," tuturnya.
Kerusakan hutan yang terjadi akibat kebakaran tidak kalah besar dengan masalah-masalah lain seperti kasus korupsi. "Jadi harus ada keinginan, political will dalam menegakkan hukum lingkungan. Banyak perusahaan yang melanggar, tapi Badan Lestari Gambut, belum lihat peranannya," katanya.
Karena itu, kata Andi, jika nantinya ada usulan revisi UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Komisi IV DPR akan sangat mendukungnya. "Bila perlu ada Undang-Undang Khusus Kebakaran Hutan," urainya.
Hal yang menyedihkan, kata Andi, anggaran kebakaran di satu Ditjen hanya Rp200 miliar. Sementara anggaran KLHK mencapai Rp8 triliun. "Ini pemadaman kebakaran gambut kan sulit. Target restorasi gambut juga tidak tercapai," katanya.
Andi menyebutkan, penanganan kebakaran pada 2015 dan 2019 ini berbeda. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, sebenarnya pencegahan sudah dilakukan dengan sangat bagus.
"Di 2019 ini pencegahan tidak dilaksanakan. Ditambah lagi koordinasi pemerintah daerah tidak maksimal sehingga kita melihat koordinasi antarinstansi sangat lemah. BNPB undang kepala daerah juga banyak yang tak hadir," urainya.
(cip)