Revisi KUHP, Delik Aduan Zina dan Kumpul Kebo Diperluas

Senin, 16 September 2019 - 15:17 WIB
Revisi KUHP, Delik Aduan Zina dan Kumpul Kebo Diperluas
Revisi KUHP, Delik Aduan Zina dan Kumpul Kebo Diperluas
A A A
JAKARTA - Panitia Kerja (Panja) DPR dan pemerintah telah menyelesaikan pembahasan dan perumusan Revisi Kitab Undang-Undang Hukup Pidana (KUHP) pada Minggu 15 September 2019, malam kemarin.

Anggota Panja Revisi KUHP Arsul Sani menjelaskan, ada beberapa hal yang disempurnakan, salah satunya soal perzinahan dan cohabitation atau kumpul kebo yang delik aduannya diperluas.

"Tadi malam kami juga menyelesaikan pembahasan dan perumusan revisi KUHP. Tinggal kemudian kami menyempurnakan beberapa penjelasan pasal," kata Arsul Sani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).

"Tetapi kalau urusan politik hukumnya, urusan substansinya, revisi KUHP sudah selesai. Yang belum tinggal tentu ada benerpa soal redaksional dan ini lebih kita serahkan kepada ahli bahasa," sambungnya.

(Baca juga: Tak Dilibatkan, Agus Rahardjo Khawatir Revisi UU Lemahkan KPK)

Kemudian lanjut Arsul, ada beberapa pasal yang membutuhkan lennelasan karena pasal tersebut merupakan politik hukum sehingga, pagarnya jelas dan tidak menjadi pasal karet. Seperti misalnya, pasal yang menyangkut kesusilaan yang di dalamnya terdapat ketentuan perzinahan, kumpul kebo dan perbuatan cabul, termasuk juga yang melibatkan sesama jenis.

"Ini kita beri juga batasan. Untuk perzinahan dan juga cohabitation (kumpul kebo) atau hidup bersama, itu disepakati bahwa ini merupakan delik aduan. Hanya yang mengadu diperluas dari KUHP yang ada sekarang. KUHP yang ada sekarang kan kalau perzinahan (yang bisa mengadukan) hanya suami atau istri. Ini kita perluas menjadi orang tua dan anaknya," terang Arsul.

Sementara lanjut Arsul, pencabulan itu masuk delik biasa. Dan alasan perzinahan hanya pihak keluarga yang boleh mengadukan karena dianggap membahayakan bagi pihak keluarga atau individual damage. Sementara kumpul kebo itu masyarakat di sekitarkan ikut dirugikan.

"Kalau di Islam, kalau ada orang berzinah terus menerus, malaikat itu enggak mau menyapa 40 rumah yang ada di sekitar situ, kiri kanan depan belakang, begitu katanya," terangnya.

Menurut dia, justru ketentuan ini untuk mencegah penghakiman sosial di masyarakat. Kalau tidak ada pasal itu, justru pelaku rawan dipersekusi. Dan keterlibatan kepala desa dan sejenisnya itu bisa masuk jika pihak keluarga mengizinkan.

"Kalau ini mau dipersekusi kan polisinya bisa nindak 'eh kamu enggak boleh main hakim sendiri, ada aturannya ini, pasal itu'," imbuh Arsul.

(Baca juga: Jokowi Ingatkan Tak Ada Istilah Pengembalian Mandat di UU KPK)

Dengan demikian, sambungnya, Tenaga Ahli (TA) dari DPR dan pemerintah, serta ahli bahasa sedang memperbaiki hal-hal yang sifatnya redaksional dan menyempurnakan kalimat penjelasan.

Setelah rampung, baru diselesaikan di Komisi III paa forum pengambilan putusan tingkat I, dibahas dalam rapat Pleno Komisi III DPR lalu dibawa ke paripurna DPR untuk pengambilan putusan tingkat II.

"Selesai. Terus baru dibawa ke paripurna. Apakah paripurna terakhir atau sebelum terakhir itu nanti kita lihat," tutur politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Ditanya soal alasan rapat Rervisi KUHP yang selalu tertutup, Arsul berdalih bahwa ini merupakan rapat perumusan, berbeda dengan rapat pembahasan yang bisa dibuat terbuka karena ada persebatan di dalamnya.

Menurutnya, kalau masuk tahapan Tim Perumus (Timus) maka pembahasan sudah selesai. Dan pembahasan ini sudah berlangsung bertahun-tahun sejak awal DPR periode sekarang.

"Artinya secara politik hukum, kita semua sudah sepakat itu harus ada. Ini kan cuma teman-tenan merumuskan. Semua mau tahu aja. Itu teman-teman LSM mengkritisi. Yang kedua, ini akhir pekan, tidak bisa di sini rapatnya. Gitu lho," tandasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4810 seconds (0.1#10.140)