KPK di Ujung Tanduk?
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PEMBERANTASAN korupsi ini di negeri ini dapat digambarkan sebagai pertandingan sepak bola. KPK adalah satu tim sedangkan koruptor tim lainnya. Keduanya bertemu untuk saling mengalahkan. Tentu siapa kuat dan cerdik akan keluar sebagai pemenang, dan siapa lemah serta bodoh menjadi korbannya (kalah).
Selama ini tim KPK banyak keluar sebagai pemenang. Gol-gol dibuatnya. Fakta ditunjukkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa anggota DPR dan DPRD (total 255 perkara) ditambah kepala daerah (110 perkara) telah ditangkap KPK. Kasus-kasus korupsi banyak terkait dengan ratusan proyek pemerintah dan perizinan bernilai triliunan rupiah, Jumat (6/9/2019).
Tampaknya, tim koruptor tak mau menyerah, bertobat, jera, dan tidak mengulangi korupsinya. Setelah pemilihan presiden dan pemilihan legislatif (pilpres dan pileg), digunakannya sebagai momentum untuk konsolidasi dan mengatur strategi serangan balik agar lima tahun perjalanan pemerintahan ke depan, korupsi sulit diungkap, pelakunya sulit ditangkap, dan kalaupun tertangkap mudah dilepaskan kembali.
Dalam pandangan koruptor, untuk semua itu, maka KPK perlu dilemahkan. Pelemahannya dengan cara mengebiri wewenang-wewenangnya melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK. Setidaknya, tiga strategi baru diupayakan masuk dalam aturan main, yakni (1) KPK tidak mudah melakukan penyadapan; (2) KPK tidak boleh melakukan operasi tangkap tangan (OTT); dan (3) KPK dapat mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).
Selain itu, untuk mendukung strategi tersebut, para calon koruptor ataupun koruptor yang masih gentayangan berupaya menggalang kekuatan baru dengan cara bermitra, bersekongkol, berkolusi, dengan politikus, dan/atau pebisnis, dan/atau aparat penegak hukum, dan/atau aparat keamanan. Kolaborasi antara koruptor dengan berbagai pihak itu dulu tidak bersifat permanen. Kini melalui revisi UU KPK mau dipermanenkan.
Dihadapkan pada perilaku licik, licin, dan lucu para koruptor itu, KPK dan publik menjadi gelisah serta resah. Jangan-jangan, lembaga ataupun aparat penegak hukum sudah terperangkap dalam permainan kotor (tidak sportif) yang dimotori oknum pejabat di DPR.
Jikalau sportivitas dan integritas penegak hukum sudah luntur, pemberantasan korupsi akan banyak diwarnai permainan, kepalsuan, atau simulakrum. Apa yang diperjuangkannya, bukan mengawal pemberantasan korupsi supaya efektif dan produktif, melainkan sekadar menggeser substansi korupsi menjadi isu-isu pinggiran. Fokusnya, bukannya pembersihan negeri dari korupsi, melainkan terbebasnya koruptor dari segala jerat hukum.
KPK dalam posisinya sebagai pelaksana UU, seakan tak berdaya berhadapan dengan lembaga pembuat UU ketika pada keduanya berseberangan dalam soal pemberantasan korupsi. Ketika UU KPK (baik pembuatan, revisi, pelaksanaan, maupun penegakannya) diintervensi permainan koruptor, maka setiap keputusan hukum (misal soal: eksistensi dan fungsi KPK, vonis praperadilan, vonis pengadilan tipikor, dan sebagainya) menjadi terkontaminasi perbuatan-perbuatan haram, bahkan terkendali sikap dan perilaku koruptor (JF Lyotard dalam Just Gaming, 1990).
Bila materi-materi perubahan yang digagas DPR benar-benar menjadi substansi UU KPK, sangat dikhawatirkan, ke depan, KPK tak ubahnya macan ompong. Pemberantasan korupsi pun menjadi fatamorgana belaka.
Ambivalensi dan distorsi peran hukum untuk pemberantasan korupsi menjadi tak terhindarkan. Bisa diprediksi, bila penegak hukum (KPK, polisi, jaksa, pengacara, hakim) dalam pemberantasan korupsi tidak istiqomah, tidak memiliki komitmen tinggi, dan tidak diniatkan ikhlas dalam beribadah, maka mereka rentan terjerumus ke dalam kancah kemunafikan, hanya mampu memproduksi keadilan palsu (virtual justice).
Ujian demi ujian terus ditimpakan pada KPK. Pelemahan terhadap KPK datang bertubi-tubi. Wajar, KPK dan seluruh pegiat antikorupsi mereaksi kehendak DPR merevisi UU KPK. Padahal KPK selama ini tidak merasa ada masalah dengan UU KPK. Tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya mampu dilaksanakan dengan baik.
Kalaupun selama ini kinerjanya dinilai masih belum optimal, hal demikian bukan disebabkan lemahnya UU KPK, melainkan karena berbagai sebab lain. Kalaupun KPK perlu penguatan, bukanlah dengan cara-cara yang digagas DPR, melainkan dengan cara perluasan wewenang, penambahan personal, dukungan politik, tambahan dana, maupun pembaruan konsep korupsi itu sendiri.
Perihal pembaruan konsep korupsi dapatlah dijelaskan bahwa selama ini korupsi hanya diartikan sebagai "perbuatan yang merugikan keuangan negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya" saja. Pengertian korupsi demikian itu terlalu sempit, dangkal, dan tidak menyentuh akar masalahnya.
Oleh karena itu, perlu dimasukkan korupsi kekuasaan, yakni penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, ceroboh, melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar, bekerja asal-asalan, tidak peduli perasaan rakyat, dan segalanya, menjadikan rakyat menderita serta negara berada di jurang kehancuran (Satjipto Rahardjo, dalam Jangan Abaikan Korupsi Kekuasaan, 2010).
Korupsi kekuasaan ini diyakini justru lebih ganas dan menjadi embrio munculnya korupsi uang negara. Memberantas korupsi uang negara tanpa memberantas korupsi kekuasaan, tak ubahnya memotong ranting-ranting berbenalu tanpa menyentuh akar dan pohon yang sudah keropos dimakan rayap. Memasukkan korupsi kekuasaan dalam UU KPK bisa dipastikan menjadi kontribusi berharga bagi penguatan KPK maupun akselerasi pemberantasan korupsi seluruhnya.
UU KPK bukanlah segalanya. Di luar itu masih ada hukum alam, sunatullah . Sehebat apapun kekuatan KPK dilemahkan melalui rekayasa UU KPK, aroma busuknya perilaku koruptor pasti menyebar ke publik. Kejahatan politik dan bisnis pasti terungkap, pasti teradili. Siapa salah pasti salah, siapa jujur pasti mujur. Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
PEMBERANTASAN korupsi ini di negeri ini dapat digambarkan sebagai pertandingan sepak bola. KPK adalah satu tim sedangkan koruptor tim lainnya. Keduanya bertemu untuk saling mengalahkan. Tentu siapa kuat dan cerdik akan keluar sebagai pemenang, dan siapa lemah serta bodoh menjadi korbannya (kalah).
Selama ini tim KPK banyak keluar sebagai pemenang. Gol-gol dibuatnya. Fakta ditunjukkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa anggota DPR dan DPRD (total 255 perkara) ditambah kepala daerah (110 perkara) telah ditangkap KPK. Kasus-kasus korupsi banyak terkait dengan ratusan proyek pemerintah dan perizinan bernilai triliunan rupiah, Jumat (6/9/2019).
Tampaknya, tim koruptor tak mau menyerah, bertobat, jera, dan tidak mengulangi korupsinya. Setelah pemilihan presiden dan pemilihan legislatif (pilpres dan pileg), digunakannya sebagai momentum untuk konsolidasi dan mengatur strategi serangan balik agar lima tahun perjalanan pemerintahan ke depan, korupsi sulit diungkap, pelakunya sulit ditangkap, dan kalaupun tertangkap mudah dilepaskan kembali.
Dalam pandangan koruptor, untuk semua itu, maka KPK perlu dilemahkan. Pelemahannya dengan cara mengebiri wewenang-wewenangnya melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK. Setidaknya, tiga strategi baru diupayakan masuk dalam aturan main, yakni (1) KPK tidak mudah melakukan penyadapan; (2) KPK tidak boleh melakukan operasi tangkap tangan (OTT); dan (3) KPK dapat mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).
Selain itu, untuk mendukung strategi tersebut, para calon koruptor ataupun koruptor yang masih gentayangan berupaya menggalang kekuatan baru dengan cara bermitra, bersekongkol, berkolusi, dengan politikus, dan/atau pebisnis, dan/atau aparat penegak hukum, dan/atau aparat keamanan. Kolaborasi antara koruptor dengan berbagai pihak itu dulu tidak bersifat permanen. Kini melalui revisi UU KPK mau dipermanenkan.
Dihadapkan pada perilaku licik, licin, dan lucu para koruptor itu, KPK dan publik menjadi gelisah serta resah. Jangan-jangan, lembaga ataupun aparat penegak hukum sudah terperangkap dalam permainan kotor (tidak sportif) yang dimotori oknum pejabat di DPR.
Jikalau sportivitas dan integritas penegak hukum sudah luntur, pemberantasan korupsi akan banyak diwarnai permainan, kepalsuan, atau simulakrum. Apa yang diperjuangkannya, bukan mengawal pemberantasan korupsi supaya efektif dan produktif, melainkan sekadar menggeser substansi korupsi menjadi isu-isu pinggiran. Fokusnya, bukannya pembersihan negeri dari korupsi, melainkan terbebasnya koruptor dari segala jerat hukum.
KPK dalam posisinya sebagai pelaksana UU, seakan tak berdaya berhadapan dengan lembaga pembuat UU ketika pada keduanya berseberangan dalam soal pemberantasan korupsi. Ketika UU KPK (baik pembuatan, revisi, pelaksanaan, maupun penegakannya) diintervensi permainan koruptor, maka setiap keputusan hukum (misal soal: eksistensi dan fungsi KPK, vonis praperadilan, vonis pengadilan tipikor, dan sebagainya) menjadi terkontaminasi perbuatan-perbuatan haram, bahkan terkendali sikap dan perilaku koruptor (JF Lyotard dalam Just Gaming, 1990).
Bila materi-materi perubahan yang digagas DPR benar-benar menjadi substansi UU KPK, sangat dikhawatirkan, ke depan, KPK tak ubahnya macan ompong. Pemberantasan korupsi pun menjadi fatamorgana belaka.
Ambivalensi dan distorsi peran hukum untuk pemberantasan korupsi menjadi tak terhindarkan. Bisa diprediksi, bila penegak hukum (KPK, polisi, jaksa, pengacara, hakim) dalam pemberantasan korupsi tidak istiqomah, tidak memiliki komitmen tinggi, dan tidak diniatkan ikhlas dalam beribadah, maka mereka rentan terjerumus ke dalam kancah kemunafikan, hanya mampu memproduksi keadilan palsu (virtual justice).
Ujian demi ujian terus ditimpakan pada KPK. Pelemahan terhadap KPK datang bertubi-tubi. Wajar, KPK dan seluruh pegiat antikorupsi mereaksi kehendak DPR merevisi UU KPK. Padahal KPK selama ini tidak merasa ada masalah dengan UU KPK. Tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya mampu dilaksanakan dengan baik.
Kalaupun selama ini kinerjanya dinilai masih belum optimal, hal demikian bukan disebabkan lemahnya UU KPK, melainkan karena berbagai sebab lain. Kalaupun KPK perlu penguatan, bukanlah dengan cara-cara yang digagas DPR, melainkan dengan cara perluasan wewenang, penambahan personal, dukungan politik, tambahan dana, maupun pembaruan konsep korupsi itu sendiri.
Perihal pembaruan konsep korupsi dapatlah dijelaskan bahwa selama ini korupsi hanya diartikan sebagai "perbuatan yang merugikan keuangan negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya" saja. Pengertian korupsi demikian itu terlalu sempit, dangkal, dan tidak menyentuh akar masalahnya.
Oleh karena itu, perlu dimasukkan korupsi kekuasaan, yakni penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, ceroboh, melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar, bekerja asal-asalan, tidak peduli perasaan rakyat, dan segalanya, menjadikan rakyat menderita serta negara berada di jurang kehancuran (Satjipto Rahardjo, dalam Jangan Abaikan Korupsi Kekuasaan, 2010).
Korupsi kekuasaan ini diyakini justru lebih ganas dan menjadi embrio munculnya korupsi uang negara. Memberantas korupsi uang negara tanpa memberantas korupsi kekuasaan, tak ubahnya memotong ranting-ranting berbenalu tanpa menyentuh akar dan pohon yang sudah keropos dimakan rayap. Memasukkan korupsi kekuasaan dalam UU KPK bisa dipastikan menjadi kontribusi berharga bagi penguatan KPK maupun akselerasi pemberantasan korupsi seluruhnya.
UU KPK bukanlah segalanya. Di luar itu masih ada hukum alam, sunatullah . Sehebat apapun kekuatan KPK dilemahkan melalui rekayasa UU KPK, aroma busuknya perilaku koruptor pasti menyebar ke publik. Kejahatan politik dan bisnis pasti terungkap, pasti teradili. Siapa salah pasti salah, siapa jujur pasti mujur. Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti. Wallahualam.
(shf)