Enam Poin Ini Bisa Jadi Pertimbangan Jokowi Tolak Revisi UU KPK

Rabu, 11 September 2019 - 09:44 WIB
Enam Poin Ini Bisa Jadi...
Enam Poin Ini Bisa Jadi Pertimbangan Jokowi Tolak Revisi UU KPK
A A A
JAKARTA - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menganggap sudah seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) hati-hati dalam menanggapi hasil Paripurna DPR tentang revisi UU KPK . Perintah Jokowi kepada Menkumham agar terlebih dahulu memelajari draf revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebelum mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) merupakan langkah tepat.

"Sekalipun begitu, rasanya presiden dapat dengan segera mengambil posisi untuk menolak rencana revisi ini," ujar Ray kepada SINDOnews, Rabu (11/9/2019).

Kata Ray, ada enam hal setidaknya buat Presiden Jokowi menolak revisi tersebut. Pertama, revisi ini tidak jauh berbeda dari usulan revisi pada 2017. Sehingga alasan yang sama masih bisa berlaku untuk menolak revisi yang sekarang.

Kedua, ada ribuan akademisi yang telah menyatakan menolak usulan revisi ini. Mereka adalah akademisi yang datang dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Ray menyebut, seruan mereka jelas punya dasar argumentasi yang kuat. Dengan sendirinya tidak bisa diabaikan. Selain para akademisi ini, ratusan aktivis antikorupsi dan tokoh-tokoh nasional juga sudah menyatakan penolakan yang sama.

"Jadi pikiran-pikiran mereka ya menolak revisi dapat dijadikan dasar bagi pemerintah untuk tidak mengirimkan surpres," jelasnya.

Selanjutnya yang ketiga, hampir 20 isu dalam revisi ini dilakukan, berarti juga menyangkut puluhan pasal. Karenanya, jelas ini bukan lagi revisi tapi sudah pada level merombak UU KPK.

Menurutnya subtansi revisi UU KPK ini sampai pada perombakan keseluruhan bangunan dan desain KPK sebagai lembaga yang diharapkan untuk memberantas korupsi. Sebut saja, kata Ray, dua isu untuk memerlihatkan bahwa hal ini bukan sekadar revisi tapi merombak yakni soal keberadaan dewan pengawas dan kewenangan mengeluarkan SP3.

"Dua pasal ini jelas tidak dimaksudkan untuk menguatkab KPK, sebaliknya mempersempit ruang dan membatasi metode kerja KPK. Tentu saja, yang namanya menyempitkan atau membatasi bukanlah menguatkan tapi mengecilkan atau melemahkan," imbuhnya.

Keempat, Ray sendiri mengaku kurang paham desain Dewan Pengawas KPK ala DPR. Di satu sisi, mereka mengakui KPK sebagai eksekutif yang sekaligus bisa diangket.

Tentu saja, jika suatu lembaga eksekutif yang bisa diangket, maka pengawasnya hanya setingkat Parlemen. Sehingga aneh jika masih dibuat lembaga pengawas di luar pengawasan DPR. Selain itu, lembaga pengawasnya punya kewenangan memberi atau menolak satu aktivitas pengurus harian.

Kelima, jika Dewan Pengawas KPK keliru dalam memberi atau menolak penyadapan misalnya, kepada siapa mereka diadukan. Menurutnya, suatu organisasi yang didesain dengan kepemimpinan kolektif maka pada dasarnya ia tidak lagi membutuhkan pengawasan di luar dirinya. Hal ini berbeda dengan suatu organisasi dengan kepemimpinan tunggal dan bersifat struktural.

"Sementara kepemimpinan KPK itu bersifat kolektif kolegial. Maka sesama komisionernya lah yang saling mengawasi," tutur eks Aktivis 98 asal UIN Jakarta ini.

Keenam, kata Ray, memberi kewenangan tambahan SP3 bagi KPK justru merupakan awal kemunduran KPK. Ia juga berpotensi menjadikan KPK lembaga antikemanusiaan. Satu hal yang justru bertolak belakang dari keinginan DPR guna memberi hak SP3.

"Mengapa antikemanusiaan? Sebab, tidak tertutup kemungkinan KPK akan mengobral status terdakwa, lalu karena satu dan lain hal kemudian menerbitkan SP3," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0079 seconds (0.1#10.140)