Romli: Revisi UU KPK Memenuhi Unsur Yuridis, Filosofis dan Sosiologis

Senin, 09 September 2019 - 21:16 WIB
Romli: Revisi UU KPK...
Romli: Revisi UU KPK Memenuhi Unsur Yuridis, Filosofis dan Sosiologis
A A A
JAKARTA - Revisi Undang-Undang (UU) KPK dinilai wajar untuk mengembalikan semangat dan cita-cita dibentuknya lembaga antirasuah tersebut. Selain itu, pembahasan revisi UU KPK juga sudah memenuhi unsur yuridis, filosofis dan sosiologis.

Romli menjelaskan, dari aspek filosofis revisi UU tersebut akan mengembalikan marwah dan jati diri yang sebenarnya ketika KPK dibentuk sebagai lembaga yang fokus menangani permasalahan korupsi. "Karena sejak 2002 UU itu dilaksanakan, tapi dalam praktik ada yang tak betul. Sesuai aturan tak betul mencong ke kiri ke kanan. Ada kurang pas di lapangan,” kata pakar hukum pidana Romli Atmasasmita di Jakarta, Senin (9/9/2019).

Romli kemudian memberikan contoh hilangnya peran strategis KPK dewasa ini. Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari tugas lembaga antikorupsi soal masalah koordinasi dengan Kejagung, polisi dan kementerian terkait.

Menurut Romli, saat ini KPK terkadang tidak berkoordinasi dan supervisi apabila melakukan penindakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal, tugas utama dari KPK adalah melakuan koordinasi, selain penindakan.

"Kenapa perlu koordinasi? Karena KPK dianggap superbody lembaga independen. Karena kewenangan lebih dari jaksa, polisi. Lebihnya KPK bisa koordinasi supervisi kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah bisa ambil alih. Sebaliknya polisi, jaksa tak bisa ambil dari KPK," ujarnya.

Selain itu, Romli juga mengkritisi soal kewenangan penyadapan KPK. Menurutnya, KPK boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan. Berbeda dengan Kejagung dan polisi.

Kemudian mengenai penanganan perkara di bawah Rp1 miliar. Jika ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, seharusnya apabila menemukan adanya indikasi praktik korupsi, KPK harus mengutamakan koordinasi dengan lembaga terkait.

"KPK koordinasi sama menterinya. Datangin. Kasih tahu berhenti itu kordinasi. Lalu supervisi diawasi. Kalau bandel baru tangkep. Karena sudah dikasih tahu bandel," tuturnya.

Apabila masih ditemukan permainan setelah terjalinnya koordinasi itu, baru KPK melakukan penindakan. Mengingat tugas utama KPK adalah koordinasi, supervisi baru penindakan. "Baru penyidikan, tuntutan ke pengadilan. Jangan kebalik," tuturnya.

Dari aspek sosiologis, Romli menyebut, saat ini tidak seluruh suara masyarakat bulat memberikan dukungan kepada KPK. Hal itu dapat dilihat dari respons masyarakat yang pro dan kontra dengan pembahasan revisi UU KPK.

Lalu dari aspek yuridis, Romli menuturkan, dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi UU KPK. Dalam putusan itu disebutkan, KPK adalah lembaga independen cabang kekuasaan eksekutif yang menangani permasalahan korupsi. "Dengam putusan MK itu UU KPK dipernaiki secara struktural dan organisatoris," terangnya.

Di sisi lain, Romli menyebut, cita-cita dibentuknya wadah pegawai KPK juga melenceng dari aturan yang ada. Mengingat, wadah itu seharusnya dibentuk untuk fokus ke masalah internal, bukan eksternal di luar KPK.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8425 seconds (0.1#10.140)