Taufiequrachman Ruki Bantah Usulkan 6 Poin Krusial Revisi UU KPK
A
A
A
JAKARTA - Mantan Pelaksana tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki membantah mengusulkan enam poin krusial dalam revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ruki justru mengaku menolak revisi UU KPK bersama pimpinan lembaga antikorupsi lainnya.
Surat yang ditandatangani lima Pimpinan KPK termasuk Ruki diklaim bukan usulan kepada pemerintah untuk merevisi UU tersebut. Surat itu justru jawaban Pimpinan KPK atas surat Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang meminta pendapat dan pandangan KPK mengenai revisi UU KPK yang terus bergulir di DPR.
"Apa jawaban kami terhadap surat itu? Pertama pada prinsipnya kami Pimpinan KPK tidak setuju keinginan beberapa anggota DPR untuk merevisi UU KPK," ujar Ruki dalam keterangannya, Sabtu (7/9/2019).
(Baca juga: 6 Poin Krusial Revisi UU KPK Diusulkan saat Era Pimpinan Plt Taufiqurrahman Ruki)
Dia menjelaskan, Pimpinan KPK menyarankan agar pemerintah dan DPR merevisi dan harmonisasi UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, KUHP, dan KUHAP sebelum melakukan revisi UU KPK. "Silakan diartikan saja. Itu pendapat Plt pimpinan secara kolegial," kata Ruki kepada SINDOnews saat ditanya apakah informasi yang menyebutkan dirinya mengusulkan revisi UU KPK itu tidak benar.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arteria Dahlan mengungkapkan bahwa semua poin krusial dalam revisi UU itu diusulkan oleh Pimpinan KPK saat rapat dengan Komisi III DPR pada 19 November 2015.
Menanggapi pernyataan Arteria itu, mantan Ketua KPK Abraham Samad membantah pimpinan KPK jilid III atau ketika dipimpinnya, mengusulkan sejumlah poin krusial dalam revisi UU KPK.
"Saya luruskan bahwa ini usulan tahun 2015 seingat saya, masa periode kepemimpinan saya 2012-2015. Tapi saya mengalami kriminalisasi, maka saya berhenti di tengah jalan tahun 2015. Kemudian digantikan Plt sampai bulan Desember," kata Samad.
Surat yang ditandatangani lima Pimpinan KPK termasuk Ruki diklaim bukan usulan kepada pemerintah untuk merevisi UU tersebut. Surat itu justru jawaban Pimpinan KPK atas surat Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang meminta pendapat dan pandangan KPK mengenai revisi UU KPK yang terus bergulir di DPR.
"Apa jawaban kami terhadap surat itu? Pertama pada prinsipnya kami Pimpinan KPK tidak setuju keinginan beberapa anggota DPR untuk merevisi UU KPK," ujar Ruki dalam keterangannya, Sabtu (7/9/2019).
(Baca juga: 6 Poin Krusial Revisi UU KPK Diusulkan saat Era Pimpinan Plt Taufiqurrahman Ruki)
Dia menjelaskan, Pimpinan KPK menyarankan agar pemerintah dan DPR merevisi dan harmonisasi UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, KUHP, dan KUHAP sebelum melakukan revisi UU KPK. "Silakan diartikan saja. Itu pendapat Plt pimpinan secara kolegial," kata Ruki kepada SINDOnews saat ditanya apakah informasi yang menyebutkan dirinya mengusulkan revisi UU KPK itu tidak benar.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arteria Dahlan mengungkapkan bahwa semua poin krusial dalam revisi UU itu diusulkan oleh Pimpinan KPK saat rapat dengan Komisi III DPR pada 19 November 2015.
Menanggapi pernyataan Arteria itu, mantan Ketua KPK Abraham Samad membantah pimpinan KPK jilid III atau ketika dipimpinnya, mengusulkan sejumlah poin krusial dalam revisi UU KPK.
"Saya luruskan bahwa ini usulan tahun 2015 seingat saya, masa periode kepemimpinan saya 2012-2015. Tapi saya mengalami kriminalisasi, maka saya berhenti di tengah jalan tahun 2015. Kemudian digantikan Plt sampai bulan Desember," kata Samad.
(kri)