Dalam Dua Hari Terakhir KPK Tetapkan Dua Bupati Jadi Tersangka
A
A
A
JAKARTA - Dugaan korupsi yang dilakukan para kepala daerah kian parah. Dalam dua hari terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dua kepala daerah. Mereka adalah Bupati Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan Ahmad Yani dan Bupati Bengkayang, Kalimantan Barat Suryadman Gidot.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, kurun Januari hingga September 2019, sudah ada 16 kali KPK melaksanakan OTT. Di antaranya ada beberapa kepala daerah yang tertangkap. Bahkan, selama dua hari terakhir ini, dua kepala daerah dari dua provinsi berbeda ditangkap dan menjadi tersangka dalam dua kasus berbeda.
Belum lagi pada tahun-tahun sebelumnya ada puluhan kepala daerah yang ditangkap hingga kemudian menjadi terdakwa, terpidana, dan mantan terpidana. Basaria menegaskan, KPK sangat menyesalkan korupsi kepala daerah masih terus terjadi. Selama beberapa tahun terakhir KPK telah turun ke 34 provinsi, 416 kabupaten (hingga akhir 2018), dan 98 kota (hingga akhir 2018).
Unit Kerja Koordinator Wilayah (Korwil) dengan jumlah sembilan Korwil yang telah dibentuk dan berjalan sejak 2018 bahkan setiap hari menyambangi seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, lima pimpinan KPK juga acap kali turun ke provinsi, kabupaten, dan kota.
“Kalau bicara pencegahan dengan penindakan, rasanya jauh lebih banyak pencegahan yang kita lakukan. Kita turun dari Sabang sampai Merauke. Tapi, ini masih terjadi lagi-lagi kepala daerah melakukan korupsi. Coba hitung berapa jumlah kepala daerah di Indonesia, apa yang lain yang belum kita tangani itu bersih? Kan tidak juga. Beberapa kepala daerah sudah kita ingat, masih juga melakukan (korupsi), ya tidak mungkin kita biarkan begitu saja, kita tindak,” tandas Basaria.
Melalui momentum ini, KPK kembali mengingatkan para kepala daerah untuk konsisten dan serius menjalankan berbagai saran dan rekomendasi yang mencakup tujuh aspek pencegahan korupsi terintegrasi yang dijalankan Satuan Tugas Pencegahan pada Unit Kerja Korwil. Apalagi, saat melakukan pencegahan di seluruh daerah berbagai pihak telah digandeng KPK di antaranya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Sistem penganggaran sudah kita sarankan, kita dampingi untuk gunakan e-budgeting, pengadaan dengan e-procurement, tapi tetap juga masih banyak yang belum. Aparat pengawasan internal kita masuk, kita tingkatkan kualitasnya tapi masih juga ada korupsi di daerah,” ungkapnya.
Basaria membenarkan, pada Senin (2/9) sore hingga Selasa (3/9) pagi, tim KPK menangkap empat orang di Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim. Di antaranya Bupati Muara Enin Ahmad Yani, Kepala Bidang Pembangunan Jalan sekaligus PPK di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Elfin Muhtar, dan pemilik PT Enra Sari Robi Okta Fahlefi.
Saat OTT, KPK menyita uang tunai USD35.000 yang diduga sebagai bagian dari fee 10% yang diterima Yani dari Robi terkait proyek pengadaan pekerjaan fisik berupa pembangunan jalan di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun Anggaran 2019. KPK menetapkan Yani dan Elfin sebagai tersangka penerima suap dari tersangka pemberi suap Robi.
“Selain penyerahan uang USD35.000, tim KPK juga menidentifikasi dugaan penerimaan sudah terjadi sebelumnya dengan total Rp13,4 miliar sebagai fee yang diterima bupati dari berbagai paket pekerjaan dilingkungan Pemerintah Kabupaten Muara Enim,” paparnya.
Untuk kasus di Kabupaten Bengkayang, tim KPK melakukan OTT pada Selasa (3/9) pagi hingga malam dan mengamankan tujuh orang. Mereka di antaranya Bupati Bengkayang Suryadman Gidot, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bengkayang Aleksius, Rodi (swasta), dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang Agustinus Yan.
Tim menyita telepon seluler, buku tabungan, dan uang dengan total Rp336 juta dalam bentuk pecahan Rp100.000. KPK menduga transaksi ini terkait dengan pengurusan proyek pekerjaan di Pemerintah Kabupaten Bengkayang tahun anggaran 2019 atas anggaran penunjukan langsung tambahan APBD-Perubahan 2019 kepada Dinas PUPR.
Uang tadi diduga bagian dari komitmen fee 10% untuk Bupati Suryadman Gidot. KPK pun menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. Suryadman Gidot dan Alexius sebagai tersangka penerima suap dari tersangka pemberi suap lima pihak swasta Rodi, Yosef, Nelly Margaretha, Bun Si Fat, dan Pandus.
“Upaya pencegahan tersebut sulit akan berhasil jika tidak didukung oleh komitmen yang sama kuatnya dari elemen lain. Seperti pemerintah pusat dan daerah, parlemen, instansi lain serta entitas politik seperti partai. Apalagi korupsi yang cukup banyak terjadi adalah yang dilakukan oleh aktor politik, sehingga jika kita bicara tentang keberhasilan pencegahan benar-benar dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa ini,” tandasnya.
Basaria mengatakan, jika kejahatan korupsi telah terjadi, KPK sebagai penegak hukum tidak boleh diam. Karena itulah OTT ataupun penanganan perkara dengan cara lain perlu terus dilakukan secara konsisten sebagaimana halnya dengan upaya pencegahan korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyatakan, KPK akan terus menjalankan program dan kegiatan pencegahan dan penindakan secara bersamaan dan terus menerus. Jika ada pihak-pihak yang menyatakan KPK gagal melakukan pencegahan korupsi, maka silakan saja berpendapat demikian. Namun, KPK akan terus turun ke berbagai daerah hingga kementerian dan lembaga termasuk perusahaan BUMN dan swasta untuk melakukan pencegahan korupsi.
“Kalau ada yang mengatakan bahwa sebaiknya OTT dihentikan saja, aneh itu. Kalau penegak hukum misalnya polisi atau KPK melihat kejahatan tidak boleh dibiarkan, harus ditangkap. Jadi, kami pimpinan yang sekarang, keseimbangan antara pencegahan dengan penindakan itu harus sama. Kalau disebut kita melakukan OTT sebagai parade, tidak juga. Kita menangani kasus dari OTT itu tidak sampai 9% dari semua kasus yang kita tangani,” tandas Syarif.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku sedih dengan tertangkap tangannya dua kepala daerah dalam waktu berdekatan yakni Bupati Muara Enim Ahmad Yani dan Bupati Bengkayang Suryadman Gidot. Padahal, dia selalu mengingatkan area rawan korupsi kepada para kepala daerah.
“Imbauan, kami sudah menyampaikan area rawan korupsi mulai dari penganggaran, bermain proyek, jual beli jabatan. Itu Sudah diingatkan. Kami apreasiasi Korpsugah KPK sudah turun di semua provinsi. Sampai di kabupaten/kota sudah hadir. Mau bilang apa lagi. Kami sedih. Bagaimana pun bagian dari Kemendagri,” tandas Tjahjo.
Dia menyakini, KPK melakukan tangkap tangan karena memiliki bukti yang cukup. Karena itu, dia meminta agar para kepala daerah yang terkena tangkap tangan dapat kooperatif mengikuti proses hukum yang ada. “Saya minta kepala daerah itu terbuka mulai dari pemeriksaan, penyidikan sampai persidangan nanti,” ujarnya.
Ditanyakan apakah sistem pencegahan korupsi belum maksimal hingga menyebabkan kepala daerah terjerat kasus korupsi, dia membantahnya. “Saya rasa sistemnya sudah maksimal. Korsupgah sudah jelaskan secara detail soal area rawan korupsi. Kembali kepada kepala daerah yang bersangkutan,” ungkapnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik mengatakan, banyak hal yang menjadi faktor kepala daerah melakukan korupsi. Pihaknya pun selalu mengingatkan agar para kepala daerah menjauhi area rawan korupsi. “Kami sudah selalu sampaikan. Dan kami tidak bisa menjagai mereka dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Kemendagri, ujarnya, akan menjadikan hal ini sebagai bahan evaluasi untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan. Dia pun akan terus mendorong langkah-langkah pencegahan. Kemendagri akan menjadikan ini sebagai bahan untuk instrospeksi diri lagi untuk lebih mengoptimalkan fungsi-fungsi pengawasan umum.
“Kita terus mendorong kepala daerah agar lebih akuntabel. Kemudian membangun sistem yang lebih bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya sehingga kita harap bisa menghindari partai-partai seperti itu,” tandasnya.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, kurun Januari hingga September 2019, sudah ada 16 kali KPK melaksanakan OTT. Di antaranya ada beberapa kepala daerah yang tertangkap. Bahkan, selama dua hari terakhir ini, dua kepala daerah dari dua provinsi berbeda ditangkap dan menjadi tersangka dalam dua kasus berbeda.
Belum lagi pada tahun-tahun sebelumnya ada puluhan kepala daerah yang ditangkap hingga kemudian menjadi terdakwa, terpidana, dan mantan terpidana. Basaria menegaskan, KPK sangat menyesalkan korupsi kepala daerah masih terus terjadi. Selama beberapa tahun terakhir KPK telah turun ke 34 provinsi, 416 kabupaten (hingga akhir 2018), dan 98 kota (hingga akhir 2018).
Unit Kerja Koordinator Wilayah (Korwil) dengan jumlah sembilan Korwil yang telah dibentuk dan berjalan sejak 2018 bahkan setiap hari menyambangi seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, lima pimpinan KPK juga acap kali turun ke provinsi, kabupaten, dan kota.
“Kalau bicara pencegahan dengan penindakan, rasanya jauh lebih banyak pencegahan yang kita lakukan. Kita turun dari Sabang sampai Merauke. Tapi, ini masih terjadi lagi-lagi kepala daerah melakukan korupsi. Coba hitung berapa jumlah kepala daerah di Indonesia, apa yang lain yang belum kita tangani itu bersih? Kan tidak juga. Beberapa kepala daerah sudah kita ingat, masih juga melakukan (korupsi), ya tidak mungkin kita biarkan begitu saja, kita tindak,” tandas Basaria.
Melalui momentum ini, KPK kembali mengingatkan para kepala daerah untuk konsisten dan serius menjalankan berbagai saran dan rekomendasi yang mencakup tujuh aspek pencegahan korupsi terintegrasi yang dijalankan Satuan Tugas Pencegahan pada Unit Kerja Korwil. Apalagi, saat melakukan pencegahan di seluruh daerah berbagai pihak telah digandeng KPK di antaranya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Sistem penganggaran sudah kita sarankan, kita dampingi untuk gunakan e-budgeting, pengadaan dengan e-procurement, tapi tetap juga masih banyak yang belum. Aparat pengawasan internal kita masuk, kita tingkatkan kualitasnya tapi masih juga ada korupsi di daerah,” ungkapnya.
Basaria membenarkan, pada Senin (2/9) sore hingga Selasa (3/9) pagi, tim KPK menangkap empat orang di Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim. Di antaranya Bupati Muara Enin Ahmad Yani, Kepala Bidang Pembangunan Jalan sekaligus PPK di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Elfin Muhtar, dan pemilik PT Enra Sari Robi Okta Fahlefi.
Saat OTT, KPK menyita uang tunai USD35.000 yang diduga sebagai bagian dari fee 10% yang diterima Yani dari Robi terkait proyek pengadaan pekerjaan fisik berupa pembangunan jalan di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun Anggaran 2019. KPK menetapkan Yani dan Elfin sebagai tersangka penerima suap dari tersangka pemberi suap Robi.
“Selain penyerahan uang USD35.000, tim KPK juga menidentifikasi dugaan penerimaan sudah terjadi sebelumnya dengan total Rp13,4 miliar sebagai fee yang diterima bupati dari berbagai paket pekerjaan dilingkungan Pemerintah Kabupaten Muara Enim,” paparnya.
Untuk kasus di Kabupaten Bengkayang, tim KPK melakukan OTT pada Selasa (3/9) pagi hingga malam dan mengamankan tujuh orang. Mereka di antaranya Bupati Bengkayang Suryadman Gidot, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bengkayang Aleksius, Rodi (swasta), dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkayang Agustinus Yan.
Tim menyita telepon seluler, buku tabungan, dan uang dengan total Rp336 juta dalam bentuk pecahan Rp100.000. KPK menduga transaksi ini terkait dengan pengurusan proyek pekerjaan di Pemerintah Kabupaten Bengkayang tahun anggaran 2019 atas anggaran penunjukan langsung tambahan APBD-Perubahan 2019 kepada Dinas PUPR.
Uang tadi diduga bagian dari komitmen fee 10% untuk Bupati Suryadman Gidot. KPK pun menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. Suryadman Gidot dan Alexius sebagai tersangka penerima suap dari tersangka pemberi suap lima pihak swasta Rodi, Yosef, Nelly Margaretha, Bun Si Fat, dan Pandus.
“Upaya pencegahan tersebut sulit akan berhasil jika tidak didukung oleh komitmen yang sama kuatnya dari elemen lain. Seperti pemerintah pusat dan daerah, parlemen, instansi lain serta entitas politik seperti partai. Apalagi korupsi yang cukup banyak terjadi adalah yang dilakukan oleh aktor politik, sehingga jika kita bicara tentang keberhasilan pencegahan benar-benar dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen bangsa ini,” tandasnya.
Basaria mengatakan, jika kejahatan korupsi telah terjadi, KPK sebagai penegak hukum tidak boleh diam. Karena itulah OTT ataupun penanganan perkara dengan cara lain perlu terus dilakukan secara konsisten sebagaimana halnya dengan upaya pencegahan korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyatakan, KPK akan terus menjalankan program dan kegiatan pencegahan dan penindakan secara bersamaan dan terus menerus. Jika ada pihak-pihak yang menyatakan KPK gagal melakukan pencegahan korupsi, maka silakan saja berpendapat demikian. Namun, KPK akan terus turun ke berbagai daerah hingga kementerian dan lembaga termasuk perusahaan BUMN dan swasta untuk melakukan pencegahan korupsi.
“Kalau ada yang mengatakan bahwa sebaiknya OTT dihentikan saja, aneh itu. Kalau penegak hukum misalnya polisi atau KPK melihat kejahatan tidak boleh dibiarkan, harus ditangkap. Jadi, kami pimpinan yang sekarang, keseimbangan antara pencegahan dengan penindakan itu harus sama. Kalau disebut kita melakukan OTT sebagai parade, tidak juga. Kita menangani kasus dari OTT itu tidak sampai 9% dari semua kasus yang kita tangani,” tandas Syarif.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku sedih dengan tertangkap tangannya dua kepala daerah dalam waktu berdekatan yakni Bupati Muara Enim Ahmad Yani dan Bupati Bengkayang Suryadman Gidot. Padahal, dia selalu mengingatkan area rawan korupsi kepada para kepala daerah.
“Imbauan, kami sudah menyampaikan area rawan korupsi mulai dari penganggaran, bermain proyek, jual beli jabatan. Itu Sudah diingatkan. Kami apreasiasi Korpsugah KPK sudah turun di semua provinsi. Sampai di kabupaten/kota sudah hadir. Mau bilang apa lagi. Kami sedih. Bagaimana pun bagian dari Kemendagri,” tandas Tjahjo.
Dia menyakini, KPK melakukan tangkap tangan karena memiliki bukti yang cukup. Karena itu, dia meminta agar para kepala daerah yang terkena tangkap tangan dapat kooperatif mengikuti proses hukum yang ada. “Saya minta kepala daerah itu terbuka mulai dari pemeriksaan, penyidikan sampai persidangan nanti,” ujarnya.
Ditanyakan apakah sistem pencegahan korupsi belum maksimal hingga menyebabkan kepala daerah terjerat kasus korupsi, dia membantahnya. “Saya rasa sistemnya sudah maksimal. Korsupgah sudah jelaskan secara detail soal area rawan korupsi. Kembali kepada kepala daerah yang bersangkutan,” ungkapnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik mengatakan, banyak hal yang menjadi faktor kepala daerah melakukan korupsi. Pihaknya pun selalu mengingatkan agar para kepala daerah menjauhi area rawan korupsi. “Kami sudah selalu sampaikan. Dan kami tidak bisa menjagai mereka dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Kemendagri, ujarnya, akan menjadikan hal ini sebagai bahan evaluasi untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan. Dia pun akan terus mendorong langkah-langkah pencegahan. Kemendagri akan menjadikan ini sebagai bahan untuk instrospeksi diri lagi untuk lebih mengoptimalkan fungsi-fungsi pengawasan umum.
“Kita terus mendorong kepala daerah agar lebih akuntabel. Kemudian membangun sistem yang lebih bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya sehingga kita harap bisa menghindari partai-partai seperti itu,” tandasnya.
(don)